PELAKITA.ID – Di balik ruang operasi yang hening dan dingin, saya duduk tenang. Di mata saya, yang dahulu bersinar terang, kini mengambang kabut usia.
Katarak telah menutup jendela dunia yang dulu terbuka lebar. Bayangan anak, istri, bahkan wajah saya sendiri telah lama menjadi siluet kabur. Namun hari itu, saya datang dengan harap dan doa: agar Tuhan mengembalikan cahaya.
Di meja operasi, dokter mata memulai tugas suci. Cahaya lampu menyinari wajah saya, dan doa-doa lirih bergema dalam diam.
Dengan tangan terampil dan hati penuh welas, dokter membuka lapisan demi lapisan yang menghalangi cahaya menembus retina. Dalam waktu singkat, kabut itu pun disingkirkan.
Dunia, yang sebelumnya seperti dalam mimpi, mulai kembali tampak nyata.
Beberapa hari setelah operasi, saya menatap langit pagi dari beranda rumah. Saya menangis pelan. Warna-warni kembali ke dalam hidup saya: hijau dedaunan, biru langit, merah jambu bunga yang tumbuh di pekarangan, senyum anak-anak yang begitu manis dan sapaan lembut sang istri yang menenangkan.
Betapa saya telah lama kehilangan semua itu. Betapa saya telah lama berada dalam gelap, meski siang terus berganti.
Sungguh, sepasang mata adalah karunia terbesar dari Sang Pencipta. Ia bukan sekadar alat untuk melihat, tapi jendela menuju keajaiban dunia.
Setiap warna, bentuk, gerak, dan cahaya adalah lukisan Tuhan yang hanya bisa dibaca oleh mata yang berfungsi. Maka tak berlebihan jika Allah berfirman:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(QS. An-Nahl: 78)
Namun seringkali saya lalai mensyukuri nikmat itu. Saya terbiasa bangun pagi melihat cahaya tanpa pernah mengucap “Alhamdulillah”.
Saya menikmati senja tanpa merenung bahwa ada orang yang tak lagi melihat warna jingga. Saya menatap wajah orang-orang yang saya cintai, tanpa menyadari bahwa ada yang hanya mengenal mereka lewat suara.
Mata adalah cermin kasih sayang Tuhan. Ia menyampaikan cinta dalam kedepan dan lirikan, kerinduan dalam tatapan, dan doa dalam pandangan penuh harap. Maka ketika Allah mencabut sebagian fungsinya, barulah saya sadar bahwa kehilangan penglihatan adalah kehilangan setengah dunia.
Dalam sebuah hadist qudsi, Rasulullah SAW bersabda:
“Allah berfirman: Jika Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya lalu ia bersabar, maka Aku akan gantikan keduanya dengan surga.”
(HR. Bukhari)
Betapa indah janji itu. Sabar dalam kehilangan penglihatan bukan sekadar keteguhan, tapi jalan menuju kenikmatan abadi. Namun, lebih dari itu, bagi yang matanya masih sempurna, hadist ini menjadi peringatan: agar mata tidak digunakan untuk kemaksiatan. Agar ia senantiasa dijaga dari memandang yang haram, dari menghina, dari membandingkan nasib tanpa syukur.
Operasi katarak bagi saya bukan hanya prosedur medis. Ia adalah perjalanan ruhani. Ia adalah pelajaran tentang kehilangan, harap, dan pemulihan. Dalam redup yang berkepanjangan, harapan hidup kembali menyala. Dalam gelap, doa menemukan maknanya yang paling dalam.
Bayangkan betapa berharganya sebutir cahaya bagi orang yang pernah hidup dalam kabut.
Bayangkan betapa nikmatnya melihat kembali wajah pasangan, lembaran Al-Qur’an, dan jalur-jalur kecil menuju masjid. Betapa merdeka rasanya berjalan tanpa takut tersandung, menyapu halaman sendiri, dan kembali menjadi bagian dari dunia yang terlihat.
Kini, saya tak henti bersyukur. Tiap kali membuka mata, saya seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Saya membaca ayat demi ayat dengan air mata. Saya menatap langit dengan rindu yang baru. Dan saya tahu, bahwa nikmat penglihatan bukan sekadar tentang melihat dunia, tapi tentang melihat ke dalam diri—mengenali tanda-tanda kebesaran-Nya.
“Tidakkah mereka memperhatikan unta bagaimana diciptakan? Dan langit bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan?”
(QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)
Ayat-ayat ini tak akan pernah berarti bagi mata yang tertutup oleh katarak syahwat atau kabut kesombongan. Tapi bagi mata saya yang baru saja sembuh dari operasi, ayat ini terasa hidup. Segala ciptaan Allah seolah berbicara. Segala keindahan dunia seolah bersaksi: bahwa penglihatan adalah pintu syukur yang agung.
Hari ini, saya mengajak siapa pun yang membaca kisah ini untuk merenung: Berapa banyak dari kita yang masih bisa melihat, namun gagal memandang? B
erapa banyak yang matanya sehat, tapi buta dari hikmah? Berapa banyak yang tak pernah bersyukur atas nikmat ini, hingga akhirnya Allah menegur dengan kehilangan?
Sepasang mata adalah saksi kehidupan. Ia merekam kisah manis, cerita duka, harapan, dan petunjuk dari langit. Ia memandang ayat-ayat tertulis maupun ayat-ayat semesta. Ia adalah alat, tapi juga amanah.
Maka jagalah ia. Gunakan ia untuk menatap wajah ibu dengan lembut dan menggandeng tangann istri yang setia menemani dengan kasih sayang , membaca mushaf dengan khusyuk, dan memandang ciptaan-Nya dengan takjub.
Dan jika suatu hari nanti kabut katarak datang menghampiri, ingatlah bahwa itu bukan akhir segalanya. Di sana ada pelajaran, ada keikhlasan, ada kesembuhan yang bisa jadi mengantar kita pada kesadaran tertinggi: bahwa segala yang terang hanyalah pantulan cahaya dari Sang Maha Terang.
“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”vMuliadi Saleh(QS. Al-Hajj: 46). Tetap semangat, tetap bersyukur.