Puntondo, bangau memukau di Teluk Laikang dan inspirasi yang tak lekang

  • Whatsapp
Melihat Puntondo lebih dekat (dok: K. Azis)

DPRD Makassar

Ada kenikmatan tiada tara saat memandangi dan menikmati kompleks Puntondo yang kaya plasma nutfah, dan dikemas dengan pendekatan ramah lingkungan.

 

PELAKITA.ID – Di atas kanvas putih susu, Sarwono Kusumaatmadja menorehkan “Selamat Bekerja, Semoga Sukses. Ewako! Sarwono K”.

Kalimat itu menandai berdirinya satu pusat pendidikan lingkungan hidup di Sulawesi Selatan yang berbasis di Kabupaten Takalar. Sarwono membubuhkan kata “Ewako!”, bahasa Makassar yang berarti, lawan! atau tetaplah berjuang.

Di bagian kanan, Said Pammusu wakil Bupati Takalar memompa semangat dengan mengutip “kualleangna tallanga natoalia”, juga bahasa Makassar yang berarti lebih baik karam daripada surut ke pantai.

Di tiang penyangga lainnya, Kepala Badan Pengelola Dampak Lingkungan Daerah Sulawesi Selatan (Bappedalda), Haruna memandang bahwa PPLH Puntondo telah mewujudkan, apa yang disebut “ilmu amaliah, amal ilmiah”.

Perpaduan antara keunggulan ilmu pengetahuan dan nilai manfaat pada kehidupan sekitar.

Sungguh pas. Pelestarian lingkungan hidup adalah juga untuk anak cucu kita, tulis Nicolas P. Ell, perwakilan sponsor yang hadir pada saat itu.

Seperti itulah, maksud Sarwono, mantan menteri Lingkungan Hidup di era Soeharto mengenai pentingnya misi penyelamatan lingkungan hidup. Misi yang harus terus diperjuangkan sampai kapanpun. Layaknya peresmian oleh pemerintah, gendang pun ditabuh. Orang orang bertepuk tangan. Mereka pulang.

Tahun tahun sebelum itu, pada pertengahan hingga ujung tahun 90an krisis global mendera wilayah Asia Tenggara. Indonesia kena getahnya. Kerusakan ekosistem mengancam. Tingkat pengangguran yang tinggi, lahan usaha yang sempit, dan pertambahan penduduk yang semakin tinggi telah memaksa mereka untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan dengan memaksimalkan hasil tanpa memikirkan kelestariannya. Namun upaya berbagai pihak untuk mengurangi dampaknya juga tak pernah surut. Puluhan proyek lingkungan terus saja mengalir ke Indonesia.

Ada yang bersumber dari hutang luar negeri adapula yang dihibahkan. Pajak masyarakat jadi jaminan pengembaliannya. Ada yang sukses ada pula yang hanya tinggal papan proyek.

Papan kenangan dan dokumen-dokumen berbahasa susah. Keselamatan lingkungan semakin mengenaskan apalagi sejak berhembusnya issu perubahan iklim (climate change) yang mengancam hampir semua wilayah pesisir.

Kembali ke Puntondo, satu titik di Teluk Laikang, Takalar, di selatan Kota Makassar. Misi penyelamatan lingkungan itu, kini ada di pundak para pengurus yayasan berbasis lingkungan hidup ini, kita semua dan warga sekitar.

Yayasan yang jamaknya lembaga swadaya masyarakat lainnya, selalu bergulat dengan kapasitas, komunikasi dan relasi sosial serta keberlanjutan agenda-agenda. Antara memelihara spirit konservasi dan meneruskan pelayanan organisasi pada situasi kontemporer yang kompleks.

Mula Cerita

Ungkapan empat tokoh dari kubu pemerintah pusat, provinsi, kabupaten serta pihak sponsor internasional di atas diabadikan pada 15 Oktober 2001.

Peristiwa itu terjadi di Kampung Puntondo, dalam area Teluk Laikang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

PPLH Puntondo mengikuti jejak organisasi serupa di di Seloliman, Trawas-Mojokerto, Jawa Timur. Alasan berdirinya demi menumbuhkan semangat pelestarian lingkungan melalui pendidikan. Puntondo dan Seloliman seperti anak kembar.

Sebelumnya, pada salah satu bangunan tidak jauh dari Jalan Veteran Makassar berlangsung satu lokakarya stakeholder di akhir tahun 90an.

Beberapa perwakilan LSM dan pemerhati lingkungan mendiskusikan format dan misi yang dapat diamanatkan pada lahirnya gerakan peduli llingkungan yang disponsori Hans Seidel Foundation, LSM dari Jerman.

Fokusnya adalah memberi arahan dan masukan bagi tumbuh kembangnya pusat pendidikan lingkungan dengan prinsip keswadayaan.

Banyak peserta skeptis dengan inisiatif ini karena mereka khawatir ini akan berhenti di tengah jalan karena sulit dan rumitnya mencari dukungan pembiayaan. Minat sangat minim dari pemerintah daerah.

