Menakar Pemimpin, Populer atau Populis? Ditulis oleh Muliadi Saleh, seorang penulis, pemikir, penggerak literasi dan kebudayaan. “Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban.”
PELAKITA.ID – Di zaman yang penuh ilusi, ketika kamera lebih tajam dari kata-kata, dan citra lebih cepat menyebar dari kinerja, kita diperhadapkan: apakah kita butuh pemimpin yang populer, atau yang benar-benar memihak rakyat?
Di warung kopi dan ruang debat digital, kata “populer” dan “populis” sering dipakai bergantian.
Padahal, keduanya seperti bulan dan matahari—sama-sama bercahaya, tapi tak pernah hadir di langit yang sama.
Populer berarti disukai. Pemimpin yang populer adalah mereka yang ramah kamera, hangat dalam sapaan, dan viral dalam unggahan.
Mereka berkampanye meriah, tersenyum di atas panggung, dan hadir seperti selebritas politik.
Sementara populis adalah soal keberpihakan. Ia bukan sekadar soal gaya, tapi tentang strategi.
Pemimpin populis menjual narasi tentang kita dan mereka. Kita adalah rakyat kecil, mereka adalah elite yang rakus.
Narasi ini memecah, tapi juga membakar semangat, apalagi saat harga kebutuhan dasar naik dan keadilan terasa mahal.
“Pemimpin populer belum tentu populis, dan pemimpin populis belum tentu substantif,” kata Prof. Syamsuddin Haris, peneliti senior politik LIPI, dalam sebuah diskusi.
“Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bukan hanya tampil dekat dengan rakyat, tapi juga berpihak secara nyata, tanpa terjebak pencitraan murahan.”
Popularitas: Mata Uang Baru Kekuasaan?
Era digital menjadikan popularitas sebagai komoditas kekuasaan. Pemimpin kini bersaing bukan hanya di bilik suara, tapi di beranda media sosial.
Mereka menciptakan citra: pemimpin merakyat, pemimpin sederhana, pemimpin bersepatu kets dan menyetir sendiri.
Namun, benarkah citra mencerminkan kinerja?
Popularitas bisa mengantar ke puncak kekuasaan, bisa melangsungkan jalan ke istana, tapi bukan jaminan bahwa seseorang akan membawa bangsa ini ke arah yang menggapai cita tujuannya yang benar.
Ada pemimpin daerah yang unggul di media, tapi tak punya capaian berarti dalam tata kelola, anggaran, atau pengentasan kemiskinan.
Populis: Retorika atau Realita?
Di sisi lain, pemimpin populis memanfaatkan ketidakpuasan rakyat. Mereka tampil sebagai penyelamat dari ketimpangan. Namun hati-hati: populisme tanpa solusi hanya akan menciptakan kemarahan tanpa arah.
Bangsa Ini Butuh Pemimpin Sejati
Di tengah kebingungan antara popularitas dan populisme, apa sejatinya pemimpin yang kita butuhkan?
Pemimpin sejati bukan hanya dicintai rakyat, tapi mampu mencintai rakyat dalam sunyi—lewat kebijakan, keadilan, dan keberanian melawan arus. Ia bukan pemimpin yang menyenangkan, tapi yang menenangkan. Bukan yang ramai dipuja, tapi yang bekerja diam-diam menata negeri.
Kita membutuhkan pemimpin yang tak hanya memiliki elektabilitas, tapi juga integritas. Kita membutuhkan nilai moral dan keteladanan, bukan hanya retorika dan rating.
Antara Citra dan Cita
Kita tidak menolak pemimpin yang populer, selama ia tidak terjebak dalam citra kosong. Kita tidak menolak pemimpin populis, selama ia benar-benar berpihak dan mengajak rakyat berpikir jernih, bukan membakar emosi.
Idealnya, bangsa ini dipimpin oleh mereka yang populer karena kerja nyata, dan populis karena keberpihakannya yang tulus.
Seperti Nelson Mandela—ia populer karena perjuangannya melawan apartheid, dan populis karena ia memang berdiri di sisi rakyat tertindas. Tapi ia tak pernah membakar dendam, melainkan menyalakan rekonsiliasi.
Seperti Jacinda Ardern di Selandia Baru—populer karena kepemimpinan empatiknya, dan populis dalam keberpihakannya kepada kaum minoritas, tapi tetap rasional dan terbuka.
Di Indonesia, kita butuh pemimpin yang mampu menjadi Soekarno dalam ide, Hatta dalam etika, dan Tan Malaka dalam keberanian berpikir alternatif.
Penutup: Menolak Pesona Semu
Popularitas hanyalah bunga yang mekar sementara. Ia bisa layu oleh badai kenyataan. Bangsa ini butuh akar, bukan hanya bunga. Butuh kedalaman, bukan sekadar tepuk tangan.
Pemimpin adalah cermin bangsa. Bila kita memilih pemimpin berdasarkan wajah, maka kita hanya akan mendapat sandiwara. Tapi bila kita memilih berdasarkan nilai dan visi, maka kita akan punya harapan untuk menulis ulang sejarah bangsa ini dengan tinta keadilan.