Di balik makam Oei Seng Kiem di Pulau Kodingareng

  • Whatsapp
Nisan Oei Seng Kiem di Pulau Kodingareng Lompok (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Kakek-nenek kami adalah pedagang dari negeri jauh.” Ho Ho Ping alias Baba Guru di Galesong.

 

PELAKITA.ID – Haji Syamsu dan Hajjah Ling adalah dua nama yang oleh Johrah Daeng Sompa, ibu saya, kerap disebut dan dibanggakan. Keduanya tinggal di Lanna’, kawasan di Galesong penghasil banyak pengusaha.

Rumah keduanya sepelemparan batu dari kediaman Daeng Tora’ dan Halimah Daeng Te’ne, kakek nenek saya. Bapak dan ibu berteman keduanya. Samsu dan Ling, pengusaha perikanan tersohor di Galesong Raya, Kabupaten Takalar, Sulawesi sejak tahun 70-an.

Lahir dan besar di Galesong, membuat saya sadar bahwa di lingkungan kami berinteraksi keturunan Tionghoa adalah hal lumrah. Tiada yang beda, pun ganjil. Setidaknya itu yang kami rasakan kala bermain bola, bermain enggo atau bersepeda bersama keluarga Baba’ Guru di lapangan bola Galesong.

Kami cair dalam obrolan layaknya anak-anak. Kedekatan keturunan Tionghoa di pusat kerajaan Galesong rupanya tak terjadi dengan sendirinya. Karaeng Galesong pernah mewakafkan tanah di halaman Balla Lompoa untuk pendatang Tionghoa dari Tallo.

Nun jauh di seberang Galesong, dipisah oleh Selat Makassar, di Kodingareng Lompo betah di wilayah administrasi Kota Makassar saya membaca tulisan: OEI SENG KIEM. OEZIA 54 TAHOENG. MENINNGGAL 26.5.20. PAPANJA KIN TJENG. — PAPANJA KIN TIOE NIO.

Rupanya ada kuburan keturunan Tionghoa di sini. Dari manakah dan kapankah keluarga Oei pertama kali menjejak Pulau Kodingareng Lompo? Pada situasi apakah gerangan kala kaki keluarga Oei menyapa pasir pulau di barat laut Kota Makassar ini?

Gaffar dan Kahar, dua sahabat yang menemami ketika berkunjung ke pulau itu di tanggal 20 April 2016 tak bisa menjawabnya.

“Tapi masih ada saudara mertua saya mungkin tahu ceritanya,” kata Gaffar. Gaffar mengaku istrinya adalah keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di pulau berpenduduk hingga 5 ribu ini.

Rinai menjadi selingan di percakapan kami sore itu. Kami berteduh di bawah perpustakaan mini yang dikelola Gaffar. Ada 300 ribuan koleksi buku menjadi pajangannya.

Persis di depan kiosnya. Istri Gaffar terlihat keluar masuk kios itu. Sesekali menyapa warga yang lewat atau mampir membeli sesuatu.

“Di sini, sebagian besar keturunan Tionghoa yang ada dari Marga Oei. Termasuk keluarga istri saya,” kata Gaffar.  Menurut Gaffar, keturunan Tionghoa amat banyak di pulau ini.

Masih di pulau itu. Apa yang disebutkan Gaffar ini dibenarkan dari membaca raut wajah beberapa warga yang mengaku keturunan Tionghoa seperti Haji Ilyas, usia 60-an tahun yang mengaku datang dari Pulau Sarappo dan telah tinggal puluhan tahun di Kodingareng Lompo.

Demikian pula Haji Usman, pengusaha yang pernah mengongkosi Kahar berkelana laut Nusantara menjadi parengge.

“Peninggalan Tionghoa sangat banyak di sini, termasuk foto-foto dari keluarga istri saya. Ada juga kuburannya. Bisa dilihat di dekat lapangan,” tambah Gaffar.

Menurut Kahar, di dekat lapangan Kodingareng itu dulunya banyak kuburan model milik Tionghoa, namun tergusur karena digunakan wahana bangunan PLN atau untuk kepentingan publik. Kuburan dan isinya ada dinaung bangunan baru.

Tulisan Oei Seng Kiem. Oezia 54 Tahoeng. meninggal 26.5.20. Papanja Kin Tjeng. — Papanja Kin Tioe Nio.

Itu salah satu bukti yang terlihat dari salah satu kuburan tersisa di tanah Lapang Kodingareng Lompo.  Ada pula kuburan lainnya, meski terlihat lebih besar namun menyedihkan. Semak belukar merambat. Mereka menjalar mendaki sisi kuburan yang tergolong besar dan seharusnya megah itu. Pada batu serupa nisan terpahat jelas huruf Tionghoa yang tak saya pahami artinya. Tulisan ini terusik tulisan merah besar ANPIJA. Seperti tulisan yang lahir dari keisengan dan mungkin kebencian beralas ketidaktahuan.

Terkait Marga Oei ini, berdasarkan hasil penelitian yang menghasilkan daftar 100 nama keluarga yang paling umum yang ditampilkan pada 2006, nama Oei masuk dalam kelas Tionghoa—Min Nan yang meliputi Hokkien, Taiwan atau Teochew. Oei segolongan marga  Ng, Wee, Oei, Ooi, Uy dan Ung. Oei masuk dalam peringkat ke-7 paling lazim. Min Nam ini meliputi Hokkien dan dianggap relatif berbeda dengan Mandarin dan Kanton.

Dari manakah datangnya Tionghoa di Kodingareng Lompo, mengapa mereka ada di Kodingareng, mengapa mereka bisa secemerlang itu, mungkin tak menarik lagi untuk ditanyakan dengan tegas atau dengan mata mendelik.

