Manifesto Lembaga dan Gerakan Mahasiswa Unhas, Catatan Seorang Aktivis

  • Whatsapp
Firmansyah Demma (dok: Istimewa)

DPRD Makassar

Firmansyah Demma, Mahasiswa FIB Unhas, membagikan perspektifnya tentang urgensi pendirian Badan Eksekutif Mahasiswa bagi pemajuan diri mahasiswa, organisasi dan bangsa. Mari simak. 

PELAKITA.ID – Gerakan Mahasiswa adalah satu-satunya kekuatan besar yang dimiliki oleh sekelompok orang yang menyandang status sebagai mahasiswa.

Mahasiswa telah mencatat sejarahnya dalam perjalanan bangsa. Dipelosok-pelosok negeri, suara-suara perjuangan dan perlawanan yang digaungkan oleh mahasiswa telah melekat dalam sanubari setiap insan.

Potret perjalanan gerakan mahasiswa dari masa ke masa tergambarkan berdasarkan kondisi faktual kebangsaan kita.

Di berbagai kampus yang ada di Indonesia, mahasiswa selalu ingin berupaya menjadi episentrum pergerakan untuk Indonesia yang adil dan makmur – Indonesia yang menjunjung tinggi keadaban dan peradaban.

Gerakan mahasiswa bukan hanya sebatas gerakan sosial, tetapi juga adalah gerakan politik.

Yang dimaksud sebagai gerakan politik adalah kemampuan mahasiswa untuk berdiplomasi menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak orang banyak dengan berlandaskan pada kritisisme, idealisme, dan moralitas.

Di beberapa kampus, gerakan mahasiswa selalu dicita-citakan terpatri dalam realitas yang kolektif dan kolegial.

Apa yang termaktub di muka, adalah bagian dari hakikat gerakan mahasiswa yang tidak bisa dilepaskan dalam jiwa setiap mahasiswa.

Gerakan mahasiswa tidak muncul secara tiba-tiba dari ruang kosong melompong, tetapi lahir dari persandingan gagasan. Lahir dari pemikiran-pemikiran yang kritis dan konstruktif.

Pergerakan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari adanya organisasi kemahasiswaan atau yang belakangan ini disebut dengan istilah Lembaga Mahasiswa (Lema).

Jika ditilik dalam pendekatan sejarah, gerakan mahasiswa di Indonesia mengalami fase yang begitu panjang. Betapa tidak, selain adanya tantangan dan gejolak internal di masing-masing daerah atau kampus, juga banyaknya keterlibatan pemerintah dalam mengatur kehidupan kampus.

Tak terkecuali di Universitas Hasanuddin (Unhas), perguruan tinggi yang dijuluki Kampus Merah ini juga melewati lintasan sejarah yang berliku dalam hal pendirian Lembaga Mahasiswa.

Dilansir dari laman Identitas Unhas, dijelaskan bahwa Lema Unhas beberapa kali berubah nama. Di Tahun 1975, Lembaga Mahasiswa tingkat universitas ini bernama Dewan Mahasiswa (Dema) yang dinahkodai oleh Syafri Guricci selama setahun, lalu berikutnya digantikan oleh Andi Husni Tanra.

Kemudian, di Tahun 1991-1995 Dema Unhas berganti nama menjadi Senat Mahasiswa Unhas (SMUH), yang mengantarkan mahasiswa Unhas melakukan Pemilu Raya (Pemira) walaupun tak menuai hasil.

Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2006 terbentuklah Forum BEM Unhas (FBU) yang menginisiasi Pemilu Raya.

Saat itu juga, Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas (BEM-U) akhirnya resmi terbentuk dan dinahkodai oleh seorang Presiden Mahasiswa bernama Arhan yang mengantongi 2534 suara. Hingga saat ini, Lema Unhas setia memakai nama BEM Unhas.

