Weathering with You, dari Nelangsa Warga Pulau ke Solusi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

  • Whatsapp
Seorang perempuan menuliskan pengalamannya terkait oerubahan iklim (dok: Pelakita.ID)

PELAKITA.ID – Cuaca pagi terasa cerah, puluhan orang terutama lansia sedang menikmati mandi pagi di laut Paotere, di utara Kota Makassar, Sabtu, 31 Mei 2025.

Di timur, semburat cahaya menandai mula hari. Roda dua yang Pelakita.ID tunggangi melata di bahu dermaga tak rata, mencari posisi Unhas Explorer 1. “Coba hubungi Masdar, Unex ada di sisi kapal Basarnas,” balas akademisi Unhas Rijal Idrus saat penulis kelimpungan mencari lokasi titik kapal.

Rijal adalah ketua Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas yang sedang menggelar wokrhsop tentang perubahan iklim dan solusinya dengan mengajak warga Pulau Barrang Lompo sebagai pesertanya. Dia pula yang mengajak Pelakita.ID untuk bekerjasama dalam peliputan kegiatan ini.

Read More

“Selain warga Barrang, kita juga ada peserta dari sejumlah negara anggota ASEAN, ada Malaysia, Singapura hingga Filipina,” ujarnya tidak lama setelah tiba bersama peserta lain.

Informasi kegiatan (dok: Pelakita.ID)

“Mereka sudah ada di pulau kemarin, dan menggelar sosialisasi, koordinasi pemerintah setempat dan menyiapkan workshop kita,” jelas pria berkacamata kala berbincang Pelakita di atas Unex 1 nan nyaman.

Di ruang tengah kapal nampak Ayi Sudrajat dari BMKG Sulsel dan seorang rekannya duduk santai menikmati secangkir teh dan kudapan. Masdar, pria yang disebut sebagai penanggung jawab kapal Unhas menyebut perjalanan ke Pulau Barrang Lompo akan berlangsung tidak lama lagi.

“Waktu tempuh tidak sampai satu jam,” ucapnya saat ditanya.

UNEX 1 atau Unhas Explorer 1 ini menjadi wahana sejumlah awak media, pegiat mariitm dan anak muda yang akan mengikuti workshop Weathering With You dengan tema Penguatan Kapasitas Komunitas Pesisir dalam Mitigasi dan Adaptasi Risiko Perubahan Iklim yang digelar di Aula Marine Station Unhas.

Perjalanan lancar. Pukul 8.30, kapal merapat di dermaga Barrang Lompo setelah meninggalkan Paotere sekitar 7.40 Wita, atau sekitar 40-an menit perjalanan.

Penulis turun ke dermaga, merasakan suasana layaknya tahun 80-an akhir saat berstatus mahasiswa di Ilmu Kelautan Unhas.

Nampak rumah dan workshop handicraft warga bernama Pak Saleh yang fenomenal, juga Kios Italy langganan mahasiswa Kelautan Unhas nun lampau, hingga rumah tepi pantai dan air laut yang semakin dekat ke pintu rumah warga, seperti alunan kidung penuh ratapan.

Inilah Barrang Lompo, pulau kecil namun dihuni lebih 4 ribu jiwa, yang oleh Lurahnya, Kurnia, sebagai pulau ringkih dan warganya kerap dilanda kecemasan lantaran cuaca yang kian ekstrem dari tahun ke tahun.

Rumah-rumah di pesisir pulau yang secara perlanan mulai dijuluri lidah laut sepanjang tahun.

Tentang Weathering with You

Haji Saripuddin duduk tenang di dalam aula Marine Station yang berlatar backdrop Weathering with You.

Dia tidak sendiri, ada Muhammad Darul Tajuddin, warga lainnya bersama tidak kurang 30 orang yang antusias duduk di kursi kayu. Jumlah berimbang antara jumlah perempuan dan laki-laki.

“Nama saya Raudyah Faatiha Taruna. Saya, koordinator proyek Weathering With You, dan saya hadir bersama beberapa rekan tim dari berbagai negara ASEAN,” intro Raudyah.

Peserta workshop dari sejumlah negara anggota ASEAN atas fasilitasi NUS Singapura (dok: Istimewa)

Dia memperkenalkan koleganya dari negara ASEAN dan menyebut sebagai tim yang beragam dan multidisipliner yang bekerja di bidang pengembangan masyarakat, perancangan program, dan penelitian.

