Wudhu mengajarkan kesucian sekaligus kebijaksanaan dalam penggunaan air. Nabi melarang berlebihan menggunakan air, bahkan ketika berwudhu di tepi sungai. Ini adalah pesan spiritual dan ekologis: jangan boros, jangan sombong, dan jangan menzalimi air.
PELAKITA.ID – Islam bukan sekadar agama ritual, melainkan sistem nilai yang menyatu dengan semesta. Tauhid—bahwa Tuhan itu Esa—juga berarti bahwa semua ciptaan saling terhubung dalam satu kesatuan ilahiyah. Tidak ada ciptaan yang sia-sia; bahkan seekor semut kecil yang berjalan di malam gelap pun disebut dalam doa Nabi.
Ekoteologi dalam Islam hadir melalui ayat-ayat suci dan hadits yang tersebar luas. Firman Allah dalam Qur’an berbunyi:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)
Kerusakan lingkungan bukan hanya persoalan sosial atau teknis, melainkan juga peringatan spiritual. Ia adalah tanda bahwa kita telah menjauh dari nilai-nilai tauhid dan amanah.
Dalam konsep khalifah fil ardh, manusia tidak diberi hak milik mutlak atas bumi, tetapi diberikan tanggung jawab sebagai penjaga, pemelihara, dan perawat kehidupan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Dunia ini hijau dan indah, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai pengelola di atasnya dan akan melihat bagaimana kalian mengelolanya.”
(HR. Muslim)
Salat Ekologis dan Wudhu Kehidupan
Salat dan wudhu menyimpan pesan ekologis yang dalam. Setiap gerakan dalam shalat—berdiri, rukuk, sujud—adalah bentuk harmonisasi tubuh dengan ritme bumi. Sujud adalah simbol kerendahan hati manusia, menyentuh tanah dan mengakui asal-muasalnya.
Wudhu mengajarkan kesucian sekaligus kebijaksanaan dalam penggunaan air. Nabi melarang berlebihan menggunakan air, bahkan ketika berwudhu di tepi sungai. Ini adalah pesan spiritual dan ekologis: jangan boros, jangan sombong, dan jangan menzalimi air.
Kearifan Leluhur Nusantara: Spiritualitas yang Menyatu dengan Bumi
Jauh sebelum ekologi menjadi ilmu akademik, leluhur Nusantara telah menjalani hidup yang sarat dengan nilai-nilai ekologis. Dalam budaya Bugis-Makassar, dikenal istilah pangngadakkang lino—mereka yang menjaga bumi secara lahir dan batin.
Konsep Sulapa Eppa (api, angin, air, tanah) adalah kosmologi yang mengajarkan pentingnya keseimbangan. Kerusakan satu unsur akan mengguncang seluruh kehidupan.
Di Tanah Toraja, tanah dianggap sebagai ibu yang tak boleh dilukai. Pohon-pohon besar dipercaya sebagai penjaga kampung. Dalam filosofi Sunda, prinsip Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh mengajarkan keharmonisan timbal balik antara manusia dan alam.
Di Bali, konsep Tri Hita Karana memuat tiga dimensi keseimbangan hidup: Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antar manusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam). Ketiganya tak dapat dipisahkan. Merusak satu, berarti merusak semua.
Integrasi Ekoteologi dan Tradisi Lokal
Di tengah ancaman perubahan iklim, krisis pangan, dan bencana ekologis, kita tidak cukup hanya mengandalkan teknologi. Kita juga membutuhkan teologi yang membumi—teologi yang memandang alam sebagai bagian dari keberagamaan, bukan sekadar objek eksploitasi.
Islam sebagai rahmat bagi semesta, dan kearifan lokal sebagai warisan hidup, bisa berpadu membentuk sistem nilai spiritual ekologis yang kuat.
Bayangkan khutbah Jumat yang mengajak jamaah menjaga hutan, pengajian yang membahas bahaya tambang rakus, madrasah yang mengajarkan cara bertani secara lestari, atau upacara adat yang kembali menghormati pohon, sungai, dan batu sebagai ciptaan Allah.
Ekoteologi sejati adalah ketika kita bukan hanya membaca langit, tapi juga mendengarkan rintihan bumi. Bukan hanya mengejar surga, tapi juga merawat tanah tempat kaki kita berpijak.
___
Ekoteologi Islam dan Kearifan Leluhur Nusantara
Oleh: Muliadi Saleh
Penulis | Pemikir | Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Motto Penulis:
“Menulis untuk menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan peradaban.”