HMI MAKTIM kupas isu mangrove nasional, Lantebung jadi inspirasi

  • Whatsapp
Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam cabang Makassar Timur (HMI Maktim) menggelar Diskusi Publik Indonesia sebagai Poros Maritim Mangrove: Apa Kabar Mangrove Hari Ini? melalui aplikasi Zoom (dok: Pelakita.ID)

DPRD Makassar

Fungsi mangrove yang vital sebagai pelindung pantai, penjaga abrasi, penyedia ikan, hingga menjadi lokasi wisata seperti di Lantebung merupakan manifestasi dari apa yang disebut ‘mangrove sebagai life support system’ – Prof Yusran Jusuf

PELAKITA.ID –.Ekosistem mangrove memegang peranan penting bagi tumbuh kembangnya wilayah-wilayah pesisir di dunia. Dengan mangrove, paras pantai menjadi terjaga, abrasi pantai bisa dicegah dan masyarakat bisa memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan ekologi.

Read More

Mangrove yang sehat dan terjaga bisa mendatangkan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat, di sisi lain, mangrove rusak dan dieksploitasi terus menerus akan bedampak buruk bagi masyarakat dan daya dukung lingkungam.

Karena pertimbangan itu, Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam cabang Makassar Timur (HMI Maktim) menggelar Diskusi Publik Indonesia sebagai Poros Maritim Mangrove: Apa Kabar Mangrove Hari Ini? melalui aplikasi Zoom, Senin, 26/7/2021.

Narasumber yang adalah M. Tahir P, SP, M.Si, kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Jeneberang – Saddang.

Lalu ada Prof Dr Ir Yusran Jusuf, M.Si, guru besar Fakultas Kehutanan Unhas serta Nuryamin, dari Yayasan Konservasi Laut Indonesia dan dimoderatori Dirman, Direktur Bidang Pengembangan dan Penelitian Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam.

Pada paparannya yang berjudul Kebijakan dan Regulasi Pengelolaan Mangrove di Indonesia, M. Tahir, menjelaskan manfaat mangrove, kondisi mangrove Indonesia, urgensi regulasi dan kebijakan yang ada.

Selain itu, dijelaskan pula kegiatan-kegiatan rehabilitasi dan konservasi mangrove yang telah dijalankan oleh BPDASHL Jeneberang-Saddang serta capaian fisik mangrove tahun 2021.

“Mangrove bisa menjadi penahan abrasi, penahan gelombang besar. Selain itu dapat menyerap karbon,” katanya.

Untuk fungsi ekonomi, mangrove adalah tempat nelayan mencari ikan hingga bisa menjadi lokasi tracking wisata. “Untuk fungsi wisata, mangrove bisa menjadi lokasi memancing, wisata sampan dan tracking,” jelasnya.

“Saat ini, luas mangrove nasional mencapai 3,31 juta hektar,” katanya sembari menyebutkan luas mangrove di Papua hingga Bali. Papua terluas, mencapai 1,4 juta hektar.

Meski demikian, Tahir menyebutkan bahwa ada 1,3 juta areal mangrove di Indonesia rusak. “Karena tingginya laju kerusakan, pemerintah menargetkan pemulihan ekosistem mangrove seluas 3,49 juta hektar hingga 2045,” sebutnya.

Dia juga menyebutkan sudah adanya Permenko Nomor 4 Tahun 2017 tentang pengaturan pengelolaan ekosistem mangrove yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.

“Tahun ini kita ada beberapa kabupaten di Sulsel yang merupakan bagian dalam rencana rehabilitasi mangrove, bagian dari Penyelamatan Ekonomi Nasional,” katanya.

Menurut Tahir, capaian atau target rehabilitasi mangrove di Sulsel melalui pihaknya dalam tahun 2021 di antaranya sebesar 35 hektar di Paria Pinrang, Bababinanga 8 hektar juga di Pinrang, Untia Kota Makassar seluas 5 hektar, Tongketongke Sinjai 2 hektar.

Sementara itu, Nuryamin dari Yayasan Konservasi Laut bercerita tentang sejarah Hari Mangrove dunia yang jatuh pada tanggal 26 Juli, pengalaman riset mangrove di Palu yang dikerjasamakan dengan Yayasan KEHATI.

Inspirasi dari Lantebung

Prof Yusran Jusuf, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin berbagi pandangan terkait kondisi, urgensi dan manfaat pengelolaan ekosistem mangrove.

Dia pun menyampaikan telah adanya inisiatif mengelola kawasan mangrove Lantebung di Kota Makassar. Hal yang menurutnya telah diinisiasi saat dia menjadi Pj Wali Kota tahun lalu.

Secara spesifik dia menyebutkan bahwa kawasan mangrove Lantebung telah menjadi kawasan konservasi dan ekowisata dimana masyarakat telah memperoleh manfaat langsung.

“Mangrove menjadi penahan intrusi air laut, menjadi kawasan wisata, dan meningkatkan produksi perikanan setempat,” katanya.

