PELAKITA.ID – Sepekan ini, atensi kita diuji. Apakah peduli atau membiarkan perselisihan beranak pinak dan menjauhkan kita dari solusi lalu kehilangan masa depan.
Sosodara. saya – I Kambe – menjadi saksi bagaimana Pantai Timur Selayar nan eksotis itu. Pada ruang dan waktu terus saja memanggil-panggil, bertalu-talu.
Mula 1995 hingga 2000-an akhir, kumerekam sejumlah peristiwa – tepatnya pemandangan mengesankan di titik ini.
Tentang paus yang menyemburkan air di lekuk punggungnya, juga anak-anaknya yang lucu, tentang pohon-pohon purba yang masih bertahan di bahu Selayar yang warnanya abu-abu nyaris putih, kering dilumat musim Je’ne Kebo.
Momen-momen manakala kapal kayu kami yang bunyi mesinnya memekakkan gendang telinga itu, dari Rajuni Taka Bonerate berlabuh mencari perlindungan dari serbuan badai. Kadang di Appatanah, Pattumbukang, kadang di Pinang.
Juga saat menyaksikan langit terang benderang, bintang gemintang, dan perahu melaju, mengalun di antara Kayuadi dan Kayupanda.
Tentang baling-baling kapal kayu Ambo Tuwo yang patah dilumat musim barat sehingga yang tersisa hanya cawat demi mengamankan diri.
Nyiur melambai, pasir putih yang meninabobo sejauh mata memandang dari Appatanah, Ngapaloka, Pinang hingga Pamatata.
Tentang rute gelap, hujan, gelombang dan kita menyandarkan harapan pada doa dan juga pandangan ke pucuk samar puncak Tambolongang mencari jalur menuju Benteng.
Ah, kau pasti belum pernah lihat betapa ranum dan menggodanya buah mangga liar di tubing Jammeng. Yang warnanya pink, ungu dan kuning keemasan.
Pagi ini, kutak sedang menyuarakan suasana hati nan melankoli atau hopeless dengan gonjang-ganjing perselitihan, saya sedang memohon kepada hati dan hasrat orang-orang saat mereka melihat keindahan Nudibranch, kelimpahan Caranx atau giant trevallly, dan pesona aneka coral Pantai Timur itu.
Tidakkah lebih baik untuk berbagi hati, merawat cinta, lalu bersama menyulami dan menyelami masa depan Tana Doang tanpa ada yang terluka atau dicampakkan?
Jika kemudian hasratmu itu tetap ada, maka biarkanlah aku apa adanya, tumbuh, menari ke sana ke mari, mengikuti isyarat angin. Seperti Ikan Giru yang meski disunguti perih anemon sirip manisnya terus berkepak.
Tapi sungguhkah engkau hendak pergi? Aku tak ingin engkau pergi, mari bersama denganku berbagi hati, menyemai cinta di terumbu sukmaku. Di palung lautku yang damai, di Pinang.
Denun | Tamarunang, Gowa