Setiap kali musim hujan tiba, masyarakat di pesisir selatan kembali cemas: Apakah bendungan aman? Apakah airnya akan meluap? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Tapi yang sering luput adalah rasa hormat — bahwa bendungan ini telah berdiri kokoh lebih dari tiga puluh tahun, melewati badai dan longsor, dan tetap setia menjaga ritme kehidupan kita.
Oleh: Mustamin Raga
(Pernah bekerja sebagai anggota Tim Konsultan Proyek Irigasi Bili-Bili)
PELAKITA.ID – Ada yang bekerja dalam diam — tanpa tepuk tangan, tanpa siaran langsung, tanpa wacana di berbagai media. Ia berdiri kokoh di antara pegunungan, menatap lembah dan kota yang tumbuh di bawahnya; menyimpan air, menahan deras, dan mengalirkan kehidupan.
Dialah Bendungan Bili-Bili, bangunan raksasa penampung air yang selama tiga dekade terakhir menjadi jantung tersembunyi bagi denyut kehidupan di Gowa, Takalar, dan Makassar.
Ironisnya, sebagian besar dari kita baru mengingat namanya ketika awan hitam menggantung di langit — saat hujan tak henti mengguyur, dan sungai terlihat mulai meluap.
Ketika itu, sebagian orang menunjuk ke arah bendungan, bukan sebagai penyelamat, melainkan sebagai ancaman. Betapa piciknya cara pandang seperti itu — seperti melihat kawan sejati yang telah melindungi kita bertahun-tahun sebagai musuh ketika badai datang.
Padahal, bendungan ini bukanlah monster yang siap menelan kota, melainkan penjaga setia yang bekerja tanpa pamrih sejak diresmikan pada tahun 1999.
Dalam diamnya, Bili-Bili menampung air hingga 350 juta meter kubik, membaginya dengan ketelitian dan kesetiaan: sebagian untuk menahan banjir, sebagian untuk mengalirkan air baku ke rumah-rumah dan sawah, sebagian lagi untuk menampung sedimen yang terus datang dari pegunungan.
Ia tak pernah menuntut terima kasih; ia hanya menunaikan tugasnya — memastikan lampu-lampu di kota tetap menyala, sawah tetap menghijau, dan keran-keran air di rumah tetap meneteskan kehidupan.
Namun, sejarah tak selalu berjalan mulus. Pada Maret 2004, alam menguji daya tahan bendungan ini. Kala itu terjadi runtuhnya dinding kaldera Gunung Bawakaraeng, peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah kebencanaan Indonesia.
Dari perut gunung yang menganga itu, sekitar 230 juta meter kubik material longsor meluncur ke bawah, menghantam Sungai Jeneberang, membawa lumpur dan batu ke dalam Waduk Bili-Bili.
Sebuah malapetaka ekologis yang diam-diam mengubah wajah bendungan: sedimen yang mengalir masuk melebihi daya tampungnya. Padahal, kapasitas tampungan mati — tempat untuk menampung sedimen — hanya sekitar 29 juta meter kubik. Artinya, bendungan ini menanggung beban nyaris sepuluh kali lipat dari yang seharusnya.
Bili-Bili tidak mengeluh. Ia hanya diam. Tapi para insinyur, ahli hidrologi, dan pemerintah kala itu tahu bahwa keheningan itu menyimpan peringatan serius.
Maka sejak 2005 hingga 2012, dilakukanlah berbagai upaya penyelamatan besar: pengerukan sedimen secara struktural dan penyesuaian pola operasi secara non-struktural — kerja panjang yang penuh kesabaran dan kecerdikan manusia yang bersekutu dengan alam.
Kini hasilnya kita nikmati — tanpa banyak sadar. Sungai Jeneberang kembali mengalir dengan ritmenya, waduk kembali berfungsi tenang, dan air dari bendungan itu masih menghidupi kota-kota di pesisir selatan Sulawesi.
Setiap tetes air yang keluar dari kran di rumah-rumah Makassar sejatinya adalah doa tak terucap dari Bili-Bili — hasil perjuangannya menahan hujan agar tak menjadi bencana, menampung deras agar berubah menjadi berkah. Tapi kita jarang menyapanya. Kita hanya menuduhnya ketika langit marah, dan lupa berterima kasih saat pagi datang dengan tenang.
Cobalah sesekali berhenti sejenak ketika memutar kran di dapur. Air yang mengalir jernih ke dalam teko atau panci untuk memasak nasi itu bukan sekadar air. Ia adalah perjalanan panjang dari hulu yang dijaga bendungan raksasa, melewati saluran dan pipa yang tak pernah berhenti bekerja. Ia adalah kerja diam dari tangan-tangan manusia yang berpadu dengan kekuatan alam.
Saat Anda mandi di pagi hari, menyegarkan tubuh dengan air yang sejuk — di situlah Bili-Bili turut hadir: dalam tiap bulir air yang membasuh wajah, dalam kesejukan yang menyapa kulit. Ia tidak mengetuk pintu, tapi masuk melalui aliran yang tenang, menyapa kita dengan kesederhanaan yang agung.
Ketika sore tiba dan keluarga berkumpul di ruang tamu menikmati teh hangat, anak-anak tertawa menonton televisi, dan angin membawa aroma tanah basah, tahukah Anda bahwa rasa aman itu juga lahir dari kehadiran bendungan ini?
Bahwa rumah yang tak tergenang air, sungai yang tak meluap, dan halaman yang tetap kering — semua itu adalah buah dari kesetiaan bendungan di kaki gunung.
