Opini: Batu bara dan isu keadilan sosial di COP26

  • Whatsapp
Rifqy Tenribali Eshanasir, Analis politik internasional, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang (dok: pribadi)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – 31 Oktober hingga 13 November lalu, lebih dari 190 negara berkumpul di Glasgow Skotlandia untuk KTT Perubahan Iklim Conference of the Parties 26 (COP26) dengan harapan membuat janji untuk mengurangi efek pemanasan global.

Tujuannya adalah untuk membatasi kenaikan suhu sebesar 1,5°C sebelum akhir abad ke-21. Konferensi tersebut dapat dilihat sebagai kelanjutan dari upaya Perjanjian Paris yang dibuat pada COP21 tahun 2015.

Pada KTT yang dipimpin oleh Menteri Kabinet Inggris Alok Sharma dan dibuka oleh sejarawan alam terkenal Inggris Sir David Attenborough, delegasi dari negara-negara peserta memberikan pidato, berdiskusi dan melobi untuk kesepakatan perubahan iklim.

Read More

Tahun ini titik fokus KTT jelas namun sangat kritis, yakni untuk mengurangi dan akhirnya menghilangkan penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara secara global serta pembayaran kerugian dan kerusakan dari negara maju dan pencemar besar yang tertunda.

Terutama pembayaran kepada negara-negara yang masih berkembang sementara paling menderita dari dampak perubahan iklim meskipun pencemar kecil. Yaitu wilayah pesisir seperti Karibia, Afrika Timur dan Pasifik.

Banyak pemimpin menyuarakan keprihatinan mereka tentang perubahan iklim di konferensi tersebut. Perdana Menteri Barbados Mia Mottley menyampaikan pidato penuh semangat atas nama masyarakat pesisir yang menderita. Ia mengatakan, “Kegagalan untuk menyediakan keuangan kritis dan kerugian dan kerusakan itu diukur, teman-teman saya, dalam kehidupan dan mata pencaharian di komunitas (pesisir) kami. Ini tidak bermoral, dan tidak adil.”

Negara-negara berkembang lainnya juga berbicara tentang kekecewaan mereka dalam janji mengenai ‘Kerugian dan Kerusakan’, atau bagaimana negara mereka paling rentan terhadap perubahan cuaca ekstrim, banjir dan kekeringan meskipun mereka mencemari jauh lebih sedikit daripada negara-negara maju.

Dalam COP26, Presiden RI Joko Widodo menyebutkan, “Kami terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan berpotensi dihijaukan, serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon, membutuhkan dukungan dan kontribusi dari internasional, dari negara-negara maju.”

Lebih lanjut Presiden Joko Widodo menambahkan, “Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi (dan pendampingan) apa yang bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya.

Selain itu carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus diciptakan.”

Sayangnya, negara-negara kaya belum merancang mekanisme untuk membayar kerugian dan kerusakan. Mungkin ini karena pembayaran semacam itu akan dilihat sebagai pengakuan atas bagian mereka yang lebih besar dalam menyebabkan perubahan iklim.

Menjelang klimaks KTT, para delegasi mendekati kesepakatan dengan penekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada penghentian konsumsi batu bara, penyumbang terbesar pemanasan global.

Janji tersebut dilengkapi dengan bahasa yang sangat jelas dan tegas, menyerukan ‘penghapusan bertahap’ batu bara sebagai sumber energi. Namun, kesepakatan itu tiba-tiba dilemahkan di menit-menit terakhir oleh oposisi dari delegasi China dan India yang menuntut bahasa itu diubah.

Janji terakhir sekarang hanya menuntut ‘pengurangan bertahap’ konsumsi batu bara dan ini membuat cemas negara-negara peserta lainnya. Negara-negara yang sama serta Iran, Rusia, dan Australia juga menolak menandatangani janji untuk pengurangan emisi metana.

Delegasi nasional, analis dari PBB, perusahaan lingkungan, dan ilmuwan semuanya bersikeras bahwa penghapusan batu bara secara bertahap adalah hal penting dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, dan bahwa janji seperti itu hanya akan membatasi kenaikan suhu sebesar 2,4°C dan bukan 1,5°C.

Sebagai tanggapan, India dan China menyuarakan kesulitan untuk mengakhiri konsumsi bahan bakar fosil kotor di seluruh dunia, meskipun mereka termasuk di antara negara-negara konsumen batu bara terbesar.

Setelah COP26, Powering Past Coal Alliance (PPCA), aliansi yang didirikan setelah COP23 pada tahun 2017 untuk menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan batu bara, telah mengumpulkan lebih banyak anggota setelah KTT tersebut.

Singapura, Ukraina, dan Polandia adalah anggota terbaru yang bergabung dalam proyek kolaboratif ini. Namun, 3 pencemar terbesar di dunia dengan industri pembakaran batu bara yang besar, yakni China dan India serta Amerika Serikat, masih belum hadir dalam PPCA.

Terlepas dari hasil yang dilemahkan dari janji COP26, ada beberapa harapan untuk kemajuan dalam mitigasi perubahan iklim karena hampir 200 negara yang hadir telah sepakat untuk bertemu sekali lagi tahun depan 2022 di Mesir. Ini penting karena jika tidak, dunia tidak akan berkumpul lagi untuk COP sampai tahun 2025.

Di akhir KTT, Menteri Kabinet Inggris Alok Sharma mengakui tantangan besar di depan tetapi percaya bahwa tujuan untuk mencapai batas 1,5°C masih dalam jangkauan.

Harapan untuk mengatasi pemanasan global juga terlihat dalam protes massal di Glasgow Skotlandia yang berlangsung bersamaan dengan KTT Perubahan Iklim. Lebih dari 100 ribu orang berbaris di Glasgow menuntut lebih banyak tindakan dan kepemimpinan yang lebih baik terhadap krisis iklim, serta pengakuan terhadap masyarakat yang lebih rentan yang menderita karenanya.

Mereka bergabung dengan aktivis iklim muda terkenal Greta Thunberg bersama aktivis muda lainnya dari seluruh dunia seperti Nicki Becker dari Argentina, Mitzi Jonelle Tan dari Filipina, dan Vanessa Nakate dari Uganda.

Beberapa dari mereka dan aktivis iklim lain yang juga bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan membahas mitigasi perubahan iklim dan ketidaksetaraan sosial yang diakibatkannya.

Ketika para pemimpin dunia menangani perubahan iklim melalui komitmen-komitmen mengenai sumber daya dan energi, kaum muda dunia mendesak mereka untuk juga melihat mitigasi perubahan iklim sebagai isu keadilan sosial yang diperlukan.

 

Penulis: Rifqy Tenribali Eshanasir, Analis politik internasional, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang tnggal d Makassar.

Related posts