KOLOM Hasanuddin Atjo: Kinerja sektor hulu, sisi lemah industri udang

  • Whatsapp
Dr Hasanuddin Atjo (foto: Palu Ekspres)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin telah menetapkan revitalisasi tambak udang maupun bandeng di hampir semua wilayah RI, sebagai salah satu major project dI  RPJMN tahun 2019-2024. Ini tentunya jadi semangat baru bagi pelaku usaha dan masyarakat yang terlibat pada bisnis ini.

Kementrian teknis KP, Kelautan dan Perikanan, terkait major project itu telah menetapkan target produksi udang dari 800 ribuan ton di 2020 menjadi 2 juta ton pada akhir tahun 2024 serta akan mengembangkan sejumlah pilot project pendekatan estate yang biasa disebut dengan istilah Shrimp Estate.

Selain itu, devisanya juga didorong meningkat dari 1,8 miliar dolar US  menjadi sekitar 4,5 miliar dolar US melalui hilirisasi yang berorientasi poiduk bernilai tambah, mengingat baru  sekitar 40 persen produk ekspor hasil perikanan negeri kita dalam bentuk produk jadi.

Read More

Tambak tambak rakyat, selama ini dipergunakan menproduksi udang dengan produktivitas 600 kg/ha/th akan didorong menerapkan inovasi teknologi setingkat lebih tinggi dari sebelumnya yaitu dari sederhana ke teknologi semi intensif dengan produktifitas mencapai 2000 kg/ha/th.

Konsep Estate (kawasan)  menjadi landasan pengembangan  tambak rakyat tersebut. Nantinya di dalam kawasan itu tersedia infrastruktur tandon dan instalasi pengolahan air limbah, IPAL komunal dan akan dipergunakan secara bersama.

Selain itu, juga dilengkapi fasilitas mini lab kesehatan udang hingga kebutuhan sarana dan prasarana.

Keberadaan maupun peran dari  kelembagaan petambak akan jadi kunci sukses penerapan konsep model seperti ini. Kelembagaan bersama pendamping menyusun rencana pengelolaan kawasan. Mulai dari sumber benih, padat tebar, waktu tebar, monitoring kesehatan udang hingga pasar.

Selanjutnya, sektor swasta dalam negeri dan investasi luar harus didorong menganbil bagian dalam program ini dengan menerapkan teknologi budidaya udang yang lebih tinggi dan ramah lingkungan sehingga berkelanjutan. Dukungan energi listrik, infrastruktur lainnya tentunya harus dipersiapkan.

Target produksi udang 2 juta ton dinilai sejumlah kalangan tidaklah berlebihan bila ditilik dari potensi SDA yang besar, kesesuaian iklim, permintaan pasar yang tinggi, dan kesiapan teknologi budidaya dari yang  sederhana hingga  modern kini telah tersedia.

Negara kepulauan, iklim tropis, dan garis pantai kurang lebih  100.000 km, terpanjang ke dua dunia, juga dinilai menjadi pemicu naiknya rasa percaya diri, sehingga kementrian teknis menetapkan target produksi meningkat sebesar 250 persen pada akhir tahun 2024.

Apalagi setelah melihat kinerja dari Vietnam dengan garis pantai 3.200 km,hampir sama Jawa Timur 3.400 km.  Pada tahun 2020, negeri ini mampu memproduksi udang sama dengan Indonesia  sekitar 500.000 ton ( FAO, 2020) dan devisa sekitar 4 miliar dolar US, lebih tinggi dari Indonesia.

Keberhasilan Vietnam manfaatkan SDA yang terbatas, dan menjadi salah satu produsen udang  dunia, lebih disebabkan oleh pendekatan yang dipergunakan. Industrialisasi berkelanjutan adalah strategi yang dipergunakan Negeri dengan nama bukota Ho Chi Min ini.

Vietnam Rose adalah julukan lain dari Negara Vietnam, dan merdeka  di 1975. Berpenduduk 98, 4 juta jiwa di tahun 2020, dan menjadi salah satu negara berpenduduk terpadat.

Negeri ini juga terkenal jago membesarkan benih lobster melalui teknologi pembesarannya.  Ironinya  benih benih lobster itu, sebahagian besar didatangkan  dari Indonesia yang masuk secara legal maupun ilegal.

Teknologi pembesaran lobster di negeri ini mampu menekan angka kematian benih hingga 70 persen. Dan Indonesia baru mencapai  25  persen.

Kemahiran membesarkan benih ini kemudian  menyebabkan harga benih lobster di Vietnam 3 – 4 kali harga di Indonesia yaitu antara 75 – 100 ribu rupiah per ekor.

Kesuksesan Vietnam kembangkan industri udang, khususnya vaname dan lobster dikarenakan inovasi dan teknologi sektor hulu dan hilir dikembangkan sama  baiknya, dan mendapat dukungan stakeholders terkait, termasuk perguruan tinggi, dan lembaga keuangan.

Elaborasi riset secara internal dan eksternal telah banyak dilakukan. Konsep kerjasama Didu dan Duda, dunia industri-dunia usaha dan dunia usaha-dunia akademisi di negeri ini berlangsung secara masif  yang dipandu oleh roadmap atau peta jalan yang jelas dan terukur. Ditambah etos kerja masyarakat yang mendukung bagi perubahan.