Saat itu saya berkenalan dengan Alimin. Dia perantara yang telah memperoleh ilmu dari praktek di Seloliman, Jawa Timur. Tubuhnya yang mungil menandakan kelincahan dan daya juangnya.

Alimin-lah yang bahu membahu dengan Sybout Porte, seorang ekspat yang telah rela mendedikasikan dirinya untuk melapangkan jalan bagi tumbuh kembangnya spirit konservasi dan kerjasama dengan alam.

Ada yang menggelitik saat usai lokakarya itu, saat para peserta pulang ada yang nyeletuk, “wah tidak ada uang saku untuk peserta nih”. Ada yang berharap diberi uang saku, kala mereka diminta memberi input pemikiran bagi pengembangan pendidikan lingkungan hidup.

Kini setelah lebih sepuluh tahun, Alimin masih seperti yang dulu. Fisiknya tampak ramping. Tidak banyak berbeda seperti saat saya bertemu dengannya. Salah satu pionir Puntondo itu tidak berubah.

Saya bertemu dengannya pada satu siang di kompleks Puntondo di tanggal 13 April 2010.

“Sekarang Pusat Pendidikan Hidup Puntondo (PPLH) telah menjadi Yayasan yang otonom,” katanya.  “Kami telah mempunyai manajemen sendiri dan saat ini telah mengembangkan berbagai strategi supaya misi pendidikan lingkungan ini tetap langgeng. Kami harus terus bertahan.”

“Untuk memudahkan misi itu menjalin komunikasi dengan pihak luar, kami membuka kantor cabang di Makassar, di Jalan Serigala,” katanya.

Istri Alimin adalah adik angkatan saya di Ilmu Kelautan Unhas. Alimin yang datang dari tanah Jawa layak didaulat sebagai figur penting di Puntondo.

Terlepas dari keinginan untuk menghidupkan dan melindungi lahan di sekitar Puntondo (utamanya bakau), sebenarnya, pemilihan kawasan pesisir di Teluk Laikang dianggap berjudi karena tidak lazim.

Jaraknya yang jauh dari pusat kota Makassar, sekitar 60 kilometer adalah salah satu alasannya. Jarak yang jauh tidak menarik warga Kota untuk berkunjung.

Setidaknya pada awal pendiriannya. Habitat dan substrat tanah di sana merupakan perpaduan ekosistem laut dan pantai. Para pionir itu terus bertahan.

Kampung ini dahulu sangat sunyi dan jauh dari keramaian. Rumah warga masih sangat kurang. Hanya beberapa nelayan lokal yang mencari ikan dengan memasang pukat . Yang banyak datang adalah pembeli kayu. Mereka datang silih berganti.

“Lahannya keras dan berbatu,” kata Daeng Laga, warga Puntondo yang menjadi penjaga kompleks itu.

Daeng Laga bertanggung menjawab atas keamanan kompleks ini. Laga juga memiliki lahan di sana tetapi telah menjualnya. Kami menjual masih sangat murah. Masih 800 ribu per hektar.

“Dahulu ada banyak pohon bakau yang tumbuh liar di sini.”

Puntondo adalah daya tarik para pencari kayu bakau. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, nelayan-nelayan dari pesisir selatan Sulawesi Selatan seperti dari Jeneponto, Galesong, Mangindara, Popo dan nelayan dari pulau-pulau sepanjang selat Makassar mengambil kayu bakar di Kawasan Teluk Laikang.

Kayu bakau (Kayu Bangko, Makassar) oleh mereka digunakan sebagai bekal untuk melaut.

Mereka bawa saat menempuh perjalanan jauh. Bara apinya dikenal bertahan lama dan dapat digunakan berulang-ulang. Para pelaut pencari telur ikan terbang selalu jadi kambing hitam berkurangnya kayu bakau ini.

Bukan hanya nelayan, para pemilik warung di Makassar juga kerap menggunakan kayu ini. Jika mengunjungi dermaga Kayu Bangkoa, pada beberapa tahun silam, kita akan menyaksikan onggokan kayu bakau yang siap dipasarkan ke penjuru kota.

Pada saat itupula kebutuhan warga semakin beragam. Mereka mulai menanam rumput laut (pada pertengahan 90-an). Mereka membutuhkan lahan dan patok-patok kayu untuk bentangan tali mereka. Dahan bakau jadi korbannya.

Bakau yang seharusnya menjadi pelindung ekosistem pantai mereka. Hingga degradasi dan abrasi pantai disebabkan oleh semakin intensifnya konservasi hutan bakau menjadi empang dan kayu bakar.

Pohon pelindung pantai ditebang untuk membangun pemukiman (karena populasi semakin bertambah). Air sumur yang dulunya tawar kini menjadi payau. Perubahan lingkungan telah semakin tajam sementara kualitas hidup warga di sekitarnya sangat mencemaskan.

