Kabar dari LUWU RAYA: Jengkol Ancam Posisi Kakao yang Rentan

  • Whatsapp
Andi Ridwan Baso di depan kebun jengkolnya di Bone-Bone (dok: A. Ridwan)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Pembaca Pelakita.ID sudah pernah icip-icip jengkol? Jika sudah, bagaimana rasanya? Nikmat? Atau ada ‘rasa yang tertinggal?’

Jengkol atau jering dalam bahasa Latin, Archidendron pauciflorum, saat ini menyita perhatian publik karena menjadi tanaman substitusi untuk kakao yang sedang dirundung nelangsa.

Saat produksi kakao sedang anjlok, penyakit tak kunjung hilang, pohon semakin tua, petani mulai beralih ke jengkol.

Read More

“Siapa mau terus menerus rugi?” begitu batin mereka.

Informasi itu disampaikan oleh Andi Ridwan Baso yang pernah bekerja sebagai ‘field technician’ untuk program kakao Success Alliance USAID atau program pengelolaan tanaman kakao secara berkelanjutan di Luwu Utara pada tahun 2000-an awal.

Menurut Ridwan, jengkol hampir mirip dengan tanaman kakao.

“Panen dua kali setahun, panen raya biasdi bulan April hingga Mei. Kita masih bisa panen sela pd bulan Oktober hingga November,” jelas Ridwan kepada Pelakita.ID, Ahad, 22/7.

Trend produksi jengkol Indonesia (dok: Data Indonesia)

Dia menyebut dia sudah punya sejumlah batang pohon jengkol di kebunnya di daerah Bone-Bone, Luwu Utara.

“Usianya sudah masuk tahun kelima. Kami mulai panen pada umur tanaman 3 sampai 5 tahun. Saya sudah panen yang kedua,” ujarnya.

Dia menambahkan, sejumlah petani kakao bahkan yang sudah punya kelompok petani kakao hengkang atau mengubah tanaman kakao menjadi jengkol.

“Khusus untuk Luwu Utara sudah banyak kecamatan di mana pembudidaya dan petani kakao sudah beralih ke jengkol,” ungkap dia.

Alasannya, lanjut Ridwan, jengkol sangat mudah dikelola dibanding kakao yang rentan.

“Dan hasilnya juga lebih besar. Sampai saat ini pasaran jengkol tidak ada masalah, harga di petani kisaran 20 hingga 30 ribu per kilo,” jelasnya.

Menurut catatan Ridwan, jengkol yang dikirim ke Jakarta dari wilayah Lutra termasuk Pendolo Sulawesi Tengah sampat bulan ini sudah sekitaran 1.800 ton.

Terkait kepastian penjualan jengkol, Ridwan menyebut saat berbunga pun, petani pun sudah didatangi pedagang untuk ditender atau ‘dibeli di awal’.

Selain beralih ke jengkol, petani kakao juga mulai beralih ke pertanian sawah atau palawija.

“Untuk Luwu dan Luwu Utara bisa disebut petani sudah beralih ke komoditi padi dan tani, hortiikultura khususnya jagung. Jagung jadi primadona sekarang,” ujar Agus, dari Ponrang.

“Kenapa jagung dan padi menjadi primadona karena pada saat penjualan atau panen petani langsung mendapatkan uang yang besar hasil penjualan gabah dan jagung,” katanya.

“Itu dibanding kakao yang hasil sedikit karena penannya setiap minggu, jadi hasil sedikit,” kata Agus.

“Jadi ditakutkan kakao tinggal kenangan di kawasan Luwu Raya, apalagi apalagi muncul sekarang pendatang baru dan petani Luwu Raya sudah penanaman besar-besaran yaitu Jengkol,” tambahnya.

“Saya dapat info kalau sejumlah lahan di Kota Palopo dan sekitarnya sudah ‘dijengkolkan’,’ tambah Agus.

Menurutnya, harga jengkol perkilo bisa capai Rp35 hingga 40 perkilo.

“Hasil jengkol per hektar bisa capai 5 hingga 7 ton per musim, setara 80 sampai 110  pohon per hektar  tergantung selera jarak tanam,” ucapnya.

“Kalau dilihat analisis usaha taninya sama dengan kakao, yang pasti petani langsung pegang uang banyak sebelum dikeluarkan modalnya,” tambahnya.

Tetap dengan Kakao

Pendapat agak berbeda disampaikan Suharman, alumni Success Aliance lainnya.

Menurutnya jengkol bisa menjadi alternatif petani tapi tak harus mematikan atau meninggalkan kakao. Sebab menurutnya, harga kakao pun saat ini sangat bagus.