Meski demikian, menurutnya, untuk masa depan kawasan mangrove di Kota Makassar, maka perlu dikelola dengan holistik.

“Seluruh sektor harus berperam. Pendekatan bagaimana melestarikan kawasan bukan lagi pada spesies, tapi harus berbasis manajemen lingkungan,” ucapnya.

Dia juga menekankan agar pendekatan pengelolaan mangrove harus mengedepankan fungsi mangrove sebagai wahana sosial, ekonomi, dan ekologi.

“Fungsi sosial, ekonomi, ekologi harus jalan berbarengan. bukan lagi mempertentangkan mana duluan tetapi bisa jalan bersama. Misalnya, dengan adanya mangrove, rumah nelayan tidak hancur lagi karena ada fungsi pengaman, income membaik,” imbuhnya.

Apa yang disampaikan Prof Yusran sangat realistik atau secara teori bisa dibuktikan. “Yang konkret seperti di Lantebung, saya yakin karena dekat bandara, lokasinya strategis sehingga bisa jadi kawasan wisata,” katanya.

Bagi Yusran, fungsi mangrove yang vital sebagai pelindung pantai, penjaga abrasi, penyedia ikan, hingga menjadi lokasi wisata seperti Lantebung merupakan manifestasi dari apa yang disebutnya ‘mangrove sebagai life support system’ Kota Makassar.

Dia juga menekankan bahwa tantangan atau permasalahan yang banyak terjadi di kawasan mangrove karema sifatnya yang terbuka. Ada konversi lahan, pergantian fungsi ekosistem jadi tambak, jadi permukiman, jadi fasilitas umum hingga penguasaan oleh segelintir orang.

“Kenapa sering, mangrove tidak lestari? Karena sifatnya yang open access. Sering dieksploitasi secara berlebihan dan cepat habis. Oleh karena itu perlu pengaturan, karena dia merupakan barang milik publik seperti di Lantebung itu,” jelasnya.

“Perlu bagaimana mangrove bisa diatur dalam regulasi yang baik,” imbuhnya.

Untuk konteks Makassar dan secara umum di Indonesia, mangrove harus didasarkan pada kebijakan dan regulasi yang tepat.

Guru besar Fakultas Kehutanan Unhas itu menegaskan bahwa untuk memastikan bahwa fungsi konservasi, wisata atau fungsi sosial, ekonomi dan ekologi adalah dengan meletakkan fondasi konservasi berjangka panjang.

“Fungsi konsevasi adalah memperpanjang fungsi manajemen melalui kolaborasi dimana seluruh stakeholder terlibat dengan mendistribusikan dan berkontribusi, terkait apa peran masing-masing,” jelasnya.

Pada diskusi publik ini terkuak bahwa saat ini untuk Kota Makassar yang belum mencapai 8 persen daerah terbuka hijaunya sehingga sepatutnya dapat memaksimalkan lahan mangrove yang ada seperti di Barombong, Lantebung, Lakkang termasuk di sekitar Untia untuk dapat diperluas sebagai kawasan konservasi mangrove.

“Saya setuju dengan perlunya perluasan ekosistem mangrove di Makassar,” tanggap Prof Yusran.

Diskusi berlangsung selama hampri tiga jam. Beberapa masukan dari peserta adalah perlunya perluasan kawasan ekosistem mangrove di Kota Makassar dan Sulawesi Selatan secara umum.

Kedua, upaya BPDASHL Jeneberang – Saddang dalam memperluas kawasan konservasi mangrove melibatkan lembaga mitra seperti LSM Yayasan Konservasi Laut di Takalar, inspirasinya adalah bahwa kolaborasi antara Pemerintah dan LSM atau masyarakat secara luas adalah kunci kesuksesan program rehabilitasi.

Ketiga, Tongke-Tongke di Sinjai dan Lantebung di Makassar merupakan contoh bagimana konservasi mangrove dapat berdampak luas bagi sosial, ekonomi dan lingkungan.

Mangrove yang sehat akan menjadi destinasi wisata yang menguntungkan bagi warga setempat, melalui tracking mangrove hingga pemanfaatan buah mangrove untuk usaha produktif.

Keempat, perlu menyiapkan unit khusus atau kelompok kerja yang bisa membantu Pemda terutama Kota Makassar dalam merawat, menjaga, memperluas kawasan konservasi mangrove seperti di Barombong, Lakkang, Lantebung, Untia sehingga dengan demikian akan menjadi peluang pengembangan ekonomi setempat.

Kelima, perhatian organisasi mahasiswa seperti HMI Maktim merupakan bukti bahwa kaum muda masih menaruh perhatian pada ekosistem penting seperti mangrove di Sulawesi Selatan atau Indonesia secara umum.

Lebih dari itu, ini bisa menjadi awal yang baik untuk segenap pihak bahu membahu menyelamatkan ekosistem penting ini melalui kerja-kerja kolaboratif dan holistik.

 

Penulis: K. Azis

Related posts