Misi Puntondo dicanangkan untuk menjawab kekhawatiran semakin berkurangnya vegetasi pesisir. Mereka harus menyadarkan warga dan pihak terkait untuk peduli lingkungan. Dengan cara yang halus.

Puntondo Kini

Sembilan tahun setelah diresmikan, kini, beragam pohon seperti kayu Jawa (tammate, Makassar), pohon asam, kelapa, pohon asam, bakau, akasia, pohon jarak dan beberapa pohon khas pesisir tumbuh subur di kawasan ini.

Kawasan ini nampak asri. Sukses melewati musim hujan pohon-pohon semakin menghijau. Pengelola juga mengembangkan kebun sayur dan pembibitan pohon dan buah-buahan.

Satu-satunya kendala yang dihadapi oleh kompleks ini adalah pada saat musim kemarau. Saat itu, ancaman kekeringan kerap menjadi pekerjaan rumah bagi pengelola.

“Selama bulan Agustus hingga Desember kami harus menganggarkan sekurangnya empat ratus ribu per bulan untuk membayar mobil tangki air yang disiapkan oleh PDAM Takalar. Paling banyak Rp.2 juta jika situasi sangat kering,” kata koordinator divisi perawatan.  Mereka menempuh itu demi menjamin keasrian kompleks itu.

Pada bulan Januari hingga menjelang musim kemarau, panorama kawasan seluas 4 hektar ini, terlihat menghijau.

Beberapa pohon bakau tumbuh subur di pesisir pantai. Ikan-ikan bermain di sekitar tanggul memanjang ke laut yang dibangun untuk melindungi pantai dari gerusan ombak saban musim sekaligus melindungi tumbuhnya bibit pohon bakau.

Di dekatnya, para nelayan rumput laut menggelar bentangan tali untuk mengikat bibit rumput laut. Ada pula beberapa bagan tancap. Ekosistem dirawat, warga mencari hasil laut.

Penataan kompleks sangat apik. Dimulai dari pintu gerbang yang kokoh dan terbuat dari kayu besi (sappu, Makassar). Anda akan disambut ucapan “PPLH Puntondo”.

Di sana terdapat penjaga yang akan mengarahkan kita ke dalam kompleks. Jalan menuju bungalow dan kantor mereka dialasi batu-batu kapur yang tertata rapi. Di kanan jalan terdapat kebun atau pembibitan buah-buahan ekonomis.

Di kiri terdapat beberapa bibit pohon yang ditanam oleh para tamu atau siswa sebagai tanda bukti kepedulian.

Inisiatif dari Puntondo tidak hanya menanam bakau dan tumbuhan lainnya.

Mereka juga mengembangkan alternatif pemanfaatan sumber energi alam. Ada maket dan wadah uji coba teknologi destilasi air laut menjadi air tawar, ada pula pemanfaatan energi angin menjadi tenaga listrik dalam skala kecil yang dipicu oleh kipas/baling-baling.

Bangunan pertama yang ditemui saat masuk adalah kantor mereka, lalu bangunan serbaguna, pendopo serta pintu naik menuju restoran dan bungalow.

Di pintu naik yang dikiri kanannya terdapat toilet, terpapar tulisan, “PPLH Puntondo built in good cooperation PPLH Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup, S@ri atau Stichting Arisan Indonesia/Arisan Indonesia Foundation Nijmegen Netherlands http://www.kun.ni/sari dan Ministerie Von Volkshuisvesting, Ruimtelijke Ordening an Milieubeheer” yang terpahat di atas marmer putih.

Saat sampai di pendopo kita akan menyaksikan tempat sampah yang dibagi tiga. Untuk sampah kaleng, plastik dan kertas. Warnanya biru, putih hitam.

Di pendopo terdapat lemari etalase yang menyiapkan baju tshirt, gelang, tas yang dibuat dari bahan-bahan sederhana. Souvenir dari Puntondo.

Dari pendopo kita dapat mengarah ke bungalow setelah melewati jembatan yang terbuat dari kayu besi. Kuat sekali. Lebarnya sekitar dua meter.

Beberapa pengunjung menggunakan jembatan yang menghubungkan dengan restoran dan bungalow untuk santai dan menikmati rerimbunan pohon di dekatnya. Ada lahan yang telah digali seperti tambak dengan beberapa pohon bakau di tengahnya, ikan-ikan bermain di sana.

Dari bungalow kita bisa memandang pantai dan geliat warga di laut. Ada yang memeriksa rumput lautnya, adapula yang sedang di atas sampannya. Pemandangan yang sangat indah.

“This is a very nice place. You should develop it more and more. All is good,” kata Jean Claude Colette, wisatawan dari Perancis yang memilih tinggal di bungalow paling ujung dekat tempat saya. Dia berdua, mereka sepasang kakek nenek yang telah mengagendakan Toraja, Bira dan Sengkang.