Jika diperhatikan secara saksama, rekam jejak Lema Unhas menggambarkan kondisi yang cukup alot. Tetapi meski demikian, sebetulnya segala bentuk dinamika yang terjadi dalam kehadiran Lema Unhas merupakan bagian dari proses berdemokrasi mahasiswa.

Tak hanya di masa senior-senior pentolan aktivis Unhas, saat ini pun iklim gerakan mahasiswa Unhas masih saja tumpang tindih.

BEM UNHAS Adalah Jawaban

Penulis meyakini, bahwa telah banyak aktivis hebat yang lahir dari rahim Unhas dan saat ini tersebar di seluruh pelosok negeri. Karenanya, untuk memperpanjang spirit ke-Unhasan, sekiranya mahasiswa Unhas atau pihak kampus hari ini memiliki kesadaran konstruktif tentang pentingnya ketersediaan stok aktivis.

Kepeloporan spirit perjuangan mahasiswa Unhas yang telah digoreskan dari generasi ke generasi, haruslah dipertegas kembali sebagai bentuk tanggung jawab intelektual dalam mengawal demokrasi dan tanggung moral dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Sebagai mahasiswa Unhas, penulis mendorong pentingnya menginisiasi gerakan mahasiswa yang integratif.

Maksudnya ialah, bahwa spirit perjuangan mahasiswa Unhas mestilah terjewantah dan terjaga dalam nuansa gotong royong yang secara kolektif bergerak untuk kemaslahatan umat.

Tak hanya secara individual, secara kelembagaan pun penting kiranya kita menyamakan persepsi dan menyatukan gerak dalam satu wadah yang bisa menjadi laboratorium aspirasi.

Itu sangat dibutuhkan sebagai kondisi ideal yang dapat melahirkan kekuatan besar dari rahim Unhas. Kita sebagai mahasiswa Unhas harus membangun harapan dan cita-cita itu.

Oleh karena itu, sudah seyogyanya ada satu wadah tertinggi yang dijadikan sebagai episentrum atau titik temu antar mahasiswa dan lembaga mahasiswa dalam mengawal arah gerak mahasiswa Unhas. Dalam hal ini, BEM Unhas adalah jawabannya.

Di dalam dunia aktivisme kampus terkhususnya di Unhas, kita mengenal BEM Universitas dan BEM fakultas. Keduanya sama-sama memiliki status legal secara administratif.

Tetapi, di tengah eksistensi BEM Unhas dan BEM fakultas di kampus merah ini, kita diperhadapkan dengan satu tantangan besar, yaitu tantangan disintegrasi. Alhasil, yang tampak sekarang adalah faksi-faksi.

Bagi penulis, kondisi itu muncul sebagai kenyataan lantaran kita terkadang terjebak dalam perdebatan bahwa suatu wadah yang bisa menjadi lembaga kolektif mahasiswa digandrungi oleh hal-hal negatif.

Sayangnya, sebagian di antara kita (mahasiswa) tidak berupaya maksimal mengejewantahkan itikad baiknya untuk mengubah kondisi tersebut (jika memang ada yang dianggap tidak benar).

Seharusnya, apabila kita memiliki kesadaran tentang pentingnya melakoni sebuah gerakan yang kolektif, maka sudah sepatutnya kita dapat memperjuangkan lembaga mahasiswa yang seyogyanya menjadi pemersatu, penyambung aspirasi, dan laboratorium pemikiran.

Oleh penulis, bukan hal mustahil untuk mewujudkan itu semua. Mahasiswa Unhas harus berangkat dari optimisme. Bahwa kita layak mengukir sejarah kita sendiri untuk mewujudkan persatuan gerakan di kampus merah.

Mewujudkannya itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sebab segala potensi kekuatan dimiliki oleh mahasiswa Unhas. Baik secara kualitas pemikiran maupun dari segi kuantitas.

Jika keduanya dikawinkan dengan satu cita-cita mulia, percayalah, wadah kolektif akan kita raih.

