PELAKITA.ID – Saya ingin tunjukkan seorang murid durhaka yang menjadi penguasa tiran di era klasik, tepatnya di Athena zaman Yunani kuno.
Ia naik tahta setelah Athena mengalami kekalahan dari Sparta dalam perang panjang Peloponnesia 431-404 SM.
Namanya Critias, lebih panjang dari nama gurunya dan sangat asing di telinga kebanyakan intelektual kampus di era sekarang.
Wataknya yang culas dan bengis disembunyikannya dalam kesehariannya yang tampak lugu. Para pemuda pribumi Athena tak pernah menyangka kalau Critias adalah sosok pembunuh berdarah dingin: sang penjagal guru dan penindas rakyat.
Mundur sedikit ke belakang. Di tangan Socrates, guru tanpa buku dan tanpa kelas, lahir tiga orang muridnya yang tergolong hebat dengan watak yang sangat berbeda.
Plato sang jenius, yang menjadi guru Aristoteles. Xenopon sang pemulia, yang jadi jenderal pengabdi Athena, dan Critias sang durhaka, kaki tangan Sparta dalam meruntuhkan demokrasi Athena.
Di tangan Critias, Socrates meninggal secara tragis. Critias tak menerima Socrates yang setiap hari mengeritik rezimnya yang tidak kompeten dengan metode Socrates.
“Daripada menghabiskan waktu mengklarifikasi kritikan Socrates, lebih menghentikanny dengan segelas racun”, kata Critias.
Critias memilih cara tak lazim untuk menghentikan kritik. Melalui tiga penuntut: Anytus politisi demokrat, Meletus penyair tragedi, dan Lykon ahli pidato yang patuh padanya, Critias membungkam mulut Socrates dengan segelas racun di bawah konspirasi politik ‘peradilan beracun’.
Di akhir pidatonya menjelang dieksekusi mati tahun 399 SM, Socrates mengingatkan:
“… Wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib kalian; sebab sebentar lagi aku mati, dan di saat-saat mendekati kematian manusia dianugerahi kemampuan meramalkan.”
“Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa tak lama setelah kepergianku maka hukuman yang jauh lebih berat daripada hukuman yang kalian timpakan kepadaku pasti akan menimpamu …”
“Saat perpisahan telah tiba, dan marilah kita tempuh jalan masing-masing –aku mati dan kalian hidup. Manakah yang lebih baik, hanya Dewata yang tahu.”.
Sparta yang ingin membunuh demokrasi sambil mengontrol Athena, harus mengangkat seorang pribumi yang bisa menjadi kaki tangannya untuk memimpin rezim Tiga Puluh Tiran.
Pilihan Sparta jatuh kepada Critias untuk menjalankan pemerintahan boneka oligarkis yang dirancang untuk menghentikan demokrasi Athena.
Critias dipilih karena bakatnya yang loyal dan kejam dalam menindas sesamanya warga Athena.
Salam,
Mulyadi (Opu Andi Tadampali)