Meningkatkan Produktivitas Tambak: Dari Tradisional ke Intensif, Apa yang Paling Dominan?

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil udang terbesar di dunia. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimaksimalkan akibat keragaman pendekatan budidaya yang memiliki tingkat produktivitas sangat berbeda.

Berdasarkan data Shrimp Club Indonesia, terdapat tiga kategori utama sistem budidaya tambak yang saat ini digunakan, yakni tambak tradisional, semi intensif, dan intensif.

Masing-masing memiliki luasan lahan, produktivitas, dan potensi produksi yang sangat berbeda satu sama lain.

Tambak Tradisional: Luas tapi Belum Efisien

Tambak tradisional masih mendominasi dari sisi luasan lahan, yakni mencapai 250.000 hingga 300.000 hektar. Namun, produktivitasnya masih rendah, hanya sekitar 0,3 hingga 0,7 ton per hektar per siklus.

Dengan kondisi ini, potensi produksi nasional dari tambak tradisional diperkirakan hanya sekitar 300.000 ton per tahun.

Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh penggunaan teknologi minim, kualitas pakan yang tidak standar, serta manajemen air dan penyakit yang belum optimal.

Tambak Semi Intensif: Peralihan Menuju Efisiensi

Sementara itu, tambak semi intensif hadir sebagai jembatan antara metode tradisional dan intensif.

Dengan luasan lahan yang jauh lebih kecil, sekitar 15.000 hingga 20.000 hektar, sistem ini mampu menghasilkan 4 hingga 8 ton udang per hektar per siklus.

Total potensi produksi dari tambak semi intensif mencapai 120.000 ton per tahun. Model ini mulai mengadopsi teknologi seperti aerasi, manajemen kualitas air, dan padat tebar lebih tinggi, sehingga menjadi opsi yang menjanjikan untuk daerah dengan keterbatasan lahan namun ingin meningkatkan hasil panen.

Tambak Intensif: Produktivitas Tinggi dalam Lahan Terbatas

Tambak intensif menjadi pilihan masa depan industri udang Indonesia. Dengan luas lahan hanya 8.000 hingga 10.000 hektar, sistem ini mampu menghasilkan antara 10 hingga 40 ton udang per hektar per siklus.

Bahkan, potensi produksinya dapat mencapai 500.000 ton per tahun — tertinggi dibanding dua sistem lainnya. Sistem ini sangat bergantung pada teknologi modern, mulai dari sistem bioflok, pengendalian lingkungan otomatis, hingga penggunaan pakan berkualitas tinggi dan sistem monitoring yang ketat.

Transformasi yang Mendesak

Data ini menegaskan bahwa transformasi dari tambak tradisional ke arah sistem budidaya yang lebih intensif bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan jika Indonesia ingin mempertahankan dan meningkatkan daya saingnya di pasar ekspor udang dunia.

Upaya peningkatan produktivitas tanpa perlu memperluas lahan budidaya juga menjadi solusi atas isu keterbatasan ruang dan tekanan lingkungan di wilayah pesisir.

Dengan dukungan regulasi, pembiayaan, dan pelatihan bagi petambak, Indonesia bisa mentransformasi sektor budidaya udangnya menjadi lebih efisien, berkelanjutan, dan berdaya saing global.

Menangani masalah

Achmad Husein Nyompa, praktisi pertambakan alumni Universitas Hasanuddin menyatakan, perlu pemahaman pada diskurus Luas Lahan versus Produktivitas.

”Masalah kita sebenarnya bukan hanya pada teknologi. tapi kesepakatan sosial untuk menggapai keunggulan dalam tambak tradisional. manajemen tambak udang yang serentak dan petani yang kompak mampu menciptakan siklus yang teratur dengan kalender yang tetap,” ujar Nyompa.

Sehingga, kata dia, panen yang kompak dan wabah penyakit tidak ada lagi yang tinggal di saluran tambak.

”ini pekerjaan kita semua, menyelesaikan permasalahan dengan kondusif. Kendala lainnya adalah masalah hama manusia yang merugikan petani. Udang sudah hilang ketika akan dipanen. menyelesaikan masalah sosial memang cukup rumit namun bukan mustahil yang demi mengangkat produktivitas tambak udang kita. Hidup Petani,” pungkas alumni Ilmu Kelautan Unhas dan berpengalaman di urusan tambak ini.

Redaksi