“Harga kakao sudah merangkak naik, bahkan sudah mencapai 49,900 per kilo,” ucap Suharman yang telah 20 tahun lebih pada pendampingan program peningkatan produksi kakao ini.

“Petani memang perlu alternatif selain kakao juga ada tanaman lain apalagi harga saat ini luar biasa sudah tembus 49 ribu lebih bahkan Rp 51 ribu per kilo,” tambahnya.

Untuk masa depan kakao di Sulsel, atau di Indonesia secara umum, dia berharap ada upaya memperbaiki hulu hilir usaha tanaman kakao.

“Perlu riset, perlu memastikan bibit kakao yang baik, termasuk penyadartahuan petani kakao tentang aspek ekologi hingga peta bisnisnya,” kata dia.

Terkait ide menanam kakao dengan jengkol menurut Agus S. Husein kurang bagus sebab tanaman jengkol perlu cabang banyak untuk mendulang banyak buah.

Tentang Jengkol

Tanaman atau buah jengkol kerap dimanfaatkan sebagai obat seperti untuk mencegah diabetes dan penyakit jantung.

Beberapa waktu lalu, karena manfaatnya itu jengkol di pasar nasional pernah mencapai Rp 100.000 per kg pada pertengahan tahun 2010-an. Saat itu banyak pembudidaya jengkol yang mendadak kaya dan sukses.

Tanaman ini masuk ketegori tanaman sayuran tahunan yang tumbuh di daerah tropis dan menyebar di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Singapura.

Kebun jengkol Andi Ridwan di Bone-Bone (dok: istimewa)

Berdasarkan analisis buahnya, dalam 100 gram jengkol terdapat 133 kkal energi, 23.3 gram protein, 20.7 gram karbohidrat, 240 SI Vitamin A, 0.7 mg Vitamin B, 80 mg Vitamin C, 166.67 mg Fosfor, 140 mg Kalsium, 4.7 mg Zat Besi, dan 49.5 gram Air.

Cara budidaya jengkol dimulai dengan mengetahui syarat tumbuh jengkol. Tanaman jengkol dapat tumbuh baik di daerah dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 m dpl.

Untuk tipe tanah, jengkol dapat tumbuh di tanah tipe latosol dan kurang dapat tumbuh dengan baik di tanah berpasir.

Berdasarkan sistem Schimdt Ferguson, jengkol tumbuh baik di daerah beriklim C dan D dan daerah lembab hingga agak lembab.

Meski jengkol tumbuh baik di dataran rendah, jengkol tetap tidak tahan dengan kemarau berkepanjangan.

Ada beberapa tahap yang harus diperhatikan dalam menanam tanaman ini.  Pohon jengkol adalah salah satu tanaman asli daerah tropis, tapi tanaman jengkol bisa tumbuh di mana saja asal dekat dengan sumber air.

Sebaiknya tanaman jengkol di tanam pada dataran rendah dan pastikan bahwa lahan untuk membudidayakan tersebut dapat di tembus oleh sinar matahari, karena tanaman jengkol membutuhkan banyak kadar sinar matahari. Jangan lupa perhatikan kadar kelembaban yang cukup ketika memilih lahan.

Peta Jengkol Nasional

Situs Data Indonesia menyebut jengkol menjadi salah satu makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai macam olahan.

Tak hanya di dalam negeri, jengkol juga telah merambah pasar mancanegara melalui ekspor dari beberapa daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi jengkol nasional mencapai 152.609 ton pada 2021.

Jumlah tersebut meningkat 18,17 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 129.143 ton.

Melihat trennya, produksi jengkol di dalam negeri cenderung meningkat sejak 2014-2021.

Produksi jengkol sempat menurun 4,43 persen menjadi 56.093 ton pada 2016. Hanya saja, jumlahnya kembali meningkat hingga 2021.

Buah jengkol

Bahkan, produksi jengkol pada tahun lalu merupakan yang terbesar selama ini. Dilihat dari wilayahnya, produksi jengkol terbesar terdapat di Sumatera Barat mencapai 26.157 ton. Jumlah itu menyumbang 17,13 persen dari total produksi jengkol nasional.

Daerah sentra jengkol terbesar di Sumatera Barat, antara lain Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Limapuluh Kota, dan Kabupaten Agam.

Posisinya disusul Jawa Barat dengan produksi jengkol sebanyak 18.336 ton. Kemudian, produksi jengkol di Lampung tercatat sebesar 17.858 ton.

Pembaca sekalian, jika jengkol semakin masif ditanam di Luwu Utara, di Luwu Raya, bukan tidak mungkin Sulsel akan merangsek ke level nasional sebagai produsen jengkol mengalahkan yang lain. Cobami!

 

Redaksi

 

Related posts