Sejumlah pengamat menyebut demo Mahasiswa ‘Indonesia Gelap’ dapat mengguncang legitimasi pemerintahan Prabowo
PELAKITA.ID – Sejumlah pengamat menilai bahwa legitimasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai goyah setelah gelombang aksi demonstrasi mahasiswa bertajuk Indonesia Gelap merebak di berbagai daerah.
Aksi ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat serta membahayakan masa depan generasi muda, terutama terkait pemotongan anggaran di beberapa sektor penting.
Para akademisi memperingatkan bahwa krisis kepercayaan terhadap pemerintah bisa semakin membesar jika kebijakan-kebijakan tersebut tidak segera dikoreksi.
“Aksi demonstrasi ini setidaknya akan terus menjadi pukulan bagi pemerintahan Prabowo, yang secara faktual dukungannya mulai melemah,” ujar akademisi dan sejarawan Andi Achdian.
Menanggapi gelombang aksi mahasiswa, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa Presiden Prabowo menghormati 13 tuntutan yang disuarakan dan menegaskan bahwa pemerintah siap menerima aspirasi mahasiswa dengan tangan terbuka.
Suara Mahasiswa: ‘Kami Muak dengan Kebijakan Pemerintah’
Tya, salah satu mahasiswa yang ikut dalam demonstrasi, mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto yang menurutnya semakin memberatkan rakyat.
“Sudah muak melihat kebijakan pemerintah yang dibuat tanpa pertimbangan matang dari para ahli maupun masyarakat. Alih-alih membantu, kebijakan itu justru menambah beban rakyat,” kata Tya kepada BBC News Indonesia.
Karena merasa tidak tahan dengan kondisi ini, mahasiswa Universitas Indonesia itu akhirnya memutuskan untuk turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa pada Senin (17/02). Mengenakan jaket kuning dan membawa poster sindiran untuk Presiden Prabowo, ia menegaskan bahwa keikutsertaannya merupakan wujud tanggung jawab dalam menyuarakan kepentingan rakyat, terutama terkait pemotongan anggaran.
Demonstrasi yang diikuti ribuan mahasiswa di Kota Semarang ini menuntut agar pemerintah membatalkan konsesi tambang bagi perguruan tinggi, menghentikan segala bentuk militerisasi di ranah sipil, serta lebih memperhatikan anggaran pendidikan dan kesehatan.
“Banyak penerima KIP-K (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) yang terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan. Bahkan mahasiswa yang mendapatkan beasiswa luar negeri pun kini menghadapi ketidakpastian karena anggaran yang tidak jelas,” tambahnya.
Menurutnya, pemangkasan anggaran pendidikan berpotensi menurunkan kualitas dan akses terhadap pendidikan tinggi, terutama bagi masyarakat kelas bawah.
“Pendidikan yang layak adalah hak semua anak bangsa,” tegasnya.
Pemerintah Membantah Isu Pemangkasan Anggaran
Di sisi lain, Satryo Soemantri Brodjonegoro membantah adanya kenaikan UKT maupun pemotongan anggaran pendidikan tinggi untuk beasiswa dan KIP-K.
“Pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan tidak ada pengurangan anggaran untuk beasiswa maupun KIP-K,” katanya dalam pernyataan resmi pada Rabu (19/02). Ia juga menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak akan berdampak pada biaya pendidikan tinggi, sehingga UKT tetap stabil.
Namun, Tya bersikeras bahwa kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintahan Prabowo tidak masuk akal.
“Seharusnya efisiensi dimulai dari pembentukan kabinet yang lebih efektif, bukan justru menambah pejabat dan melantik staf khusus baru,” cetusnya.
Ia juga menyoroti bahwa beberapa kementerian dan lembaga yang tidak berhubungan langsung dengan kesejahteraan rakyat, seperti TNI dan Polri, justru tetap mendapatkan anggaran besar.
“Ketika mahasiswa di Papua berdemo menolak program makan bergizi gratis, polisi malah menembakkan peluru ke arah mereka. Padahal tugas polisi adalah melindungi rakyat, bukan menindas,” katanya dengan nada kecewa.
Melihat berbagai kebijakan yang menurutnya semakin menyusahkan, Tya dan teman-temannya mengaku pesimistis terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Saya melihat kebijakan pemerintah saat ini banyak yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka mengklaim semua kebijakan dibuat untuk kepentingan rakyat, tapi rakyat yang mana?” pungkasnya.
Pengamat: ‘Legitimasi Pemerintahan Prabowo Semakin Goyah’
Para pengamat menilai bahwa aksi demonstrasi mahasiswa yang berlangsung selama hampir sepekan ini mencerminkan akumulasi kekecewaan publik—sesuatu yang seharusnya diperjuangkan oleh DPR.
Sosiolog UGM, Heru Nugroho, menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti gelombang PHK, sulitnya mendapatkan pekerjaan, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan kebijakan pemangkasan anggaran semakin memicu kemarahan masyarakat.
“Pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan dasar masyarakat. Jika pemerintah mengabaikannya, rakyat yang paling terpukul. Ketika batas kesabaran mereka terlampaui, maka aksi protes tidak bisa dihindari,” ungkap Heru kepada BBC News Indonesia.
Saat ini, menurutnya, yang baru bergerak adalah mahasiswa. Namun jika kondisi semakin memburuk, bukan tidak mungkin rakyat akan ikut turun ke jalan.
Pendapat ini sejalan dengan analisis akademisi dan sejarawan Andi Achdian, yang menyebut bahwa rentetan demonstrasi mahasiswa menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
“Legitimasi pemerintahan Prabowo di mata mahasiswa sudah goyah. Orang-orang mulai kehilangan rasa hormat dan kepercayaan terhadap pemerintah karena kebijakan-kebijakan yang menyentuh langsung hajat hidup mereka,” katanya.
Menurutnya, jika pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan, aksi protes ini akan semakin meluas, tidak hanya di media sosial tetapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Meski begitu, Andi menilai bahwa situasi saat ini masih jauh dari krisis politik besar seperti yang terjadi pada 1998. Pasalnya, Prabowo masih memiliki dukungan kuat dari partai politik serta kelompok masyarakat kelas bawah.
“Perbedaannya adalah, pada 1998, Suharto mulai kehilangan dukungan dari kroni-kroninya, baik dari partai politik maupun militer. Sementara Prabowo, sejauh ini, masih mendapat sokongan dari elite politik dan birokrasi,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa jika situasi terus memburuk dan tuntutan mahasiswa tidak diakomodasi, pemerintah bisa kehilangan legitimasi lebih jauh.
“Demonstrasi yang terjadi dalam empat bulan pertama pemerintahan Prabowo bisa menjadi sinyal berbahaya. Saya menyebutnya seperti ‘raksasa berkaki lempung’—terlihat kuat, tetapi pondasinya rapuh,” tutupnya.
Sumber: BBC Indonesia