Yang paling tak logis adalah ketika Pak Jokowi batalkan membuka Munas Kahmi di Palu
PELAKITA.ID – Realitas Anies yang selama ini disembunyikan melalui framing berbagai lembaga survey mulai terkuak.
Kunjungannya di beberapa daerah selama November 2022 yang disambut hingga puluhan ribu massa, menunjukkan bahwa Anies tak hanya diterima, tetapi malah menjelma menjadi sosok yang dirindukan.
“Lihatlah massa yang menyambut Anies di Medan, Jogja, Tasikmalaya, Ciamis, Aceh, Padang, dan Riau. Padahal ia datang tidak membawa apa-apa, selain hanya membawa diri, ingin bertemu dan menyapa.”
Anies datang tidak membawa sembako atau pun amplop untuk dibagikan, apatah lagi bagi-lagi door prize. Tidak. Namun masyarakat tetap saja tumpah-ruah menyambutnya.
Bahkan meski diguyur hujan deras sekalipun, tidak menjadi penghalang untuk datang bertemu Anies, seperti terjadi di Padang.
Menariknya, kunjungan Anies bertajuk silaturrahmi kebangsaan itu, tidak hanya disambut masyarakat umum, tetapi juga oleh kader-kader parpol. Padahal parpolnya sendiri tak mendukung Anies.
Di Jogja, sejumlah besar kader PPP yang tergabung dalam Forum Ka’bah Membangun (FKM), malah mendeklarasikan diri sebagai relawan Anies. Hal sama terjadi di Riau. Kunjungan Anies di Pekanbaru, dimanfaatkan oleh sejumlah kader PAN untuk mendeklarasikan dukungannya kepada Anies.
Mereka bahkan membentuk organisasi relawan bernama PANIS, akronim dari PAN – ANIES. Hal ini mengingatkan kita pada kaum muda Golkar yang mendeklarasikan Go – Anies, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Sungguh paradoks. Karena realitas Anies, mereka lebih memilih berseberangan dengan partainya dengan risiko dipecat. Habis, mau apa lagi. Sebab bagi mereka, menjadi caleg namun tak sejalan dengan arus Anies, jangan pernah berharap akan dipilih.
Sebaliknya, kalaupun pada akhirnya dipecat, mereka tetap bisa menjadi caleg dengan bergabung partai pendukung Anies.
Bagi kader-kader partai itu, yang paling penting adalah dikenal di daerah pemilihannya sebagai pendukung Anies. Itulah password yang mereka perlukan agar dapat diterima berkampanye. Sehingga tidak heran kalau seorang kader partai anggota KIB di Aceh, nekad memasang baliho besar bergambar dirinya bersama Anies. Passwordnya, saya ulangi: Pendukung Anies.
Sebenarnya, kunjungan Anies ke berbagai daerah, dapat pula dilihat sebagai suatu cara paling mudah namun presisi untuk menakar seberapa besar dukungan rakyat terhadap dirinya.
Sekaligus memverifikasi tingkat elektabilitas dirinya secara faktual, yang selama ini selalu ditaruh paling buncit di bawah Ganjar dan Prabowo oleh semua lembaga survei.
Berdasar pada kondisi faktual yang kita saksikan bersama tentang realitas Anies, maka sebenarnya, skenario framing mengecilkan dirinya melalui utak-atik angka-angka data survei, telah terbukti gagal total.
Pada gilirannya, lembaga survei menjadi gamang dan dilematis untuk terus memainkan skenario itu.
Dilamatisnya di mana? Di satu sisi, mereka dibayar untuk tetap memainkan skenario itu. Kalau tidak, bahaya. Kontrak puluhan milyar bisa putus.
Sementara di sisi lain, mereka juga tetap berkepentingan menjaga kredibilitasnya. Jika sampai rusak di mata publik, berarti kiamat bagi lembaga survei bersangkutan.
Sebagai jalan tengah, ke depan, jangan heran bila kita akan disuguhi laporan survei, di mana elektabilitas Anies selalu di bawah Ganjar di atas Prabowo. Tapi jaraknya tak melebihi angka margin of error (MOF).
Masalahnya, apakah logika publik dapat menerimanya? Jika jarak Ganjar dan Anies tak terlalu jomplang, maka tak sulit menjelaskannya. Apalagi dibumbui narasi seolah-olah ilmiah, publik akan tidak terlalu peduli. Misalnya, Ganjar stagnan, Prabowo turun tajam, dan Anies naik drastis.
Makin tak terbendung, realitas Anies kini bak tsunami, melanda hingga dinding tembok istana.
Untuk menghentikannya, cara fasis pun tak urung digunakan. Mulai dari cara halus hingga kasar. Baik menggunakan tangan orang maupun dengan tangan sendiri. Semuanya sudah muncul di permukaan.
Mula-mula muncul gerakan tolak Anies berkunjung. Saat artikel ini ditulis, di Makassar, tempat mukim penulis, juga muncul aksi segelintir orang menolak kunjungan Anies. Lalu setelah itu, Anies dicekal berbicara di acara-acara nasional, seperti di Muktamar Al Irsyad. Kemudian di Aceh, izin tempat acara Anies, tiba-tiba dicabut.
“Yang paling tak logis adalah ketika Pak Jokowi batalkan membuka Munas Kahmi di Palu. Konon, hanya karena Anies ada di sana.”
Padahal, sebagai kepala negara, Pak Jokowi adalah pemimpin bagi semua, dan Anies hanya salah seorang rakyatnya. Tetapi memperlakukan Anies seperti itu, justeru Pak Jokowi sendiri membuat pamor dan nilai seorang Anies kian melesat.
Tetapi, alih-alih menjadi seorang negarawan, Pak Jokowi malah memilih menjadi berpihak, ketika secara terbuka meng-endorse bakal capres tertentu. Sungguh tak elok. Meski tak menyebut nama, namun semua tahu siapa yang dimaksud ‘kulit berkerut dan berambut putih’. Pastinya bukan Anies.
Tampaknya, tsunami realitas Anies, memang benar-benar telah menimbulkan kepanikan.
Penulis: Yarifai Mappeaty, alumni Unhas dan penggiat demokrasi, tinggal di Makassar