Begitulah cara Bili-Bili bekerja: hadir di setiap tegukan air, di setiap butir nasi, di setiap tawa anak di halaman rumah yang kering. Ia hadir tanpa memperkenalkan diri, tanpa tanda tangan di baliho, tanpa klaim keberhasilan. Ia hanya bekerja, menjaga, dan memberi.
Namun betapa sering manusia melupakan yang sunyi. Kita mengingat pemimpin yang lantang berbicara, memuji program yang ramai diiklankan, tapi abai pada sistem-sistem diam yang menopang kehidupan. Padahal, di antara yang diam itulah letak kebijaksanaan sejati.
Bendungan Bili-Bili adalah contoh nyata keseimbangan antara kuasa dan kelembutan. Ia mampu menahan deras yang maha dahsyat, tapi juga menyalurkan aliran lembut ke sawah dan rumah. Ia menunjukkan bahwa kekuatan tak selalu berarti keras; kadang ia berwujud kesabaran dan ketekunan.
Setiap kali musim hujan tiba, masyarakat di pesisir selatan kembali cemas: Apakah bendungan aman? Apakah airnya akan meluap? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Tapi yang sering luput adalah rasa hormat — bahwa bendungan ini telah berdiri kokoh lebih dari tiga puluh tahun, melewati badai dan longsor, dan tetap setia menjaga ritme kehidupan kita.
Menjelang puncak musim hujan tahun ini, ada baiknya kita berhenti sejenak dari hiruk pikuk kesibukan dan mengingat keberadaan bendungan ini. Di balik gunung dan lembah itu, ada tubuh raksasa yang tetap bekerja siang dan malam — memantau, menahan, menyalurkan, dan menjaga keseimbangan.
Bendungan Bili-Bili bukan sekadar bangunan beton dan baja. Ia adalah simbol keteraturan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab — buah pikiran jernih dari para insinyur dan keputusan berani generasi sebelumnya yang mengerti arti penting mengelola air.
Air adalah kehidupan. Dan kehidupan tak bisa dibiarkan liar tanpa kendali. Air yang tak diatur bisa menjadi amarah, tetapi air yang dikelola dengan bijak menjadi anugerah. Di sinilah Bili-Bili memainkan peran paling filosofisnya: menjinakkan kekuatan alam tanpa menentangnya. Ia berdamai dengan air, menuntun arus deras menjadi aliran yang menenteramkan.
Maka ketika kelak hujan deras mengguyur lagi, dan berita-berita membicarakan debit waduk serta volume pelimpahannya, semoga kita tak buru-buru panik. Sebaliknya, mari menatap bendungan itu dengan rasa hormat — dengan kesadaran bahwa di sanalah penjaga kita bekerja.
Karena jika kita mau jujur, Bili-Bili bukan sekadar bendungan. Ia adalah cermin watak kehidupan yang ideal: kuat tapi sabar, besar tapi rendah hati, bermanfaat tanpa banyak bicara. Ia adalah bentuk konkret dari keheningan yang produktif — sebuah karakter yang makin langka di zaman yang sibuk mencari sorotan ketimbang makna.
Di setiap aliran air yang menuruni Sungai Jeneberang menuju laut, ada pesan yang bisa kita dengar jika mau menenangkan diri sejenak: bahwa ada kekuatan besar dalam diam, ada kasih yang bekerja tanpa pamrih, dan ada bendungan tua yang terus menjaga kita dari murka air — dan dari kelalaian diri sendiri.
Bendungan Bili-Bili adalah metafora bagi banyak hal dalam hidup. Ia seperti guru yang sabar mengajar tanpa pamrih, seperti ibu yang memasak setiap hari tanpa menagih terima kasih. Ia mengajarkan bahwa makna sejati dari kekuatan bukanlah kebisingan, melainkan ketenangan.
Manusia modern sering terjebak dalam kegaduhan pencitraan — semua ingin terlihat, semua ingin diakui. Namun bendungan itu berdiri membisu, membuktikan bahwa keberhasilan sejati tidak perlu diumumkan; ia terasa, ia mengalir, ia memberi manfaat.
Setiap air yang kita minum adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Setiap tetesnya mengandung nilai kerja sama antara alam, teknologi, dan manusia. Maka, setiap kali tangan kita memutar kran, semestinya ada rasa syukur yang lahir: bahwa di balik aliran kecil itu ada kekuatan besar yang bekerja — ada bendungan yang tak pernah tidur, ada manusia-manusia yang menjaganya agar kehidupan terus mengalir.
Mungkin di sanalah inti dari peradaban sejati: bukan pada siapa yang paling tampak, tetapi pada siapa yang paling banyak memberi tanpa harus terlihat.
Bili-Bili telah mengajarkan kita bahasa yang nyaris punah di zaman ini — bahasa diam yang bermakna. Ia tidak berbicara, tapi kita bisa mendengar pesannya: bahwa kesetiaan tak perlu seremonial, kerja tulus tak butuh spanduk, dan kebaikan tak perlu disiarkan agar menjadi nyata.
Maka, ketika kita menikmati pagi yang tenang di rumah, ketika air mengalir lembut dari kran untuk membasuh tangan dan wajah, mari berhenti sejenak dan ingatlah: ada penjaga di kaki gunung yang tak pernah tidur, ada bendungan tua yang terus menahan deras demi kita.
Dalam diamnya, Bili-Bili sesungguhnya sedang berdoa — agar manusia belajar dari air: mengalir tanpa sombong, menyejukkan tanpa pamrih, dan memberi kehidupan tanpa batas.
