Bertemu keluarga Kristino Roxas di Warung Putri Semata Wayang Majene

  • Whatsapp
Anggota Keluarga Roxas terpatri di Majene (dok: istimewa)

DPRD Makassar

PELAKITA.ID – Dudung nampak duduk manis di depan warungnya. Namanya Putri Semata Wayang 1999.  Kami merapat dan mendapati dia malam itu setelah lepas jalur Cenrana Majene.

Saya tidak ingat persis nama kampungnya, pastinya di tepi pantai.

Read More

“Di sini saja dih?” kata Ikky, yang kemudikan HRV kami.

Wajah Dudung nampak bersih. Rambutnya, kumisnya rapi, rambut panjangnya di batok tengah sebagian diikat layaknya jambul tapi di sebagian lainnya tipis. Saya teringat model rambut Pasha Ungu.

Sebuah gadget dimainkan. Wajah Dudung tempias kena cahaya lampu sekira 5 watt. Malam itu dia ditemani kakaknya yang menyiapkan kopi.

Tidak disebutkan namanya tetapi Dudung menunjuk daftar nama di dinding.

Di dinding itu, ada nama Kristino Roxas, Nurbaeti, Fhina Aprilliani Roxas, Ronni Boy Roxas dan Reymondsyah Roxas, terbuat dari kayu yang diukir. Sepasang pria dan wanita berdiri di depan mobil truk bernomor SA 8251 T.  Itulah Nurbaeti dan Kristino.  Kristino nampak ganteng dengan kumis melintang. 

“Fhina itu kakak saya,” kata Dudung saat melihat kakaknya jalan pulang balik ke kampung.

Rumah mereka, berjarak sekira 250 meter dari warung itu.

Dudung adalah anak kedua, nama lengkapnya Ronni Boy Roxas. Mahasiswa semester empat Ilmu Komputer di salah satu universitas di Kota Palu itu pulang kampung ke Majene.

Dia mengaku beberapa bulan terakhir hanya kuliah daring.

“Kalau Nurbaeti nama ibu saya. Dia ada di rumah. Sementara adik saya Rayomndsyah ada di Kalimantan,” ungkap Dudung yang mengaku sempat panik saat gempa 6,2 M mengguncang Majene dan Mamuju.

“Kami panik dan lari dari sini,” katanya.

Dari daftar nama di atas, Fhina disebut sudah menikah. Sementara adiknya ada di Kalimantan.

Di warung itu, saya, Syam, Arie, Ikky, mengaso dalam perjalanan menuju Kota Mamuju untuk misi kemanusian SOSBOFI. Membawa barang bantuan dan hendak mengunjungi beberapa sahabat alumni.

Warungnya asik, ada semacam bale-bale, lengkap dengan karpet.

Di warung Dudung, yang juga menyediakan kelapa muda itu kami menikmati teh hangat dan kopi hitam.

Warung ini terlihat remang-remang tetapi jangan diartikan miring ya karena mereka hanya menjajakan kopi, teh, mie instan, termasuk ikan bakar. Terdapat satu coldbox isi ikan karang yang bisa dibakar jika pengunjung minat.

Di warung itu pula kami menyempatkan istirahat, luruskan badan, buang air kecil.

Ada satu bilik yang nampaknya jadi tempat peristirahatan.  Layaknya rumah.

Warung ini di bahu kiri jalan atau bersisi tepi pantai. Suara gemuruh ombak terdengar di belakang warung. Lokasinya agak tinggi, sekira 3 meter.

Kami melepas lelah dan berharap masuk Kota Mamuju pukul 10 malam. Senang juga karena mendapat cerita unik dari keluarga Roxas atau ayah Dudung.

Menikah di Tawau

Saat misi pengiriman bantuan di Mamuju tuntas, kami bergegas balik. Cerita tentang gempa yang masih kerap terjadi membuat kami waswas juga.

“Kita mampir di warung Dudung lagi ya,” kata Syam, saat kami memasuki wilayah Majene. Waktu menujuk pukul 6 petang.

Di warung itu, nampak dua ‘perempuan’ sedang menikmati kelapa muda. Yang satu berkulit putih, berkerudung, sementara yang satu terlihat berambut hasil rebonding.  Nampak anggun.

Ikky menyapa dan kami mendengar suara bariton. Syam menyungging senyum. Saya gegas ambil laptop dan hendak berkirim email. Arie sudah memesan kopi hitam plus mie instan.

Malam itu, saya menyungging senyum karena Nurbaeti, perempuan yang diceritakan sebelumnya ada di depan saya. Rasa penasaran saya terjawab. Cerita sepenggal Dudung mulai menemukan jalan terang setelah mewawancarai Nurbaeti malam itu.

Dia tersenyum saat saya menyebut nama Roxas.

“Iya, bapaknya anak-anak,” katanya dengan senyum menyungging.

Nurbaeti adalah alumni Malaysia. Dia ke Malaysia, tepatnya di Tawau setelah diajak keluarganya.

“Kami berangkat ke Nunukan pakai kapal Samarinda. Kira-kira tahun 87. Masih gadis saat itu, ada keluarga sepupu, sudah meninggal di sana, namanya Pak Majid, dari satu kampung,” Nurbaeti memulai cerita.

Nurbaeti bilang kalau nama kapal apapun ukurannya disebut Kapal Samarinda saat itu. Samarinda I, Samarinda II. “Semua kami sebut kapal Samarinda,” katanya.

Majid yang dimaksud adalah pekerja kebun. “Saat itu belum ada sawit. Dia kerja di kebun coklat,” lanjur Nurbaeti.

Nurbaeti ke Nunukan dan Tawau kala usia 25 tahun. “Saya belum menikah saat itu. Sekarang usia sudah masuk 60,” katanya.

Lalu di mana ketemu Roxas? “Saya ketemu dia saat saya hendak pulang ke kem. Dia tawarkan untuk antar pulang pakai truknya. Dia sebagai driver kayu balak,” kenangnya.

Begitulah. Waktu berlalu, memasuki bulan kelima setelah mereka kenalan, lalu pacaran, Roxas datang melamar.

“Dia ajak nikah, katanya istrinya pulang ke Filipina,” katanya tersipu.

Menurut Nurbaeti, perkawinan itu dalam aturan Islam. Suaminya mendapat nama Muhammad Khaeri Bin Abdullah. Suaminya fasih bahasa Melayu, Tagalog, Inggris.

Dia mengaku anaknya empat orang. Satu nama tak ada di dalam daftar di atas. Yang bungsu. Saat ini kerja di Bone.

“Saya pulang ke Majene bersama anak-anak saya yang kecil-kecil saat itu. Tahun 90-an,” katanya. Dia pulang bersama empat anaknya yang masih kecil-kecil. “Suami saya meninggal karena kecelakaan,” tutupnya.

Dari warung itu, Nurbaeti bisa membantu Dudung kuliah. Dua anak lelakinya yang lain sudah kerja. Warung Putri Semata Wayang 1999 ini berada di bawah kendali Fhina, anak sulungnya.

Penulis: K. Azis

Related posts