Rusdin Tompo | Tips Mengemas Isu untuk Perubahan Sosial

  • Whatsapp
Rusdin Tompo (dok: Pelakita.ID)

Setiap cerita bisa menjadi pengingat bahwa perubahan tidak selalu lahir dari panggung besar, melainkan dari secangkir kopi di warung kecil yang membuka obrolan tentang sawah yang hilang, anak yang tak sekolah, dan masa depan yang mesti dipertahankan bersama

PELAKITA.ID – Pengalaman panjang dalam advokasi membuat kita paham bahwa kerja-kerja perubahan sosial tidak bisa dilepaskan dari kemampuan untuk mengemas isu.

Hal tersebut disampaikan oleh penulis dan pegiat literasi Komunitas Satu Pena Sulawesi Selatan pada workshop Menulis Isu Desa-Kota yang digelar oleh Pelakita.ID, Jumat, 11 April 2025.

Dikatakan Rusdin, dalam dunia yang terus bergerak cepat ini, kemampuan menyusun narasi yang kuat dan relevan menjadi kunci agar sebuah persoalan tidak hanya terdengar, tapi juga menggerakkan.

“Bagi mereka yang bergerak di LSM, mengemas isu bukan sekadar menyampaikan cerita, tetapi bagaimana cerita itu bisa sampai ke tangan para pengambil kebijakan dan berbuah pada perubahan publik yang nyata,” ucapnya.

Dia menyebut cerita-cerita kecil yang dulu diangkat—seperti pungutan liar dalam pengurusan surat keterangan miskin atau kisah anak yang terjebak dalam lingkaran administratif karena tak punya akta kelahiran—telah memberi pelajaran penting.

Isu besar seperti pemberantasan korupsi atau pencatatan kelahiran gratis pernah dibangun dari kisah sehari-hari di kampung dan kelurahan.  Dari Makassar, inisiatif-inisiatif advokasi bahkan mampu membuka mata kementerian di Jakarta.

“Data yang akurat, dikombinasikan dengan narasi yang membumi, menjadi senjata untuk mendorong lahirnya regulasi baru yang berpihak pada masyarakat,” sebutnya.

“Hari ini, kita berada di era digital, di mana advokasi bisa datang dari mana saja—dari unggahan sederhana di media sosial hingga gerakan digital berskala besar. Tapi esensinya tetap sama: kemampuan melihat hal-hal kecil di sekitar kita sebagai pintu masuk perubahan besar.,” terangnya.

Ketika bicara soal PHK, misalnya, banyak orang lupa melihat dampaknya terhadap anak-anak. Padahal dari sanalah bisa lahir generasi yang hilang.

“Maka, menulis kampung, menulis kecemasan, menulis realitas sekitar adalah bagian dari advokasi itu sendiri,” ucapnya.

“Setiap cerita bisa menjadi pengingat bahwa perubahan tidak selalu lahir dari panggung besar, melainkan dari secangkir kopi di warung kecil yang membuka obrolan tentang sawah yang hilang, anak yang tak sekolah, dan masa depan yang mesti dipertahankan bersama,” ujarnya,

Dia juga menyebut bahwa mengemas isu mestinya dibuat lebih sederhana namun efektif. Lalu sampai terutama ke penentu kebijakan.

“Karena kita bicara mengumas isu dalam kerangka kerja advokasi di setiap tahapan itu akan selalu ada kerjanya berkaitan dengan kerja-kerja jejaring media dan muaranya itu ada pada perubahan kebijakan publik,” jelasnya.

Dia lalu mencontohkan bagaimana wacana pentingnya pemberantasan korupsi itu dengan membawa cerita-cerita kecil itu. Pungutan-pungutan, RTRW, kelurahan dan lain-lain.

Rusdin mencontohkan bagiamana pendataan orang miskin yang masih problematik karena ada ‘palak data’. Bagaimana proses pembuatan Kartu Keluarga dan imbasnya jika tidak tidak terpenuhi.