Dikatakan, ini proyek kolaboratif yang didukung NUS Singapura, BMKG Indonesia, Pusat Studi Perubahan Iklim Universitas Hasanuddin, dan pemerintah lokal Pulau Barrang Lompo, Kota Makassar.

Kata Raudiyah, proyek ini bertujuan memperkuat kapasitas Pulau Barrang Lompo—sebuah pulau yang menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin meningkat. “Kami memilih pulau ini karena tingkat kerentanannya,” tambah freshgraduate Kimia Unhas ini.

Dijelaskan, timnya sedang mengembangkan tiga solusi utama.

Pertama, penanda tinggi muka air laut (sea-level benchmark) yang berfungsi sebagai peringatan dini akan risiko banjir. Alat ini tidak membutuhkan listrik dan dirancang agar warga dapat mengenali tanda-tanda banjir yang akan datang.

Kedua, kami telah menempatkan poster-poster informatif di berbagai ruang publik utama di pulau ini. Dan ketiga, kami mengadakan lokakarya ini agar pengetahuan ini dapat terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya. Inspirasi untuk inisiatif ini datang dari proyek penelitian selama 12 minggu yang sebelumnya dilakukan Raudyah di bawah naungan UNESCO dan Tanoto Foundation.

Timnya menemukan bahwa meskipun masyarakat memiliki sedikit pemahaman tentang perubahan iklim, masih banyak miskonsepsi yang beredar,.

“Jadi tujuan kami adalah menjembatani kesenjangan tersebut—menghubungkan masyarakat dengan pengetahuan ilmiah dan membantu mereka melihat dampak nyata perubahan iklim dalam kehidupan mereka,” sebut Raudyah.

Kata dia, ketua RW setempat bercerita bahwa saat air pasang, air laut kini mencapai halaman depan rumah—sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

“Kami membantu mereka menghubungkan pengamatan ini dengan konsep perubahan iklim secara lebih luas, yang selama ini sering terasa terlalu abstrak atau berskala global,” lanjutnya.

Ia menekankan bahwa salah satu tujuan utama proyek ini adalah membuat ilmu iklim terasa lebih personal dan bisa ditindaklanjuti.

Jalannya Workshop

Workshop dihadiri Lurah Barrang Lompo, Kurnia, kepala Marine Station Unhas, Dr Syafiuddin, dan dua narasumber. Mereka adalah Kepala Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas, Rijal idrus dan Kepala Stasiun Klimatologi Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika Sulsel, Ayi Sudrajat.

Kurnia, atas nama Pemerintah Barrang Lompo mengapresiasi kegiatan ini dan menyebutnya relevan dengan realitas dan kebutuhan warga. Dia menceritakan bagaimana cuaca, iklim dan kondisi perairan antara Makassar dan Barrang Lompo yang semakin tidak menentu.

”Kadang teduh, tiba-tiba angin kencang, mendadak datangnya,” kata Kurnia.

“Saya biasa sampaikan kepada nakhoda kapal penumpang untuk berhati-hati, jangan paksakan untuk berangkat kalau cuaca tidak mendukung,” kata dia.

Ayi Sudrajat (dok: Weathering with You)

Sementara Ayi menjelaskan fungsi dan peran BMKG, tanggung jawab Stasiun Klimatologi, membagikan defenisi dan dimensi perubahan iklim, ruang lingkup hingga apa-apa saja yang bisa dilakukan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Apa yang disampaikan oleh Lurah itu, bagi Ayi benar adanya. Dikatakan, perubahan iklim bukan lagi sekadar wacana global yang abstrak. Di sekitar kita, dampaknya sudah nyata: suhu malam kian hangat, hujan datang tak menentu, dan laut perlahan menelan daratan.

“Bagi masyarakat pesisir, ini bukan hanya kabar buruk—tapi peringatan dini,” kata Ayi. Dia melanjutkan. “Iklim memang berubah, tapi kita masih punya waktu. Yang dibutuhkan bukan kepanikan, tapi kesadaran dan aksi nyata dari masyarakat,” ujar Ayi.

Ayi meluruskan kesalahpahaman yang masih sering muncul di masyarakat: bahwa prakiraan cuaca adalah ramalan, bukan ilmu.

“Kami tidak menebak. Kami menganalisis. Prakiraan BMKG didasarkan pada data, citra satelit, dan model ilmiah. Ini bisa dipelajari siapa saja,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa perubahan iklim bukan hanya soal pohon yang ditebang, tapi juga soal cara hidup kita sehari-hari. Konsumsi berlebih, limbah rumah tangga, dan ketergantungan pada energi fosil menjadi bagian dari penyebab krisis ini.