Restoran di PPLH Puntondo juga sangat nyaman. Gaya arsiteknya sangat kokoh. Walau tidak luas, lantai kayunya bertingkat-tingkat. Kita dapat memilih makan melantai di lantai pertama, kedua atau naik ke lantai tiga. Jaraknya tidak terlalu tinggi. Hanya undakan. Restorannya hanya berjakan 20 meter dari pantai.

Ruang pertemuan yang mereka siapkan sangat berbeda. Modelnya unik.

Dari sini kita dapat melihat suasana pantai, rindang pepohonan dan denyut pesisir dari waktu ke waktu. Ruang dalam pertemuan terlihat bagai lantai kayu dengan ceruk dan undakan.

Di undakan inilah para peserta mengikuti pertemuan atau pelatihan. Tiada kursi tiada ruang penyejuk kecuali semilir angin laut. Merokok tidak dianjurkan apalagi menggunakan sepatu atau sendal di dalam ruangan.

Semua begitu terbuka. Jika anda mengadakan pertemuan malam dan semisal sedang mati lampu maka mereka akan menyiapkan lampu petromaks.

“Tempat yang asik,” kata Lily Yulianti Farid yang pernah memboyong para citizen reporter Panyingkul atau http://www.panyingkul.com berlokakarya di sana.

Oh ya, di sini ada ada dua kamar penginapan yang dapat diisi lebih dari sepuluh orang. Ada enam bungalow yang juga tidak kalah menariknya. Lagi lagi hasil kerja arsitek yang sangat hebat. Memanjang ke barat, bungalow ini didisain dengan gaya terbuka.

Hampir semua dinding adalah jendela yang bisa dibuka tutup dengan bebas dengan sistim rel. Pintu muka belakang juga keren karena dapat dibuka tanpa engsel. Di penginapan saya, terdapat lima kasur dan dua kelambu.

Nah, ini yang sangat menarik. Jika hendak mandi atau ke toilet, kita turun melalui tangga belakang dan harus siap untuk dekat dengan alam terbuka.

Di bagian belakang terdapat kloset, bak air dan wastafel permanen. Dinding pembatas tiga meter dan selebar delapan meter.

Here we go, silakan mandi dan buang hajat di kamar mandi terbuka! Rimbunan bambu dan daun-daun merambat di dinding pembatas.

“Rasanya sangat geli dan sungkan. Tapi dinikmati juga,” kata Salmawati seorang tamu dari Bontosunggu yang mesti mandi dengan suasana seperti itu.

Sebagai warga yang pernah berdiam lama di pesisir dan mengikuti pola dan perubahan-perubahan ekologis di kampung sendiri saya merasakan situasi yang berbeda.

Tempat nyaman untuk rekreasi keluarga (dok: istimewa)

Ada kenikmatan tiada tara saat memandangi dan menikmati kompleks Puntondo yang kaya plasma nutfah dan dikemas dengan pendekatan ramah lingkungan. Untuk mengurangi pemborosan energi dan dampak tidak langsung ke lingkungan, manajemen tidak memasang pemanas ruangan, lampu minim watt, bahkan menyiapkan lampu petromaks, memasang kelambu dan tak menganjurkan obat nyamuk bakar, mengelola sampah dengan proses daur ulang, memberi tanda tidak merokok pada beberapa ruang pertemuan, dan sebagainya.

Di pesisir Galesong, tempat saya dilahirkan saat ini beberapa vegetasi telah hilang. Nyaris tanpa bekas. Di Puntondo-lah, saya mendengar kembali nama pohon yang nyaris tak akan pernah saya lihat lagi jika tidak berkunjung ke sana. Salah satunya adalah pohon rao atau pohon nane. Satu pohon yang dahulu masih dijumpai di pesisir barat Sulawesi sekitar Makassar tetapi kini dianggap sudah hilang. Tanaman ini dapat ditemukan di Puntondo.

Kampung di Teluk Laikang ini menyimpan beragam spesies tumbuhan dan hewan pesisir yang nyaris tak dijumpai tempat lain, utamanya burung.

Puntondo yang berarti bangau ini adalah kawasan pantai ditumbuhi beberapa jenis pohon bakau (mangrove), atau poko’ bangko, menurut lidah orang Makassar.

Terkait itu semua, manajemen yayasan telah mengembangkan berbagai kegiatan produktif yang mengutamakan konservasi, restocking dan perilaku hidup bersahabat dengan alam.

Kompleks PPLH Puntondo semakin menarik. Dari satu kawasan seluas 4 hektar yang dulunya tandus, misi konservasi dan pendidikan lingkungan yang telah ditabuh kini terus bertalu. Bergema dari waktu ke waktu.

Orang orang, mulai dari anak-anak hingga orang tua datang silih berganti, mengambil makna, menanam bibit, menyirami asa. Pemuda atau warga setempat pun kecipratan manfaat. Mereka bekerja bahu membahu dengan manajemen yayasan.

Di Puntondo, para siswa sekolah datang mengamati bentuk dan jenis pohon yang tumbuh di area kompleks. Yang lain mencatat ciri spesies laut, sebagian lainnya membuktikan cintanya dengan menanam pohon.