Kondisi yang tercipta ini menjadi daya tarik investasi baik dari luar maupun dari dalam negeri. Tidak heran kalau saat ini Vietnam bisa memenuhi kebutuhan induk udang vanamenya secara mandiri melalui investasi pembangunan BMC, yaitu Breeding Modification Center.

BMC adalah fasilitas membesarkan calon induk yang didatangkan dari NBC, Nucleus Breeding  Center di  Hawaii atau Florida.

NBC, fasilitas yang memiliki parents stock, nenek moyang yang unggul. Di  fasilitas inilah parents stock itu dikawinkan untuk memproduksi benih sebagai  calon induk di BMC.

Benih yang berusia 30 hari sejak menetas di NBC,  kemudian dikirim ke sejumlah BMC di Vietnam, mitra dari NBC perusahaan di Hawaii dan  Florida untuk dibesarkan selama 8 – 10 bulan  dan kemudian menjadi induk unggul, diperdagangkan bagi kebutuhan sejumlah pembenihan udang atau hatchery.

Sukses mengembangkan industri artemia berupa cyste dan biomass artemia di tambak tambak garam milik rakyat dan swasta menjadi salah satu faktor penentu sehingga Vietnam maju dalam industri udang vaname, lobster bahkan beberapa komoditi budidaya lainnya.

Ketersedian biomass artemia hidup (artemia dewasa), dan berasal dari tambak garam akan meniingkatkan mutu induk.

Demikian pula adanya nauplius artemia dari cyste artemia yang ditetaskan dan biomas muda artemia juga menjadi faktor kunci terhadap  kualitas benih udang dan ikan serta lobster. Dan ini juga jadi sebab, Vietnam unggul di industri ikan patin dan lebih dikenal dengan ikan dori.

Hilirisasi juga berkembang pesat dan dominan menghasilkan produk jadi untuk dipasarkan dalam negeri maupun ekspor.  Dan dikarenakan efisiensi yang dibangun di sektor hilir termasuk inovasi logistiknya, maka Vietnam mampu mengimpor bahan baku udang vaname dari India bahkan Equador dan diproses menjadi produk jadi yang kemudian di ekspor kembali.

***

Indonesia sejak lama juga berupaya mengembangkan NBC dan BMC Vaname secara mandiri di dalam negeri. Di tahun 2008, Kementrian KP kali pertama  mengembangkan NBC dan BMC di  Karang Asem, Bali. Dan pada hampir waktu yang bersamaan salah satu perusahaan swasta Nasional, di Lombok juga mengembangkan industri serupa.

Hingga saat ini  kinerja dari kedua NBC maupun BMC tersebut belum mampu bersaing dengan NBC dan BMC di Hawaii maupun Florida. Disinyalir ketersediaan makanan induk udang berupa cacing laut bebas penyakit sangat terbatas dan harus diiimpor.  Demikian pula makanan induk sekelas cacing laut berupa biomas artemia juga tidak tersedia.

Saat ini, Indonesia setiap tahun harus mengimpor induk vaname dari Hawaii dan Florida antara 400 hingga 500 ribu pasang. Dan ini akan meningkat menjadi 2 juta pasang bila ingin meningkatkan produksi udang menjadi 2 juta ton di akhir tahun 2024.

Mendatangkan 2 juta pasang induk udang vaname mungkin bisa saja dilakukan, namun yang jadi soal utama adalah tersedianya pakan induk udang berupa cacing laut bebas penyakit atau substitusinya berupa biomas artemia dewasa yang dipelihara ditambak tambak garam bersalinitas 80 -100 permil. Disinyalir bahwa biomas artemia yang dipelihara di kisaran salinitas itu terbebas dari penyakit.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa sektor hulu industri udang vaname nasional harus di-redesain kembali.

Pertama, mendorong dan memfasilitasi swasta nasional agar tertarik berinvestasi di BMC dan bermitra dengan NBC di Hawaii dan Florida. Dan secara bertahap bisa mengembangkan NBC di Indonesia

Kedua, mendorong, memfasilitasi sektor swasta mengembangkan industri cyste dan biomass artemia di tambak tambak garam termasuk milik rakyat, dan sekaligus tetap memproduksi garam, namun tidak lagi menjafi produk utama. Dan hal ini bisa mengakhiri polemik impor garam setiap tahunnya.

Ketiga, mendorong peran lembaga BRIN, badan riset nasional yang baru saja terbentuk, agar memberi prioritas bagi riset dasar maupun pengembangan untuk menunjang pengembangan NBC, BMC dan industri artemia. di dalam negeri.

Roadmap, peta jalan yang terukur harus segera dilahirkan.  Demikian pula dengan dukungan anggaran riset harus diperbesar dan sifatnya multiyears  sehingga  berkelanjutan dan bisa menuntaskan masalah.

Sudah saatnya roadmap maupun implementasi dilakukan dengan pendekatan Pentahelix, antara lain membangun elaborasi riset Dudi dan Duda. Semoga.

 

Editor: K. Azis

Related posts