Pentingnya Mempelopori Gerakan Mahasiswa Unhas Yang Progresif dan Inklusif

Apabila cita-cita gerakan kolektif mahasiswa Unhas telah terwujud, maka selanjutnya yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana mewujudkan gerakan mahasiswa Unhas yang progresif dan inklusif.

Pada umumnya, istilah progresif kita gaungkan sebagai upaya untuk menjaga nafas perjuangan secara berkelanjutan dan berkemajuan. Sedang inklusif, merupakan sebuah sikap kedewasaan dalam berlembaga yang tidak menutup diri dari berbagai paradigma yang berkembang.

Mempertahankan kebenaran yang kita anut sendiri memanglah suatu hal yang baik. Tapi, ingat, membuka ruang terhadap sudut pandang yang lain juga tidak ada salahnya. Konsep itu itulah yang secara kritis kita ingin jadikan sebagai sebuah kenyataan.

Artinya, untuk menerjemahkan gerakan mahasiswa Unhas yang kolektif, tidak boleh ada yang merasa benar sendiri atau menutup diri dari realitas kebenaran yang lainnya (eksklusif).

Begitulah seharusnya kita menjaga dan merawat keberagaman persepsi dalam gerakan.

Tulisan ini tidak mencoba untuk menguak siapa yang paling benar atau yang paling layak untuk dibenarkan dalam kondisi gerakan mahasiswa Unhas hari ini. Tetapi, tulisan ini mencoba merangsang dan mengajak kita semua untuk mulai membangun gerakan kolektif yang progresif dan inklusif dengan penuh kesadaran.

Hal itu sangat penting, karena masa depan gerakan mahasiswa Unhas tidak boleh terus menerus dalam turbulensi disintegrasi.

Kita sadari bersama, bahwa bergerak dalam turbulensi disintegrasi adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Dikarenakan kita harus bergerak diantara pertentangan-pertentangan kita sesama mahasiswa Unhas. Sehingga, kepeloporan perjuangan kita kadang kala terseok-seok di tengah jalan.

Memang, perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Dinamika kelembagaan juga adalah konsekuensi logis dalam bergerak. Tetapi sebagai manusia yang berpikir, kita seharusnya arif menyikapi setiap perbedaan. Bahwa terus berbenah secara bijak untuk kemaslahatan bersama adalah sesuatu yang juga tidak boleh terlupakan.

Pernahkah kita merefleksi, mengapa disintegrasi ini seolah tiada hentinya? Pernahka kita berpikir, apakah ini murni keinginan kita sebagai mahasiswa atau ada unsur lain?

Mahasiswa Unhas yang menggandrungi dunia kelembagaan pastilah bisa menganalisa dan menjawab pertanyaan di atas.

Berangkat dari pertanyaan tersebut, alangkah eloknya jika disintegrasi gerakan mahasiswa Unhas diselesaikan dengan secepatnya melalui keterbukaan pikiran antar sesama mahasiswa dan lembaga mahasiswa.

Disadari atau tidak, BEM-U pada faktanya memiliki kekuatan besar dalam bergerak, sebab secara normatif BEM-U menjadi lembaga mahasiswa tingkat universitas yang dapat merongrong dan mempengaruhi kebijakan kampus. Sementara BEM-BEM fakultas memiliki kekuatan akar rumput yang juga tak boleh dilupakan.

Artinya, kedua entitas itu masing-masing memiliki potensi yang baik. Maka menjadi suatu kepastian akan adanya gerakan progresif yang baik pula apabila keduanya dikawinkan. Oleh sebab itu, penulis mengajak semua mahasiswa Unhas untuk bersama-sama melakukan upaya musyawarah yang baik dalam hal menginisiasi kolektifitas gerakan mahasiswa yang progresif dan inklusif.