“Begitu lingkaran setannya sehingga itu membuat isu tentang pemberantasan korupsi menjadi sangat relevan. Kenapa itu penting? Itu dalam konteks pemberantasan korupsi,” ujar dia.  Dia juga menceritakan isu anak di LPA Sulawesi Selatan, UNICEF, hingga Plan International.

Mengemas Isu

“Memang sekarang kita sudah berada di era digital. Bahkan peran-peran kita banyak itu diambil alih oleh model-model strategi advokasi digital,” ucapnya.

“Saya sepakat bahwa kadang-kadang tidak semua orang bisa melihat persoalan-persoalan yang dekat dengan dia, yang ada di keseharian dia itu penting untuk ditulis, tapi kita masuk dengan fakta-fakta sederhana, latar informasi sederhana lalu kita bawa kepada persoalan-persoalan yang lebih besar begitu,” tambahnya.

Dia juga menyebut bahwa jika kita bicara tentang Indonesia Emas 2045 di saat ada persoalan stunting. “Apakah itu bisa diselesaikan dengan MBG? Sabar dulu. Iya. Saya juga sekarang mendampingi sekolah dan melihat secara nyata bagaimana atau praktik seperti apa yang dilakukan di program MBG itu begitu ya. Paling tidak di sekolah-sekolah yang saya datangi begitu,” ucapnya.

Rusdin menyebut ada isu-isu lain atau persoalan yang tidak mengemuka. Misalnya kita tidak lagi mendengar istilah “the lost generation.”

“Ini istilah yang muncul pada saat krisis ekonomi. Jadi waktu krisis ekonomi banyak orang tua yang di PHK. Sekarang kan ada banyak sekali orang yang terkena PHK. Orang tua terkena PHK berarti penghasilannya hilang dan itu berarti dampaknya kepada anak-anak. Kalau kita belajar dari persoalan krisis ekonomi, ketika dia putus sekolah, dia bisa menjadi anak jalanan, pekerja anak, bentuk-bentuk pekerjaan untuk anak, prostitusi anak, dan persoalan-persoalan lain. Ini hampir tidak ada lagi orang bicara tentang itu,” paparnya.

Dikatakan Rusdin, ketika orang bicara PHK, orang selalu bicara bahwa keluar, apakah itu ke luar negeri dulu atau karena saja dulu, atau karena perusahaan-perusahaan asing yang penanaman modal itu investor itu dia memindahkan pabriknya ke luar.

“Tapi orang tidak bicara dampaknya terhadap anak-anak yang berkaitan dengan generation. Justru ketika kita berharap di tahun 2045 kita menuju Indonesia Emas. Ini sesuatu yang barangkali juga perlu dielaborasi begitu,” ucapnya.

Perlu Data dan Ilustrasi

Rusdin menyebut, berkaitan dengan tulisan-tulisan yang sifatnya advokatif itu yang pertama tadi adalah ada data, kemudian ada ilustrasi kasus.

“Kenapa data perlu? Karena itu menggambarkan besaran persoalannya. Ilustrasi kasus itu menunjukkan dampaknya, aspek interest-nya. Tadi sudah diingatkan itu ya. Apalagi kalau kita bicara isu HAM, itu kan kita tidak bicara angka-angka karena isu HAM satu orang pun juga itu menjadi penting,” jelasnya.

“Aspek regulasinya, kajian-kajian regulasi kritis ini juga penting. Bahwa kita mau suasai pada pangan, ketahanan pangan tapi di saat bersamaan keran impor dibuka sebebas-bebasnya gitu. Iya,” ujar Rusdin.

“Hal-hal yang sederhana misalnya dua hari yang lalu saya ngopi di kawasan Mawang. Dan saya ngobrol dengan teman-teman  pegiat literasi di situ dan penerbit buku. Saya bilang, “Kita ini ngopi enak, tapi kita lupa bahwa kawasan bisnis ya, kafe-kafe ini dan juga perumahan itu kan dibangun di atas lahan-lahan persawahan?”” tanyanya.


Redaksi