Mungkin, di negeri ini, keadilan bukan soal siapa yang bekerja keras,
tapi siapa yang punya akses.
Mustamin Raga
PELAKITA.ID – Saya sudah tiga puluh tahun berjualan kue keliling. Kue khas yang akrab disebut buroncong oleh warga kota.
Setiap pagi, sebelum matahari muncul, saya sudah menyalakan tungku kecil di dapur. Istri saya menyiapkan adonan, sementara saya membereskan gerobak yang catnya sudah pudar dan rodanya kadang macet saat melintasi jalan tanah.
Saya memulai usaha ini ketika usia saya baru melewati angka tiga puluh. Sekarang, saya sudah menginjak usia enam puluh. Tapi hidup saya masih seperti roda gerobak yang saya dorong setiap hari: berputar di tempat yang sama.
Apa yang saya makan hari ini tergantung pada berapa potong kue yang terjual hari ini. Tidak lebih, tidak kurang.
Kalau hujan turun sejak pagi, saya tahu itu pertanda hari yang berat. Kadang saya pulang dengan membawa kue yang masih banyak. Saya menatap anak dan istri dengan perasaan bersalah, lalu esoknya saya jual lagi kue yang sama—dengan harapan yang semakin tipis.
Begitulah hidup saya, lebih dari seperempat abad.
Saya sering mendengar tentang anggaran pemerintah dari televisi. Angka-angka besar disebut dengan bangga: ribuan triliun rupiah.
Saya tidak tahu harus merasa apa. Gembira? Heran? Atau sedih?
Karena sejauh yang saya tahu, setiap kali angka besar diumumkan, hidup saya tetap sama. Roda gerobak saya tidak jadi lebih ringan. Dapur saya tidak jadi lebih hangat. Rezeki saya tidak bertambah.
Kata orang, anggaran itu milik rakyat. Tapi saya sering bertanya dalam hati: rakyat yang mana?
Apakah saya, yang setiap hari mendorong gerobak di bawah terik matahari, juga termasuk dalam hitungan “rakyat” yang disebut-sebut dalam pidato pejabat itu? Atau kata “rakyat” itu cuma pemanis naskah, sementara isinya hanya untuk mereka yang dekat dengan kekuasaan?
Saya juga sering dengar soal Kredit Usaha Rakyat. Katanya, itu cara negara membantu orang kecil seperti saya agar bisa berkembang.
Tapi saya tidak pernah tahu harus ke mana, atau bagaimana caranya mengajukan kredit itu.
Pernah sekali saya mencoba datang ke bank. Petugasnya memberikan formulir panjang. Banyak istilah yang tidak saya mengerti.
“Harus ada jaminan,” katanya.
“Harus ada laporan keuangan,” katanya.
Saya cuma bisa tersenyum kecil. Apa yang bisa saya jaminkan? Gerobak tua ini? Atau dapur sempit di rumah kontrakan?
Saya merasa terlalu kecil untuk mendapat keistimewaan yang katanya disediakan untuk “usaha kecil”.
Kadang saya bermimpi memperbesar usaha ini—punya dua atau tiga gerobak, menggaji orang lain, dan membantu mereka. Tapi mimpi itu selalu berakhir di kepala saya sendiri, karena modalnya tak pernah ada.
Saya sadar, di negeri ini, mimpi orang kecil sering terhenti di antara kenyataan dan birokrasi.
Setiap tahun saya dengar berita: Anggaran disahkan. Pertumbuhan ekonomi naik. Bantuan usaha rakyat meningkat. Saya hanya mendengarnya sambil menyiapkan adonan.
Kadang saya tersenyum miris. Entah di mana “pertumbuhan” itu tumbuh.
Karena di tempat saya berdiri, yang tumbuh hanya harga tepung, minyak, dan gula.
Saya tetap harus menakar adonan dengan hati-hati, agar tak rugi.
Saya tahu banyak orang seperti saya—pedagang kecil, tukang tambal ban, penjual gorengan, penjahit keliling, penjual ikan keliling—semua hidup dari harapan yang tak pernah benar-benar datang.
Kami bukan pemalas. Kami hanya tidak punya jalan.
Pintu yang terbuka untuk kami hanyalah pintu pasar, bukan pintu kantor yang bisa memberi akses pada modal atau bantuan.
Saya sering bertanya-tanya, apakah anggaran negara itu benar-benar turun sampai ke tanah tempat kami berpijak?
Ataukah ia hanya menguap di udara—berhenti di meja pejabat, tersangkut di tanda tangan, proposal, dan rapat-rapat panjang yang tak pernah kami tahu ujungnya, apalagi hasilnya?
Saya tidak iri. Tapi saya lelah.
Lelah mendengar janji yang diulang-ulang setiap tahun. Lelah dengan kata “pemerataan” yang tak pernah saya rasakan.
Kami ini rakyat yang tetap kecil bukan karena tidak mau besar, tapi karena sistemnya tidak memberi ruang untuk kami tumbuh.
Kalau kami hilang hari ini, negara mungkin tidak akan merasa kehilangan. Malah bisa jadi merasa lega—karena bebannya berkurang.
Kalau nanti anggaran tahun depan diumumkan lagi, saya mungkin akan tetap mendengarnya sambil menyiapkan adonan seperti biasa.
Angka-angka besar itu akan melintas di layar televisi saya yang buram.
Tapi saya tahu, seperti tahun-tahun sebelumnya, angka itu tidak akan berubah menjadi tepung di dapur saya, atau roda baru di gerobak saya.
Yang saya tahu, esok pagi saya akan tetap keluar rumah, mendorong gerobak, dan berdoa semoga hari tidak hujan.
Sebab bagi saya, anggaran negara tidak menentukan apakah saya bisa makan hari ini—cuacalah yang paling menentukan.
Dan kadang, di tengah jalan, saat matahari mulai condong ke barat, saya merenung:
Mungkin, di negeri ini, keadilan bukan soal siapa yang bekerja keras,
tapi siapa yang punya akses.
Dan kami, para penjual kue keliling, hanya belajar satu hal dari semua ini: Bahwa nasib bukan ditentukan oleh besar-kecilnya anggaran negara, tapi oleh seberapa kuat kami bertahan, meski tanpa pernah benar-benar diperhatikan.
Gerhana Alauddin, 9 Oktober 2025