Pentingnya Menyamakan Persepsi Arah Gerakan

Terlepas dari pentingnya mewujudkan gerakan mahasiswa Unhas yang kolektif, merumuskan arah gerakan mahasiswa Unhas juga adalah PR untuk kita semua. Karena, walaupun nantinya mahasiswa Unhas kolektif dalam bergerak tetapi tak punya arah gerakan yang jelas, maka tetap akan gerak jalan di tempat.

Mahasiswa Unhas sebagai sekumpulan orang-orang kritis dengan neraca intelektualnya, secara moral memiliki tanggung jawab besar terhadap kondisi bangsa.

Seperti yang didaku oleh aktivis mantan Ketua Senat Indonesia tahun 1961, A.M Fatwa dalam buku Syaifulla Syam (2005), mengatakan bahwa mahasiswa adalah kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam kancah nasional, karena mahasiswa merupakan sumber kekuatan moral bagi bangsa Indonesia.

Hal itu menandakan, bahwa mahasiswa menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari masyarakat. Seperti halnya para mahasiswa dari almamater merah.

Mahasiswa Unhas yang merupakan bagian penting dalam masyarakat, harus mewujudkan gerakan mahasiswa yang berkontribusi besar terhadap kepentingan orang banyak.

Dalam gerakan, memang diperlukan adanya kepentingan. Tapi, kepentingan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atau kepentingan dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk mahasiswa. Bukan untuk kepentingan yang lainnya.

Gerakan Mahasiswa Unhas diharapkan menjadi kekuatan besar yang dapat memperjuangkan hak-hak mahasiswa dan masyarakat secara kritis.

Walaupun dalam kebiasaannya, gerakan mahasiswa Unhas tidak setiap saat muncul dipermukaan. Namun hal itu tidak menjadi masalah, sepanjang yang dilakoni bisa berdampak positif terhadap orang banyak.

Aktivis mahasiswa Unhas perlu untuk duduk dan merumuskan bersama, bahwa gerakan yang dianulir oleh mahasiswa Unhas adalah gerakan berbasis politik kerakyatan. Gerakan yang menjadikan mahasiswa dan masyarakat sebagai titik star dan titik finish.

Gerakan mahasiswa Unhas tidak boleh hanya sekadar turun ke jalan memperlihatkan kuantitasnya, menunjukkan warnanya, dan mengibarkan benderanya.

Lebih dari itu, gerakan mahasiswa Unhas juga harus menghidupkan diskursus kampus yang ilmiah dan akademis sebagai bagian dari instrumen pergerakannya.

Terkadang, gerakan mahasiswa Unhas hanya berhenti sebatas di jalanan saja tanpa membuahkan hasil yang manis. Meskipun ada juga yang menganulir, bahwa hasil yang manis adalah perjuangan itu sendiri. Secara idealis iya, tetapi itu tidak menghasilkan solusi konkret terhadap apa yang disuarakan.

Dunia aktivisme Unhas sudah sepatutnya diwarnai dengan gagasan-gagasan yang kritis, konstruktif, dan visioner. Untuk mewujudkannya, kita membutuhkan kebiasaan-kebiasaan Intelektual. Seperti memperluas ruang-ruang diskursus.

Alangkah nikmatnya terasa suasana kampus Unhas apabila setiap saat di pojok-pojok kampus ada lingkaran diskusi yang sifatnya ilmiah dan akademis. Terlebih lagi sudah banyak hal-hal pendukung di era sekarang. Pers semakin banyak, dunia digital semakin luas, dan teknologi semakin canggih. Semua itu menjadi nilai tambah yang akan membuat pergerakan mahasiswa semakin visioner dan konstruktif.

Gerakan diskursus rutin itu bisa saja dilakukan oleh siapapun, misalnya oleh BEM-U sebagai lembaga eksekutif di tingkat universitas.

Adalah sesuatu yang menakjubkan apabila gerakan mahasiswa Unhas mahir di jalanan, juga mahir di ruang-ruang diskursus.

Sekali lagi, bagi penulis, BEM-U adalah jawaban atas itu semua!

 

Editor: Denun

Related posts