- Pada titik inilah reklamasi menjadi paradoks: ia dijadikan solusi jangka pendek untuk kebutuhan ruang, tetapi pada akhirnya berpotensi menciptakan masalah baru yang lebih kompleks dan sulit diselesaikan.
- Dalam lensa Foucauldian, reklamasi adalah bentuk pembangunan yang kerap tidak adil, yang mendisiplinkan dan memarjinalkan komunitas pesisir sambil menampilkan diri sebagai kemajuan yang tak terelakkan.
PELAKITA.ID – Berita dari Kompas kemarin menyoroti reklamasi di Untia, Makassar, yang menurut warga setempat akan menempatkan nelayan kecil dalam situasi yang sangat buruk.
Masyarakat menyuarakan kekhawatiran bahwa rencana mereklamasi perairan Untia lebih banyak didorong oleh kepentingan bisnis dan utilitas swasta ketimbang kesejahteraan warga biasa.
Respon ini mencerminkan bagaimana proyek reklamasi pesisir sering kali menimbulkan gesekan: meski dibingkai sebagai kemajuan atau modernisasi kota, kenyataannya beban berat justru ditanggung oleh nelayan kecil dan komunitas marjinal yang kehidupannya bergantung langsung pada laut.
Dengan demikian, Untia bukanlah kasus yang terisolasi, melainkan bagian dari pola global di mana reklamasi memunculkan pertanyaan tajam tentang keadilan, kekuasaan, dan arah pembangunan.
Pelajaran dari Reklamasi Pesisir di Dunia
Pelajaran pertama adalah bahwa reklamasi hampir selalu dibenarkan dengan bahasa “kebutuhan.” Pemerintah dan korporasi berargumen bahwa reklamasi menyediakan lahan untuk perumahan, industri, pariwisata, atau perlindungan banjir.
Singapura, misalnya, telah menambah lebih dari 20% wilayahnya melalui reklamasi, yang memungkinkan negara-kota tersebut memperluas pelabuhan dan sektor real estate. Belanda menggunakan reklamasi untuk pengelolaan air, mengubah pesisir rendahnya menjadi lahan pertanian produktif dan permukiman yang tangguh.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa reklamasi bukan sekadar menciptakan ruang, tetapi juga memperluas kapasitas negara dan pertumbuhan ekonomi ke wilayah yang sebelumnya dibatasi oleh batas alam.
Pelajaran kedua adalah bahwa proyek reklamasi sering kali menutupi degradasi ekologis. Dalam banyak kasus, hutan mangrove, terumbu karang, dan perikanan musnah untuk digantikan oleh properti mewah, pelabuhan, atau kawasan industri.
Reklamasi Teluk Manila, misalnya, telah menyebabkan hilangnya lahan basah penting, memperparah banjir, dan menggusur komunitas nelayan lokal.
Pola ini memperlihatkan adanya pertukaran yang timpang: nilai ekonomi dari tanah baru diutamakan, sementara jasa ekologi dan mata pencaharian masyarakat terpinggirkan. Dengan demikian, reklamasi merupakan contoh nyata “miopia pembangunan”—di mana tujuan pertumbuhan jangka pendek mengorbankan keberlanjutan jangka panjang.
Mengapa Manfaat Hanya Diterima oleh Kelompok Tertentu
Manfaat reklamasi secara tidak proporsional dinikmati oleh elit dan investor, bukan masyarakat luas. Pengembang, perusahaan konstruksi, dan aktor politik yang memiliki kepentingan di pasar lahan mendapatkan keuntungan terbesar, karena lahan hasil reklamasi sering dialihkan untuk pembangunan properti mewah atau kawasan industri.
Ruang yang baru diciptakan jarang bisa diakses komunitas pesisir; sebaliknya, ruang tersebut diperdagangkan dan dijual dengan harga premium.
Sebagai contoh, Palm Jumeirah di Dubai melambangkan pariwisata mewah dan modal global, tetapi sedikit sekali kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan warga Emirat lokal atau pekerja migran yang membangunnya.
Demikian pula, reklamasi di Teluk Jakarta lebih banyak menguntungkan konglomerat real estate, sementara nelayan menghadapi penggusuran dan kehilangan mata pencaharian tradisional. Intinya, proyek reklamasi menggambarkan prinsip “akumulasi melalui perampasan,” di mana sumber daya bersama diprivatisasi demi keuntungan segelintir pihak.