Mertua laki-laki saya, Anwar H. Husen adalah keturunan Tionghoa dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Teman-teman sepermainan saya sejak SD di tahun 70-an di Kota Galesong adalah keturunan Tionghoa marga Ho. Keluarga di Kampung Lanna dan Bayowa telah berasimilisasi dengan keturuan Tionghoa sejak lama.

Tahun-tahun 80-an, nama Haji Syamsu sangat tenar sebagai pengusaha perikanan dan merupakan keturunan Tionghoa. Tahun-tahun berikutnya, keturunan Tionghoa di Galesong beranak-pihak, menjadi pengusaha, bergelar haji, menjadi kepala desa hingga menjadi polisi. Demikian pula anaknya yang bernama Haji Haeruddin yang biasa saya panggil Haji Rung.

Gambaran di atas tentu bukanlah hal unik sebab telah terjadi begitu spontan. Dan bukan kali pertama. Kami atau kita adalah bagian dari proses asimilasi yang spontan dan nyata bahwa tiada lagi batasan antara yang Tionghoa dan penduduk pribumi, setidaknya di Galesong dan Makassar.

Kata pribumi nampaknya tak lagi penting saat kita kemudian membaca bahwa sejak datangnya orang-orang Deutero Melayu atau Melayu Muda ke Nusantara pada rentang tahun 400-300 SM mereka telah sukses berasimilasi dengan pendahulunya yaitu bangsa Proto Melayu.

Pendatang kedua, atau dikenal sebagai gelombang kedua Deutero ini disebut mampu beradaptasi dengan baik di pesisir dan menguasai urusan navigasi. Mereka adalah pelaut andal sebagaimana yang juga diyakini oleh pelaut-pelaut Bugis Makassar atau Buton.

“Kakek-nenek kami adalah pedagang dari negeri jauh.” Teringat obrolan saya dengan Ho Ho Ping alias Baba Guru di Galesong tahun 2009.

Menurut Baba Guru, kedatangan pertama Marga Ho adalah di sekitar kawasan Bontoala, Kota Makassar. Lalu mereka datang dan menetap di Kampung Lanna pada tahun 1912. Tepatnya pada 12 April 1912. “Nenek moyang asal dari Desa Pa Li, kawasan Chang Co atau biasa disebut Hokkian,” kata Baba Guru.

Kehadiran marga Oei di Kodingareng atau Ho di Galesong, Tjoa di Selayar, di Lanna’, Bayowa, Tallo, Gowa hingga hampir di seluruh pelosok dan pesisir Nusantara bukanlah saat ini saja. Dia merupakan bagian dari aliran besar migrasi manusiawi, ketika sekat-sekat administrasi tak seketat sekarang.

Mereka adalah bagian dari migrasi sejak lampau, dari Tanah Yunan (Teluk Tonkin). Mereka menjejak Nusantara setelah menyurusi perairan Vietnam, melintasi Semenanjung Melayu lalu tersebar di Nusantara, di Sulawesi Selatan hingga Kodingareng Lompo.

Menurut berbagai catatan, para pendatang ini mempunyai peninggalan seperti kapak dan nekara. Nekara ini dapat dilihat seperti yang ditemukan di Pulau Selayar.

Para pendatang mengibarkan layar, mengalir mengikuti arah angin, membawa benda-benda dari logam sebagai asesoris kehidupan. Ras Melayu Muda ini akhirnya menjadi nenek moyang sebagian besar bangsa Indonesia termasuk di Pulau Kodingareng ini, tentu setelah melewati ruang dan waktu secara berlapis dan lama. Pun seperti kita.

Jika melihat kuburan Tionghoa yang besar di Kodingareng ini kita bisa mengingat pula karya-karya besar para pendatang dari Tongkin ini melalui bangunan batu besar. Di buku sejarah kita pasti pernah mendengar menhir atau dolmen. Mereka para pendatang itu mempunyai kuburan batu berundak.

Hikmah Kodingareng

Ada makna penting dari kunjungan saya ke Kodingareng ini.

Ada kesadaran yang berlipat-lipat bahwa nampaknya, selama ini kita kerap membenci atau menebar antipati pada suku bangsa lain karena ada sentimen kepentingan sepihak semata, lantaran politik, fanatisme buta atau karena mengejar kekuasaan belaka. Kita terlalu mudah dikipas-kipasi untuk kemudian meletupkan amarah dan kebencian.

Dari Kodingareng, saya merasakan kesadaran baru yang menguat bahwa konstruk berbangsa ini harus dipahami sebagai bersumber dari aliran yang sama, perbedaan paras dan gaya bicara adalah perbedaan yang harus diterima sebagai rahmah.

Bukankah dalam Islam, agama yang saya anut, ditegaskan bahwa istilah Rahmatan Lil’Alamin berarti menjadi rahmat bagi seluruh dunia berikut isinya sebagaimana kita percaya bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia.

Islam mengajarkan persaudaraan, kedamaian dan mendorong hubungan harmonis antar suku bangsa. Islam sebagaiana agama lain tentu sangat membenci kekerasan.

Kita kemudian bisa menimbang sekali lagi bahwa, saya, Gaffar, Kahar, kita serta orang-orang di Kodingareng Lompo, atau seantero Nusantara adalah bagian besar suku bangsa Indonesia. Kita serumpun sebagai keturunan bangsa Melayu Muda bersama Jawa, Melayu, Minang, Makassar, Bugis dan lain sebagainya. Induknya adalah para pendatang dari Dongson atau Tongkin itu.

Jika demikian adanya, siapalah harus dimusuhi?

 

Penulis: K. Azis

 

Related posts