Kita butuh lebih banyak stasiun pengamatan di pulau-pulau kecil. Tanpa data, kita ibarat berjalan
dalam gelap,” tegas Ayi.

Menurut Ayi, banjir bukan semata-mata akibat hujan deras, tapi karena air kehilangan ‘rumahnya’. “Air itu tidak hilang, dia cuma mencari tempat tinggal. Kalau rawa, pohon, dan tanah resapan dihilangkan, air akan datang ke rumah kita,” ungkapnya.

Solusinya tidak selalu rumit. Menanam pohon seperti kelapa dan pisang, menjaga saluran air, dan tidak membangun di atas aliran sungai bisa menjadi bentuk mitigasi yang efektif. Sayangnya, ia mengkritik pengembang dan pembuat kebijakan yang sering mengabaikan aspek ini. “Jangan salahkan hujan. Yang harus kita perbaiki adalah cara kita memperlakukan ruang hidup air,” pungkasnya.

“Cuaca bisa diprediksi, tapi masa depan iklim bergantung pada pilihan kita hari ini,” pungkasnya.

Rijal Idrus yang masuk ke sesi kedua mengajal warga Barrang Lompo untuk melihat, untuk merenung rerkait perubahan-perubahan lingkungan mereka.

Penulis bersama peserta dan narasumber lokakarya (dok: Istimewa)

Tentang seperti apa kondisi sekarang, bertahun lalu, dan melihat apa yang terjadi dengan perumahan, tinggi air laut, dan sejauh mana air bergerak ke pantai.

”Bapak ibu pasti sudah tahu bahwa ada perubahan, kini saatnya kita memastikan langkah-langkah kita, apa yang kita bisa lakukan sesuai kemampuan, sesuai kapasitas kita,” ucap Rijal sembari meminta peserta untuk menuliskan ancaman apa yang dirasakan selama beberapa tahun terakhir.

Selain itu, dia pun menanyakan langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan oleh warga sesuai potensi yang ada, sesuai kemampuan tersedia.

Pada workshop yang juga difasilitasinya ini, Rijal meminta peserta membagikan pengalaman, harapan dan bentuk solusi yang mereka bisa kontibusikan berkait ancaman perubahan iklim.

“Suhu semakin panas di pulau kami. Mungkin karena pertumbuhan penduduk, industri, dan penggunaan solar. Tapi apa yang bisa kami lakukan di pulau kecil seperti ini?” tanya seorang peserta yang mengenakan kopiah.

“Dulu, masyarakat pulau di sini berhenti melaut saat ombak besar datang. Sekarang, karena tekanan ekonomi, mereka tetap melaut walaupun ombak mengganas,” imbuh Haji Saripuddin.

Peserta lainnya menuliskan ciri-ciri perubahan iklim yang mereka amati dan rasakan, menuliskan gejala apa saja, apa yang paling ditakutkan dengan adanya perubahan iklim serta apa saja yang dilakukan untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim itu.

Beragam informasi dibagikan oleh peserta dengan menempelkan metaplan penuh warna. Beberapa di antaranya tentang banjir, air masuk ke pekarangan dan dapur mereka dan serta semakin besarnya gelombang saat melaut atau mencari ikan.

Salah seorang warga membagikan pengalamannya terkait isu perubahan iklim (dok: Pelakita.ID)

”Saya mau tanam sayur di halaman rumah meski sempit,” kata seorang perempuan. “Saya mau info BKMG tiap hari,” ujar lainnya. ”

”Apa yang bapak ibu tulis ini akan menjadi catatan bagi kami, bagi Weathering With You, bahkan akan sampai ke pemerintah dan pihak lainnya. Tapi yang lebih penting adalah mari kita beradaptasi, melakukan yang bisa dilakukan, sesuai kemampuan kita, sesuai pengetahuan kita ini,” kunci Rijal.

Pelaksanaan workshop diakhiri foto dan santap bersama, dan pembagian goodie-bag. Tim berangkat kembali ke Makassar dengan menggunakan Unex 1 pada pukul 14.30 Wita.

Perjalanan berlangsung lancar hingga menit ke 20 sebelum hujan datang, langit Makassar gelap, jarak pandang sungguhlah pendek. Peserta yang sebelumnya duduk santai di buritan dan di beberapa bahu kapal pindah ke ruang dalam. Mei yang biasanya kering kerontang kini diguyur hujan.

Penulis Denun

 

 

Related posts