Pembaca sekalian, reklamasi pesisir kerap dipuji karena memberikan peluang baru bagi pembangunan kota-kota besar.
Dengan menciptakan lahan tambahan, pemerintah dan pengembang bisa membangun perumahan, kawasan industri, pelabuhan, hingga pusat bisnis yang sebelumnya mustahil diwujudkan karena keterbatasan ruang di daratan.
Beberapa negara bahkan menjadikan reklamasi sebagai strategi utama untuk mengatasi kepadatan wilayah. Singapura, misalnya, mampu memperluas wilayah daratannya lebih dari 20 persen melalui reklamasi, yang kemudian menopang ekspansi sektor pelabuhan dan real estate.
Selain itu, reklamasi terkadang dikaitkan dengan perlindungan pesisir, seperti pembangunan tanggul atau sabuk pertahanan yang dianggap dapat membantu mengurangi risiko banjir rob dan kenaikan muka laut.
Di balik narasi keuntungan itu, reklamasi juga membawa dampak buruk yang serius bagi ekosistem pesisir.
Proses penimbunan laut hampir selalu mengorbankan hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang, yang semuanya berperan penting sebagai penyerap karbon sekaligus habitat biota laut.
Hilangnya ekosistem ini berarti pula berkurangnya fungsi perlindungan alami terhadap gelombang dan badai. Teluk Manila adalah salah satu contoh nyata, di mana proyek reklamasi menyebabkan hilangnya lahan basah penting, memperparah banjir, dan menekan keanekaragaman hayati laut.
Dengan demikian, meski menghadirkan ruang baru untuk manusia, reklamasi sering kali menghancurkan benteng alami yang seharusnya melindungi pesisir.
Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan juga tidak kalah besar. Nelayan kecil, yang selama berpuluh tahun menggantungkan hidupnya pada laut, sering kehilangan akses ke wilayah tangkap tradisional akibat perairan mereka diuruk atau diprivatisasi.
Rencana reklamasi di Untia, Makassar, menjadi contoh mutakhir di mana nelayan kecil selalu akan khawatir akan kehilangan sumber nafkah mereka. Mereka telah melihat fakta di kota yang sama, lahan baru hasil reklamasi tak diperuntukkan bagi warga pesisir, melainkan dialihkan menjadi kawasan bisnis, apartemen mewah, atau fasilitas industri yang sulit diakses masyarakat biasa.
Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial yang tajam, di mana segelintir pemilik modal meraup untung besar, sementara komunitas lokal justru tersisih dari ruang hidupnya sendiri.
Selain itu, reklamasi membawa kerugian jangka panjang yang sering kali tidak diperhitungkan dalam perencanaan awal. Tanah hasil reklamasi rentan mengalami penurunan muka (subsidence) sehingga memerlukan biaya pemeliharaan tinggi.
Jika dikombinasikan dengan ancaman kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim, biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung generasi mendatang akan semakin besar. Ketika pembangunan hanya dilihat sebagai simbol modernitas atau daya saing global, maka aspek keberlanjutan, keadilan sosial, dan keseimbangan ekologi kerap terabaikan.
Pada titik inilah reklamasi menjadi paradoks: ia dijadikan solusi jangka pendek untuk kebutuhan ruang, tetapi pada akhirnya berpotensi menciptakan masalah baru yang lebih kompleks dan sulit diselesaikan.
Foucault dan Pertanyaan tentang Pembangunan yang Tidak Adil
Kerangka pemikiran Michel Foucault, pemikir post-strukturalis asal Prancis membantu menjelaskan mengapa reklamasi dapat dianggap sebagai strategi pembangunan yang tidak adil.
Foucault menekankan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan ruang: proyek pembangunan bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dibentuk oleh rezim kekuasaan yang menentukan pengetahuan siapa yang dianggap sah dan kepentingan siapa yang diprioritaskan.
Dalam kasus reklamasi, pemerintah dan korporasi membingkai proyek sebagai hal ilmiah, teknis, dan tak terelakkan, sementara suara nelayan, pedagang kecil, atau kelompok adat pesisir kerap teralienasi dalam proses dan muaranya.