Seperti tercatat di pendopo, mereka datang dari Kelompok Siswa Pencinta Alam Kalpataru, dari SMA Negeri 1 Makassar, Siswa dari Bulukumba, Takalar, Perguruan Athirah, bahkan dari Lappariaja Bone telah melaksanakan pertemuan dan praktek konservasi lingkungan hidup di sini. Adapula mahasiswa dari jurusan kehutanan dan kelautan Unhas, universitas terpandang di Sulawesi.

Kini, 28 jenis burung dapat dijumpai di sini. Burung itu seperti cekakak, mahkota biru kehijauan (Holycon chloris), burung kacamata laut (Zosterops chloris), trinil, kapasan putih, kepudang kuduk hitam, cucak kutilang dan beberapa spesies lainnya.

Beberapa mahasiswa Kelautan telah menjadikan Puntondo sebagai praktik lapang. Mereka bergabung untuk mengaktualisasikan bidang keilmuan yang telah dipilihnya. Ada dua alumni kelautan yang pernah menggawangi tempat ini, keduanya menjabat direktur. Kini Yayasan Puntondo atau tepatnya Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Puntondo dipimpin oleh Muhammad Wajib.

Dia dibantu beberapa koordinator divisi dan puluhan staf. Sebagian besar staf adalah warga Puntondo atau desa-desa sekitar Teluk Laikang.

Dalam kesehariannya, untuk menjalankan misi organisasi, yayasan membentuk tujuh divisi. Divisi pendidikan, kelautan, restoran, fasilitas, perawatan kebun dan bangunan, keamanan, humas.

Mereka menyiapkan berbagai informasi tentang lingkungan, model penelitian, fasilitasi outbound, permainan pantai serta memandu pengunjung dalam menikmati jalan setapak yang dikelilingi oleh beragam vegetasi. Tempat ini juga dapat digunakan sebagai ruang pertemuan maupun family gathering.

Pada tanggal 11 April 2010, saya melihat jadwal kunjungan ke Puntondo. Jadwal yang padat selama bulan April. Antara tanggal 3 April hingga 25 April tertera nama-nama tamu, seperti Yayasan YLP2M, Kantor Suzuki Makassar, SMA Kristen Barana, Kapolsek dan Kapolres, SMA Katolik Cendrawasih, Perusahaan Pelindo, Trakindo. Banyak sekali. 500 pengunjung setidaknya akan menikmati Puntondo. Puntondo semakin diminati pengunjung.Bukan hanya dari Makassar tetapi dari pengunjung dari jazirah utara Sulawesi Selatan.

Orang Orang Di Puntondo

Divisi fasilitas, sebagai misal, adalah divisi yang mempekerjakan warga lokal, seperti Andi Daeng Sese. Andi dulunya adalah siswa putus sekolah. Dia tidak ingat tanggal lahirnya.

“Tapi saya bisa membaca.” katanya. Dia bekerja sejak tahun 2003. Kini dia berstatus staf dan dapat gaji bulanan. Dia asli Puntondo.

Andi berhenti sekolah saat kelas dua SD. Ini ditempuhnya setelah orang tuanya memintanya menjaga empang saja. Tapi kini ayahnya telah meninggal. “Penyakit lever kata orang.” sebut Andi. Pertama kali saat bekerja di Puntondo, Andi adalah staf part time. “Pertama kali saya dipanggil oleh Mas Bunta. Seorang staf Puntondo.” katanya.

Andi punya dua anak yang masih kecil. Selain bekerja di tempat ini Andi adalah nelayan. Dia memasang jaring jika ada waktu lowong dari kerja utamanya. Dia juga menanam rumput laut.

Di tempat yang lain, Kamaruddin Dg Awing, adalah staf pada divisi perawatan dan kebun. Dia beruntung karena pernah diboyong ke Seloliman, Jawa Timur untuk belajar pertanian organik.

“Saya naik pesawat dan tinggal selama tiga minggu di sana,” katanya.

Awing dan tiga orang temannya diterbangkan ke sana untuk dapat menerapkan ilmunya di Puntondo. Namun seorang temannya bernama Rahim, keluar dari Puntondo karena memilih bekerja di empang.

Daeng Ngawing bergabung sebagai relawan sejak tahun 1999, saat PPLH sedang berbenah.

Daeng Ngawing tidak ingat tahun lahirnya. Yang dia ingat saat setelah disunat dia dibawa ke desa Bonto Parang, Cikoang. Awing bersaudara lima orang. Dia anak keempat.

Dari istirnya dia punya tiga anak. Dia mengaku bahwa sudah satu tahun ini ditinggal istrinya. “Mungkin ada lelaki lain,” katanya. Kini dia bersama ketiga anaknya. Yang paling tua, umurnya tujuh tahun, kelas I SD namanya Amiruddin. Anak keduanya bernama Saparuddin umurnya 5 tahun. Yang ketiga bernama Tiara, 3 tahun.

