Air, Hutan, dan Amanah Kehidupan: Sebuah Refleksi Qur’ani

  • Whatsapp
Ilustrasi Pelakita.ID

“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.”
(QS. Al-Anbiya: 30)

PELAKITA.ID – Ayat singkat ini menyimpan hikmah mendalam tentang hakikat kehidupan dan ketergantungan seluruh makhluk pada satu unsur utama: air.

Secara biologis, tak ada kehidupan tanpa air. Namun lebih dari itu, ayat ini bukan semata pernyataan ilmiah—ia adalah panggilan spiritual agar manusia menyadari bahwa air adalah rahmat Tuhan yang mesti dijaga, dilestarikan, dan diperlakukan sebagai amanah.

Di tengah krisis ekologi global, ayat ini menggema sebagai peringatan. Air yang seharusnya menjadi berkah, kini berubah menjadi sumber bencana akibat ulah manusia. Sungai-sungai tercemar limbah industri dan domestik.

Sumur-sumur mengering karena eksploitasi berlebihan. Siklus air terganggu oleh deforestasi masif. Ironisnya, manusia justru merusak sumber kehidupannya sendiri.

Dalam Al-Qur’an, air bukan hanya simbol kehidupan, tetapi juga lambang keadilan dan keseimbangan. Ia turun dari langit, meresap ke bumi, menghidupkan benih, mengalir ke sungai, lalu kembali ke laut—dalam satu sistem ilahiah yang rapi dan saling terhubung, yang kita kenal sebagai Siklus Hidrologi.

Ketika hutan ditebang tanpa kendali, manusia bukan hanya merusak habitat, tetapi juga memutus rantai air, menghancurkan sumber resapan, memperbesar limpasan (runoff), dan mengeringkan harapan.

Air dan hutan adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Hutan tropis yang lebat adalah pabrik alami yang mengatur kelembapan udara dan menghasilkan hujan melalui proses evapotranspirasi.

Akar-akar pepohonan menjaga kestabilan tanah dan menahan air agar meresap perlahan ke dalam bumi. Ketika hutan gundul, banjir datang tiba-tiba, tanah kehilangan kesuburannya, dan sumur-sumur kehilangan airnya. Maka menjaga hutan berarti menjaga air, dan menjaga air berarti menjaga kehidupan.

Refleksi ini membawa kita pada pemahaman spiritual yang mendalam: manusia bukanlah pemilik alam, melainkan khalifah yang diberi amanah. Al-Qur’an tidak pernah memberikan otoritas mutlak kepada manusia untuk mengeksploitasi, melainkan memerintahkannya untuk memakmurkan bumi dengan adil dan seimbang.

Dalam QS. Al-A’raf: 56, Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” Inilah panggilan ekologis yang menuntut pertanggungjawaban moral dan spiritual dari setiap insan.

Hari ini, ketika mata air mengering, kabut asap menyelimuti langit akibat kebakaran hutan, atau ketika hujan turun deras dan air mengalir tanpa kendali hingga menggenangi dataran rendah, kita dihadapkan pada bukan sekadar bencana alam, melainkan sinyal bahwa kita telah mengkhianati ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam semesta.

Kita lupa bahwa menjaga air dan hutan bukan sekadar tindakan ekologis—melainkan bentuk ibadah yang mendalam dalam ajaran tauhid.

Refleksi terhadap ayat ini semestinya membuahkan aksi nyata. Pendidikan lingkungan harus menjadi bagian dari kesadaran keagamaan.

Kampanye penghijauan, konservasi air, dan pengelolaan limbah bukan hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga ekspresi cinta kita kepada ciptaan Tuhan.

Setiap tetes air yang kita hemat, setiap pohon yang kita tanam, adalah bentuk syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan.

Akhirnya, semoga kita menjadi umat yang mampu membaca ayat-ayat Tuhan bukan hanya dari mushaf, tetapi juga dari pepohonan, dari derasnya sungai, dan dari hujan yang turun dengan kasih sayang. Sebab dari air, segalanya menjadi hidup; dan dari kepedulian, kehidupan menjadi berkah.


Tentang Penulis

Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius baik di masyarakat rural maupun urban.