Dari perspektif ini, reklamasi merepresentasikan bentuk “biopolitik,” di mana negara mengendalikan populasi pesisir dengan mengatur ulang lingkungannya.
Komunitas pesisir menjadi periferal, bukan hanya secara geografis tetapi juga secara politik: cara hidup mereka dianggap kuno, hak penggunaan lahan mereka diabaikan, dan perjuangan mereka dibungkam atas nama modernisasi.
Foucault – atau followerss-nya disebut Foucauldian akan berargumen bahwa reklamasi merupakan contoh bagaimana pembangunan mendisiplinkan dan memarjinalkan, menciptakan ketidakadilan dan penghapusan entitas atau eksistensi komunitas tertentu di balik wajah kemajuan.
Mengapa Reklamasi Pesisir Semakin Meluas
Meski kontroversial, reklamasi terus berkembang di seluruh dunia. Beberapa faktor yang mendorong tren ini antara lain urbanisasi cepat dan pertumbuhan penduduk di kota-kota pesisir yang meningkatkan permintaan lahan baru, sementara kenaikan muka laut mendorong pemerintah berinvestasi pada pertahanan pantai rekayasa yang sering berupa reklamasi.
Selain itu, pasar real estate global mendorong reklamasi karena properti tepi laut memiliki nilai simbolik dan ekonomi yang tinggi.
Di Asia khususnya, reklamasi telah menjadi alat bagi negara untuk menunjukkan daya saing global—pulau-pulau buatan Tiongkok di Laut Cina Selatan, misalnya, menggabungkan strategi geopolitik dengan ambisi pembangunan.
Skala reklamasi yang semakin besar juga mencerminkan dinamika kapitalisme global. Kota-kota pesisir bersaing menarik investasi asing, wisatawan, dan tenaga kerja terampil, sementara penciptaan lahan dalam skala besar menjadi penanda ambisi yang kasat mata.
Proyek-proyek tersebut bukan hanya bersifat ekonomi, tetapi juga politis, melambangkan kapasitas negara untuk menaklukkan alam dan memperluas teritorial. Dalam hal ini, reklamasi sama pentingnya sebagai simbol citra dan kekuasaan, sebagaimana pentingnya sebagai lahan fisik.
Pembaca sekalian, kasus Untia di Makassar sejalan dengan pengalaman global yang lebih luas: reklamasi pesisir, meskipun kerap dirayakan sebagai lambang kemajuan, pada praktiknya sangat diperdebatkan.
Pengalaman global menunjukkan bahwa reklamasi cenderung mengutamakan kepentingan negara dan modal swasta dengan mengorbankan ekosistem serta komunitas marjinal. Manfaatnya terkonsentrasi di tangan pengembang dan elit, sementara nelayan dan masyarakat periferal menanggung biaya berupa penggusuran dan kerusakan lingkungan.
Dalam lensa Foucauldian, reklamasi adalah bentuk pembangunan yang kerap tidak adil, yang mendisiplinkan dan memarjinalkan komunitas pesisir sambil menampilkan diri sebagai kemajuan yang tak terelakkan.
Ekspansinya mencerminkan tekanan urbanisasi, perubahan iklim, dan kompetisi global, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendesak tentang keadilan, keberlanjutan, dan hak atas ruang pesisir serta bagaimana mekanisme pembangunan yang ada memberi ruang untuk siapapun bicara. Negosiasi pasti ada dan selalu ada jalan tengah.
Jika kita ingin belajar dari masa lalu, pelajarannya jelas: reklamasi harus dipikirkan dengan matang atau dibcarakan ulang dengan melibatkan semesta kepentingan atau aktor, sebab dia bukan hanya sebagai pencapaian teknis, tetapi juga sebagai tindakan politik yang mendalam dengan konsekuensi sosial dan ekologis yang buruk, yang lebih luas bisa dihindari.
Jika negosiasi dengan masyarakat pesisir atau pulau bukan hal mudah, maka di situlah alasan mengapa kita memilih pemimpin yang membawa solusi, bukan berlindung di balik dominasi kuasa dan hanya menunggu jatah sepetak dua petak lahan reklamasi. Pemimpin harus berani bersitatap dengan warganya.
___
Penulis Kamaruddin Azis, founder Pelakita.ID