Blogger tenar Budi Putra dan founder Komunitas Blogger Makassar angingmammiri.org, drg Irayani Queencyputri juga pernah ke sini (dok: K. Azis)

“Malam itu dia minta izin beli telur tapi setelah ditunggu hingga beberapa jam dia tidak pernah muncul lagi ke rumah,” sungutnya.

Dia kehilangan jejak atas istrinya. Kini, ketiga anaknya dirawat oleh ibunya. “Sepertinya ada yang ocok-ocoki,” lanjutnya. Maksudnya ada yang kompori hingga istrinya hengkang.

Di depan perpustakaan mereka, saya berjumpa Amsar, lelaki yang tamat SD di Puntondo dan bekerja di divisi fasilitas. Dia sedang menyapu saat saya menyambanginya. Dia pula yang menunjukkan pohon rao, yang saya sebut pohon langka itu.

Lelaki kelahiran Puntondo ini berusia 29 tahun dan telah punya anak dua dari istri bernama Putri adalah staf divisi fasilitas. Amsar bekerja sejak 2003. Pertama kali dia diperbantukan di divisi pertanian. Kini dia adalah karyawan tetap di Puntondo.

Dia juga menjalankan usaha rumput laut. Dia punya 100 bentangan panjangnya 250 meter. Dia panen setiap 40 hari masa tanam. Menjadi karyawan dan petani rumput laut kini sedang digelutinya.

Puntondo bukan hanya oase bagi warga sekitar tetapi juga bagi para mahasiswa dan alumni yang ingin mengaktualisasikan ilmunya. Muhajir yang akrab disapa Ondo, alumni Ilmu Kelautan Unhas mengaku pernah mengadakan penelitian di Puntondo.

Dia juga dapat tugas tambahan memandu pendidikan dan pengenalan ekosistem terumbu karang, alga dan biota-biota lain bagi warga sekitar dan para pengunjung. Ondo juga mengaku sejak dari Puntondo dia kini mahir memproses daur ulang kertas.

Ondo meriset potensi wisata disana. Menurutnya, lokasi Puntondo bagus untuk wisata pendidikan karena keberadaan PPLH. Untuk wisata renang disana juga cukup bagus, dengan pantai pasir putih yang halus dan ombak yang relatif tenang.

“Tapi hati-hati pada musim tertentu karena banyak ubur-ubur yang bisa mengganggu kenyamanan wisata. Wisata selam disana juga tidak kalah jauh, karena di dominasi oleh tutupan karang lunak dan kelimpahan ikan karang yang cukup baik.” terang Ondo.

Ada satu yang berbeda saat menikmati sajian restoran Puntondo: makanan tanpa penyedap rasa!

Saya dapat informasi ini saat pertama kali datang ke tempat ini. Lalu saya bertemu Camma, staf bantu di restoran dan mengatakan bahwa setiap masakan di tempat ini bebas penyedap.

Semisal, jika hendak buat sambal maka bahan-bahannya yang disiapkan adalah bawang merah, bawang putih, terasi, gula pasir, garam. Tomat dan lombok kecil. Diblender, kemudian ditumis.

Sudah tiga tahun Camma mengabdikan diri di yayasan ini dengan status part timer. Tamat SD di Puntondo dan mulai bekerja pada tahun 2008. Camma berumur 19 tahun dan tinggal bersama orang tuanya. Dia mengaku diberi arahan dan bimbingan selama menjadi staf.

Dia banyak berlajar pada Irma, kordinator divisi restoran. Sebagai staf part timer, dia dibayar sesuai dengan hari kerjanya. Dia dibayar harian.

Bulan lalu, dia mendapat bayaran Rp. 435ribu sesuai jumlah hari kerjanya. “Bantu ibu.” begitu jawabannya saat saya tanyakan, dikemanakan uang gaji itu.

Bapaknya adalah petani rumput laut, namanya Daeng Aca suami dari Supi. Di tempat kerja Camma ada 10 koki termasuk Daeng Lino yang sedang menemaninya saat itu.

Lain Camma lain pula cerita Suryani. Perempuan muda bertubuh mungil. Wajahnya putih dengan rambut sebahu. Perempuan yang lahir pada tanggal 26 Mei 1994 ini telah sebulan bekerja sebagai part timer di restoran Puntondo.

Wajahnya ditekuk dan tersenyum hambar saat saya tanyakan status sekolahnya. Gadis belia ini tak lulus ujian SMP. Ujiannya baru saja, di tahun ini.

Dia yang baru sepuluh hari diperbantukan pada divisi pelayanan Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup (YPLH) di Puntondo, Desa Laikang, Takalar ini merasa dibohongi temannya. Di sekolahnya ada 10 yang tak lulus. Ujian susulan sudah selesai tapi Suryani tidak tahu jadwalnya. Teman yang dia tanya mengenai jadwal itu, tapi dia beri berita palsu. Suryani memendam dendam. Geram.

