Aidir Amin Daud

  • Whatsapp
Aidir (ujung kiri) bersama koleganya di Warkop Phoenam (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – “Mau minum apa? Kopi, teh…? Coklatmo dih?” tawar Aidir Amin Daud saat Pelakita.ID duduk di kursi ruang makan.  Ceklek! Sosok yang saat kini kembali memgampu mata kuliah Hukum di Unhas itu menjerang air.

“Ada coklat dari Eropa ini, cobami,” tawarnya lagi.  Dia menyodorkan bubuk coklat lalu membuka plastik cover jalangkotek. “Masih hangat, makanki,” ajaknya.

Aidir Amin Daud untuk kita yang tinggal di Makassar dan sering baca media cetak Harian Fajar cetak tahun 90-an, sungguh akrab di ruang baca. Dia kolomnis Fajar yang rajin menuliskan pembacaannya pada realitas sekitar, regional, nasional bahkan dunia, utamanya aspek hukum dan partisipasi sosial dan layanan birokrasi.

Jalan karirnya luar biasa. Berawal dari jurnalis kampus, jadi dosen Unhas, pemimpin redaksi Harian Fajar, lalu naik kelas ke kursi ketua Komite Pemilihan Umum Sulawesi Selatan.

Performanya sebagai ketua KPU di masa itu banyak diapresiasi publik karena sukses menggelar pemilihan Gubernur Sulsel tanpa gesekan sosial di jazirah selatan Sulawesi itu.

Langkahnya terbilang luar biasa saat menjadi Direktur di Kementerian Hukum dan HAM, lalu melenggang sebagai Direktur Jenderal dan terakhir sebagai Irjen Kemenhumkam sebelum sayonara purna bakti di Kementerian yang saat ini dipimpin Yasonna itu pada Desember 2018.

Kini, dia kembali ke Makassar dan menjadi pengampu mata kuliah hukum yang relevan dengan posisinya di Kementerian, administrasi hukum, hak kekayaan intelektual hingga regulasi kebijakan.  “Masih setahun lagi, “ jawabnya saat ditanya masa tugasnya di Unhas.

Sebagai sesama anggota Whatsapp Grup Alumni Unhas, Aidir adalah pembaca postingan meski malas membalas atau masuk di obrolan, apalagi jika itu berkaitan dengan sentilan bahwa dia tidak kontributif dalam mengerek karir dan prestasi alumni-alumni Unhas.

“Tidak betul itu, lagian untuk apa pula kita begitu kalau bukan karena kapasitas atau kompetensi?,” kurang lebih begitu jawabannya saat Pelakita.ID menyebutkan adanya penilaian sebagian orang bahwa dia tidak peduli almamater dan jejaring alumni.

Dia pun bercerita bagaimana perjalanan karirnya. Betapa marahnya Hamid Awaluddin saat dia tak bisa memenuhi harapan Sang Tokoh itu yang telah merekomendasikannya studi di Amerika Serikat. Jalan studi sudah dikuak, tapi Aidir tak kunjung jua proaktif mengurus atau mencari tahu proses perkuliahan di negeri Paman Sam itu.

“Setahun lebih saya tidak dibicarai Pak Hamid, dia di Amerika saat itu,” ucapnya diserai senyum terkait uluran tangan Hamid yang tak diseriusinya.  “Mau menikah saat itu,” ungkapnya.

Pendek cerita dia bisa menyelesaikan studi Doktornya di Unhas. Itupun penuh lika-liku, karena profesi kewartawanannya yang menyita waktu di Fajar termasuk dinamika relasi beberapa calon dosen pembimbing.

Pelakita.ID keluarkan tongsis dari tas berharap bisa merekam obrolan untuk podcasts dengan salah satu pendiri LSM Elsim ini.

“Tidak usah, santai-santaimi saja. Janganmi, nantipi,” ucap Aidir saat melihat aksi itu.  Lalu dia bergerak ke ruang tamu mengambil satu buku berjudul Memangkas Birokrasi: Dari Hasan Tiro, ongkos verifikasi Parpol, Jessica Wongso sampai Maria Sisilia.  “Sepertinya bagus diresensi ini,” batinku.

Banyak kisah yang disampaikan ke Pelakita.ID, semuanya inspirasi, beberapa off the record tapi cukup menjawab dahaga pada beberapa isu atau rumor sosial politik nasional.

Dia bicara tentang pentingnya pendidikan di usia muda, perlunya merawat pertemanan, tak mudah goyah saat dicibir, terus bekerja sesuai keyakinan, tentang optimisme sebagai alumni yang punya kapasitas dan punya visi, hingga perlunya sikap tegas dan disiplin memimpin organisasi.

“Bapak ini harusnya sudah Dirjen juga.” Maggolla juga beliau.

Dia juga bercerita tentang ayahnya, Haji Muhammad Riri Amin Daud yang menjadi saksi kekejaman Belanda di Sulawesi bagian Barat. Tentang keluarga, upayanya punya rumah di Makassar dan pertemanannya dengan beberapa aktivis LSM.

Sebagai aktivis Unhas dan HMI, dia sangat akrab dengan Sufri Laude, direktur saya di LP3M Ujung Pandang, juga mentor advokasi saya sejak belajar ber-LSM pertengahan tahun 90-an, Pahir Halim.

“Dari sini kita ke Phoenam, kita ikuti dulu Dies Natalis Unhas, ” katanya sembari mengarahkan pandangan ke layar kaca.

Pendek cerita, saat hendak naik di mobil sedannya, didahului kasak-kusuk cari kunci. Kunci dia taruh di sisi tas kulitnya tapi sempat lupa.

Di Phoenam sudah ada Pahir Halim, Abbas Hadi, dua sekondannya. Kisah mengalir, obrolan tak surut dari urusan Negara hingga bilik rahasia orang-orang. Suasana akrab dan hangat, khas Phoenam. Aidirlah yang memantik gelak tawa para sahabatnya itu.

Saya kira, dia punya sense of humor yang baik, tak seperti sangkaan orang selama ini.

Tentang Aidir

Aidir adalah putra pejuang Sulbar, Muhammad Riri Amin Daud. Dia dilahirkan di Makasar pada tanggal 11 November 1958 dan meraih gelar doktor pada 2007. Jabatan yang pertama diemban di Kemenhum dan HAM adalah Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada tahun 2007.

Jabatan terakhirnya Irjen Kemenkumham hingga Desember 2018. Pelakita.ID juga mencatat dia saat ini digadang maju jadi Gubernur Sullbar.

Pernah jadi Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pada tahun 2009 yang akhirnya ditempatinya secara defenitif pada sebagai Direktur Jenderal pada Direktorat Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2010.

Dia dikenal tegas dan efektif dalam menggerakkan organisasi Kemenhum HAM  untuk mengawal implementasi Pelayanan Publik yang bersih dan melayani di lingkungan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dia pernah meriset dan menulis tentang HAM, Islamophobia, terorisme.

Tamarunang, 12/9

Related posts