Kolom Muliadi Saleh | Pulangkah Aku, atau Kembali ke Masa Lalu?

  • Whatsapp
Ir Muliadi Saleh di kampung halaman (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Ada sesuatu yang selalu memanggil ketika langkah ini menjauh dari tanah kelahiran.

Mungkin itu suara angin yang membawa harum sawah selepas hujan, atau gemerisik dedaunan yang berbisik tentang hari-hari silam. Atau mungkin, itu hanyalah hati yang tak pernah benar-benar pergi, meski raga telah berkelana jauh.

Ketika akhirnya kaki ini kembali menjejak tanah kampung, waktu seolah melambat. Rumah-rumah kayu masih berdiri kokoh dengan kenangan yang melekat di tiap retaknya.

Jalan setapak yang dulu berdebu kini menyambut dengan keheningan yang damai. Senyum orang-orang yang dulu sering kusapa tetap hangat, meski wajah mereka kini dihiasi garis-garis usia yang kian tegas.

Dan ah, aroma itu! Bau kayu yang terbakar di tungku, bercampur dengan wangi santan yang menyeruak dari dapur.

Ketika aku mendekat, di atas meja kayu yang menjadi saksi percakapan panjang, tersaji ‘burasa’, ‘songkolo’, dan ketupat—hidangan yang tak sekadar mengenyangkan, tetapi juga menghangatkan hati yang sempat dingin.

Dapur di kampung bukan sekadar tempat memasak; ia adalah laboratorium kenangan, tempat tangan-tangan cekatan meracik cita rasa yang membawa pulang masa lalu.

‘Songkolo’ dan ‘burasa’ dengan gurihnya yang khas, ditemani kari ayam dan ‘bajabu’ yang menggugah selera.

Tak ketinggalan ‘ule-ule tarreang’ yang selalu setia melengkapi, bersama ikan asin yang renyah dan sambal yang menggoyang lidah.

Kue-kue tradisional tersusun rapi, mengundang jari untuk mencubitnya, membiarkan manisnya larut di mulut, membawa ingatan kembali ke masa kecil yang penuh kebebasan.

Rindu Tana Mandar (dokL Istimewa)

Setiap rasa bukan hanya tentang bahan dan bumbu, tetapi tentang kisah—tentang tangan-tangan penuh kasih yang pernah menyuapi kita tanpa pamrih.

Saat duduk di serambi, menatap senja yang jatuh di ufuk, hati tanpa sadar menyadari satu hal: masa lalu adalah tempat yang selalu ingin kita pulangi.

Di sanalah tawa tanpa beban pernah mengalun, hari-hari berjalan tanpa tergesa, dan kebahagiaan datang tanpa perlu dikejar. Namun, seperti sungai yang tak mungkin mengalir ke hulu, kita pun tak bisa benar-benar kembali.

Jangan biarkan kenangan indah ini hanya menjadi fosil di ruang ingatan. Jangan izinkan kebahagiaan yang pernah nyata terkubur oleh kepenatan hari ini. Biarkan ia tetap bernyala—menjadi suluh yang menuntun langkah, bukan batu yang membebani bahu.

Mari!

Sebab, sesungguhnya, masa lalu bukan untuk ditangisi atau ditinggali—ia ada untuk dikenang, dihidupi dalam hati, dan dijadikan pelita bagi masa depan.

“Jangan membunuh masa depanmu dengan keris masa lalumu.”
— Moel’S @03042025