“Tidak tanya langsung ke sekolah atau guru?” tanyaku.

“Memang disebut akan ada ujian susulan tapi saat saya tanya ke teman itu dia bilang sudah selesai padahal belum,” sungutnya.

Padah dia sangat menikmati sekolahnya. “Saya ingin lulus,” katanya. Murid pada SMP 4 Mangngara Bombang ini ke sekolah naik motor. Saat kelas 1 SMP dia naik sepeda. Lalu bapaknya, Tuan Rate, membelikannya sepeda saat kelas 3.

Tuan Rate, adalah nelayan rumput laut, punya kebun yang luas dan ditanami singkong, jagung, sayuran di belakang rumah. “Orang tua saya ingin saya sekolah baik-baik.”

Suryani adalah anak ke-3 dari rahim Daeng Kebo. Kakak perempuannya telah menikah. Namanya Kuasa, dengan anak satu. Dia bersuamilkan orang Laikang. Yang lelaki nelayan masih single dan bekerja sebagai petani rumput laut dan pemasang pukat. Suryani sendiri masih ingin sekolah.

“Ingin punya ijazah lagi?” tanyaku. “Iya. Tapi saya tidak tahu, siapa yang harus saya tanya untuk saya bisa ujian lagi.” Suryani bekerja di Puntondo seraya menunggu kesempatan menggondol ijazah dari bangku SMP.

Jika yang lain hanya tamatan SD atau SMP namun Isma lain lagi. Dia tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri 5 di Cikoang. Sekolahnya di dekat kantor camat Mangngara Bombang. Irma masuk hari itu pada pukul 12.00 hingga malam. Isma terlihat lebih lincah dan supel dalam bergaul. Dia juga sangat menikmati profesinya ini.

Saya juga bertemu Asri. Asri mengaku besar di Bukumba. Kini tinggal dengan orang tuanya. Dia bersaudara delapan orang. Saudaranya ada yang bekerja di Malaysia di perkebunan kelapa sawit, ada yang tinggal di Kolaka ada juga yang di Bulukuma.

Bapaknya adalah seorang guru yang telah mengajar selama 27 tahun dan menikah dengan wanita Puntondo. Asri telah bekerja part time selama 6 bulan. Asri adalah alumni SMK Boddia di Galesong tahun 2002.

Asri berkawan dengan Mulyadi anak Daeng Laga. Dari Mulyadi dia peroleh akses untuk masuk bekerja di Puntondo. Informasi dari Asri menyebut bahwa jika menjadi part timer maka hanya makan siang dan teh atau kopi yang ditanggung. Dia masuk bekerja dari pukul 8 hingga 4 sore.

Dia juga menandatangani kontrak yang disiapkan yayasan. Menurut Asri, ada beberapa staf Puntondo yang telah disiapkan rumah khusus tetapi di luar kompleks. Jaraknya sekitar satu kilometer. Di sana tinggal lima orang staf. Ada warga Puntondo adapula yang berasal dari Seloliman.

Saya juga mendapat fakta dan informasi penting tentang arti penting Puntondo bagi sekitar.

Pada satu siang pukul 14.00 tanggal 15 April 2010 di kompleks pendidikan lingkungan hidup, YPLH Puntondo. Dalam perjalanan dari restoran menuju ruang pertemuan setelah makan siang, di kiri saya perpustakaan yayasan itu sedang di kunjungi dua tamu. Yang satu mahasiswa perguruan di Jeneponto yang satunya anak usia 12 tahun. Saya mampir dan berkenalan dengannya. Sebenarnya, yang membuat saya berhenti adalah si anak kecil itu.

Namanya Didi. Anak kecil di perpustakaan, sungguh tak lazim. Dia murid kelas IV SD Puntondo, Mangngara Bombang, Takalar. Dia sedang memilah buku-buku di bagian bertuliskan “buku umum”, tidak jauh dari buku-buku kelautan dan konservasi lingkungan hidup.

Ada buku Biologi Laut, Oseanografi, terumbu karang hingga filsafat. Tapi, Didi mencari sesuatu.

Penulis saat berada di titian Puntondo (dok: istimewa)

“Sedang cari buku apa?” kataku. Dia menjawab dengan tegas dan mantap. “Prahara Budaya,” jawabnya. “Buku apa itu ya?” batinku.

Saya menerawang, merasa judul buku ini pernah dengar. Tapi lupa siapa pengarang. O, iyya. DS Moeljanto dan Taufiq Ismail adalah penulis buku ini. Buku ini menceritakan ihwal paham dan pergulatan tumbuhnya bibit Komunisme di Indonesia. Sepertinya, buku yang berat untuk seorang anak seusia Didi.

“Guru bilang, banyak yang dapat dipelajari dari buku ini,” ungkap Didi.

“Pak Syarifuddin, guru saya yang mengajak untuk rajin ke perpustakaan Puntondo,” katanya. Dia guru IPS.

