Kisah Pilu Warga Barrang Lompo di Tengah Perubahan Iklim

  • Whatsapp
Salah seorang warga membagikan pengalamannya terkait isu perubahan iklim (dok: Pelakita.ID)

Tulisan ini merupakan catatan Pelakita.ID saat berpartisipasi pada lokakarya Weatherhing With You, Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pulau Barrang untuk Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim yang mendapat dukungan dari NUS Singapura, BMKG Sulawesi Selatan dan Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas dan Pelakita.ID

PELAKITA.ID – Pulau Barrang Lompo, salah satu gugusan kepulauan di Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Makassar, menjadi saksi perubahan iklim yang kian nyata.

Pulau dengan penduduk lebih 4 ribu jiwa itu sebagian besar menggantungkan hidup dari laut kini menghadapi tantangan besar: cuaca yang tak lagi bisa ditebak, ombak besar datang tiba-tiba, dan suhu udara yang kian menyengat.

Pada workshop Weathering with You yang digelar bersama Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas dan BMKG Sulawesi Selatan dan mendapat dukungan NUS Singapura, sejumlah warga dan unsur pemerintah setempat mengungkapkan keresahan mereka.

“Rumah-rumah warga yang dulunya tidak pernah kena air laut, kini mulai terdampak. Air laut bahkan sampai di dapur,” ungkap Kurnia, Lurah setempat.

“Seperti baru-baru ini, cuaca sangat buruk, saya juga sampaikan ke para pemilik kapal untuk tidak berangkatkan kapal,” tambah Kurnia.

Haji Saripuddin, seorang tokoh masyarakat mengakui kalau ada perubahan iklim, cuaca semakin ekstrem tetapi warga tetap menghadapinya.  “Dulu, masyarakat pulau di sini berhenti melaut saat ombak besar datang. Sekarang, karena tekanan ekonomi, mereka tetap melaut walaupun ombak mengganas.”

Ia juga menyoroti keterbatasan akses informasi dan komunikasi di pulau atau di sekitar pulau.

“Jaringan tidak stabil, atau sinyal hilang saat melaut. Padahal, kami butuh informasi dari BMKG—tanda-tanda alam seperti angin kencang, badai, atau ombak besar,” jelasnya.

Di sisi lain, fenomena alam yang dulu menjadi patokan kini mulai berubah. “Dulu, cumi-cumi hanya muncul saat terang bulan. Sekarang, tiap hari muncul, terang atau tidak. Kita bertanya-tanya: apakah ini tanda baik atau buruk? Alamkah yang berubah, atau kita yang tak lagi peka membaca polanya?”

Muhammad Darul Tajuddin warga lainnya, menyebut perlu menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal termasuk mengkombinasikan dengan pengetahuan atau informasi yang dibagikan BMKG.

Keresahan dan Harapan Masyarakat Pulau

Dalam diskusi yang diinisiasi lewat program Weathering With You itu yang juga dihadiri peserta dari sejumlah negara ASEAN, para peserta mendiskusikan langkah konkret menghadapi perubahan iklim.

“Suhu semakin panas di pulau kami. Mungkin karena pertumbuhan penduduk, industri, dan penggunaan solar. Tapi apa yang bisa kami lakukan di pulau kecil seperti ini?” tanya seorang peserta yang mengenakan kopiah.

Darul, warga lainnya, menyatakan pentingnya kehadiran BMKG di wilayah kepulauan. “Kami sangat terbantu dengan informasi cuaca dari BMKG. Apakah akurat? Sangat akurat! Menjadi acuan utama kami. Tapi, beberapa hari lalu, ombak besar datang tiba-tiba tanpa peringatan. Kami semua kaget. Lurah kami juga sempat bertanya: kenapa tidak ada informasi dari BMKG?”

Ia menambahkan, “Kalau ada peringatan, kami bisa diberi tahu untuk tidak melaut. Itu penting. Keselamatan lebih utama daripada sekadar mencari nafkah hari itu.”

Kata Darul, sebelum BMKG hadir, masyarakat pulau mengandalkan pengetahuan lokal. “Nenek moyang kami tahu kapan musim barat, kapan musim kering. Mereka tahu kapan harus ke Maluku, dan kapan pulang ke Surabaya atau Banyuwangi. Semua berdasarkan tanda-tanda alam.”

Sayangnya, lanjutnya, banyak generasi muda kini tak lagi bertanya pada orang tua. “Untung ada BMKG. Meski tak sempat bertanya, BMKG datang membawa data dan penjelasan. Inilah kekuatan ilmu hari ini. Terima kasih BMKG, atas pendampingan dan penjelasannya,” ucapnya.

Respons BMKG: Baca Langit, Jaga Bumi

Merespons keluhan dan harapan warga, Ayi Sudrajat dari BMKG Klimatologi menegaskan pentingnya membaca tanda-tanda visual di langit.

“Awan kumulonimbus—besar, gelap keabu-abuan—menandai potensi cuaca ekstrem. Biasanya diikuti petir dari kejauhan. Laut yang terbuka membuat awan ini lebih mudah dilihat. Jika melihat awan seperti itu, bersiaplah: bisa jadi hujan deras, petir, atau puting beliung akan datang,” jelas Ayi.

Puting beliung, jelas Ayi, lebih sering terjadi di daratan dan hanya berlangsung singkat.

“Namun tetap perlu diwaspadai, terutama bila ada angin tak biasa dan langit menghitam. Jangan abaikan tanda-tanda ini,” ucap Ayi.

Lebih jauh, Ayi mengajak warga untuk ikut berkontribusi menanggulangi dampak perubahan iklim. “Mari kita kembali menanam pohon. Dulu kita punya apotek hidup dan dapur hidup. Sekarang saya mulai lagi menanam cabai dan sawi. Ini bukan hanya untuk pangan, tapi juga membantu meredam panas dan menjaga air tanah.”

Kisah warga Barrang Lompo menggambarkan betapa nyata dampak perubahan iklim di garis depan kehidupan pesisir. Di satu sisi, pengetahuan lokal masih menjadi pegangan. Di sisi lain, informasi ilmiah dari BMKG menjadi penyeimbang yang vital.

Pada workshop yang difasilitasi Rijal Idrus, kepala pusat studi Perubahan Iklim Unhas itu, peserta diminta membagikan pengalaman, harapan dan bentuk solusi yang mereka bisa kontibusikan berkait ancaman perunahan iklim.

Peserta menuliskan ciri-ciri perubahan iklim yang mereka amati dan rasakan, menuliskan gejala apa saja, apa yang paling ditakutkan dengan adanya perubahan iklim serta apa saja yang dilakukan untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim itu.

Di ujung acara, para peserta sepakat bahwa kolaborasi antara warga, peneliti, dan institusi seperti BMKG menjadi kunci untuk bertahan dan beradaptasi di tengah iklim yang kian tak menentu.

Penulis Denun