“Sebenarnya, saya sudah sering berkunjung ke tempat ini. Main-main,” kata Didi, anak bungsu Daeng Siama, dua kakak perempuannya tamat SMP dan telah menikah. Mereka keluarga petani rumput laut.

Kakak sulung Didi, bernama Fatimah bersuamikan pria dari tanah Jawa pekerja bangunan di YPLH. Kakak keduanya, Irmawaty, sudah berkeluarga dan bekerja di YPLH.

Didi yang masih sekolah SD itu telah merasakan manfaat perpustakaan sekolah itu. Walau orang tuanya hanya petani rumput laut, Didi yang selalu memperoleh angka tinggi saat ujian kelas ini bertekad untuk lanjut SMP. Dia duduk mematung, bersandar di rak buku saat saya meninggalkannya.

“Teruslah membaca Didi. Entah apa yang akan kau simpulkan setelah membaca buku itu.”

Pada satu kesempatan lain saya menyambangi warga di luar kompleks. Pada suatu sore di Puntondo. Enam orang anak usia tak lebih 10 tahun dengan muka kucel sedang main kelereng di kolong rumah. Di sebelah rumah itu, seorang lelaki dengan telepon genggam di tangan sedang berbicara dengan suara setengah teriak.

“Halooo…halooo ikau inne….” Kamu ini, katanya.

Tidak lama berselang, seorang wanita tua, turun dari tangga rumah. Lelaki tadi memegang telepon dan si wanita berbicara dalam bahasa Makassar yang meliuk-liuk.

Seorang lelaki di seberang sana sedang membicarakan rencana kunjungannya ke kampung itu. Sepertinya terkait rencana lamaran.

“Purinayya injo,” kata lelaki tadi. “Paman saya itu,” katanya. Daeng Gassing lelaki ini mendekat saat saya memperhatikan satu karung besar teronggok di kolong rumahnya.

“Ini rumput laut kering. Ada 95 Kilogram. Sudah 10 hari disimpan karena belum diminta oleh pembelinya,” kata istrinya, Jinne dengan senyum lebar.

Biasanya dua sampai tiga hari proses penjemuran rumput laut. Tapi yang ini Gassing dan Jinne mengeringkannya selama lima hari. Sudah belasan tahun Gassing menggeluti usaha ini. Ditemani istrinya dia hampir tiap hari turun melaut.

“Saya pertama kali dapat bibit rumput laut, sejak 15 tahun lalu. Saya dapat dari Bapak Sapari,” kata Gassing agak ragu.

“Safari Azis Husain?” kataku menduga-duga. “Mungkin orang itu, itumi orangnya.”

Sudah lama pula Gassing mempercayakan penjualan rumput laut keringnya ke Pak Hafid. Nama terakhir ini adalah kolektor rumput laut di Teluk Laikang. Dia tinggal di dekat mesjid Puntondo. Bulan lalu, Gassing menjual 500 kilo rumput laut kering. Harganya 8ribu perkilo. Ada empat juta uang yang diraupnya.

“Saya membeli dengan harga Rp. 7.500 perkilo lalu menjualnya 8ribu ke Pak Hafid,” akunya. Selain menanam sendiri, dia juga membeli dari petani lainnya.

Di rumah panggung Gassing, dia tinggal bersama istri, dua orang saudara, ibunya dan dua orang anaknya. Dia punya pekarangan luas, dia menanami sebanyak 200 batang pohon jarak atau “kanjoli”. Ini pemberian YPLH Puntondo.

“Kami menanamnya mereka beri bibit,” kata Gassing. Jarak telah berbuah tapi belum ada upaya lanjutan mengenai pemanfaatannya. Gassing memperlihatkan buah jarak yang sudah berjamur isinya.

Usaha utama Gassing adalah budidaya rumput laut sekaligus pengumpulnya, dia membeli dari petani lain. Dia juga memasang pukat untuk mencari kepiting rajungan. Di Puntondo, pembeli rajungan juga ada. Gassing memiliki 20 bentangan rumput laut. Panjang bentangan 25 meter. Panjang sekali. Jika dihitung sampai 500 meter.

Menanam rumput laut dengan harga yang semakin stabil, menjaring kepiting rajungan berharga selangit ditemani istri yang setia menemani. Istri yang merawat anaknya yang masih kecil telah memberikan kemudahan bagi Gassing sekeluarga untuk selalu tersenyum.

Saya tidak mendengar keluhan, apalagi meminta bantuan, seperti yang jamaknya warga di beberapa desa lain yang telah dimanja proyek dan bagi-bagi uang a la dermawan.

Beberapa meter dari Kantor Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Puntondo yang asri dan dihembus angin musim peralihan, Gassing dan Jinne menyunggingkan senyum bangga.

Senyum yang sejatinya tak akan lekang ditelan waktu. Mereka adalah warga kampung yang terus bekerja, terus berjuang.

 

Tamarunang, 12/10/2020

Ditulis ulang oleh: K. Azis

 

Related posts