Pupusnya Rumah Cahaya | Setelah ‘Nguping’ Curhatan Qasim Mathar

  • Whatsapp
Ilustrasi by Pelakita.ID

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas Prof Amran Razak membagikan kesan dan penggeledahannya setelah pada dialog Forum Dosen  Sulawesi Selatan  berlangsung di Tribun Timur Makassar,  3 September 2025, dia ‘nguping’ curhatan Kanda Qasim Mathar yang bilang betapa sepinya rumah pencerahan.

Cuplikan tulisan oleh Prof Amran ini, sekadar memperkaya wacana pupusnya rumah pencerahan. [Searah pupusnya kaderisasi Partai Politik]. Mari simak. 

PELAKITA.ID – Kampus, dulunya dikenal sebagai cahaya rumah pencerahan, kini pudar kehilangan jiwanya. Dulu, kalo kita melintas di depan kampus Salemba-UI, terpampang  tulisan “Kampus Perjuangan” (Orde Baru).

Begitupula di Kampus Trisakti terpajang “Kampus Perjuangan” (Reformasi).

Di kampuslah dahulu mahasiswa hadir tak hanya untuk menimba ilmu, tetapi juga menyalakan api keberanian. Mereka datang dari lorong-lorong kota yang sempit dan pengap, dari rumah kost kecil di sisi kampus, dari keluarga papa di pelosok desa.

Mereka tak sekedar belajar demi diri sendiri, tetapi juga demi kaum tertindas yang wajahnya mereka kenal sejak kecil. Namun kini rumah itu semakin asing, sepi dan redup.

Biaya pendidikan yang meroket, pembangunan fisik yang rakus lahan, serta orientasi kampus yang makin kapitalistik telah menyingkirkan suara-suara jernih dari mahasiswa pemberani. Suara yang dulu bergemuruh kini menjadi bisikan yang nyaris tak terdengar.

Ironinya, mereka yang lahir dan tumbuh dari rahim pencerahan justru kerap dianggap “norak” — kampungan. Ketika menggagas kepedulian untuk kaum tertindas, mereka justru ditertawakan. IPK dan jurnal scopus-nya digeledah.

Keberaniannya dianggap berlebihan, sikap kritisnya disebut tidak realistis. Semua itu terjadi karena kampus kini cenderung dikuasai oleh wajah-wajah arogan — para ‘elit akademik’ yang kembali dari perguruan tinggi kapitalis luar negeri, membawa pulang bukan kerendahan hati, melainkan bahasa kuasa yang dingin dan terasing dari denyut kaum papa.

Paulo Freire pernah mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah “praktik kebebasan”, bukan sekadar pengisian bejana kosong dengan pengetahuan yang terputus dari realitas sosial¹.

Maka ketika kepedulian mahasiswa kepada kaum papa dianggap norak, sesungguhnya kampus sedang mengkhianati jiwanya sendiri.

Namun rumah pencerahan secara historis tak sepenuhnya padam. Ia tidak hanya bernaung di ruang-ruang kuliah, tapi juga hidup di luar kampus. Organisasi ekstra universiter menjadi rumah alternatif, sebuah kawah dialektika yang menjaga bara ketika api di dalam kampus nyaris padam.

Di sekretariat yang sempit, di white board kusam yang penuh coretan, di suasana diskusi panjang yang berujung debat keras, mahasiswa belajar menjadi kader — bukan mahasiswa biasa. HMI, GMNI, PMII, GMKI, IMM, PMKRI, LMND, dan banyak lainnya menjadi tempat di mana teori bertemu praksis, dan idealisme menemui ujian sejarah. Kini bergeser di ruang bebas : Warkop non AC atau Kafe sejuk sedikit ‘romantis’.

Frantz Fanon menulis bahwa suara kaum tertindas adalah kekuatan revolusioner yang sejati². Organisasi ekstra universiter menjaga suara itu tetap hidup, menghubungkan mahasiswa dengan denyut kaum papa : petani yang lahannya terampas, buruh yang digilas mesin industri, nelayan yang tercekik kapal besar, dan kelompok miskin kota yang tergusur ke pinggiran.

Di sinilah kita melihat paradoks yang menyakitkan. Mahasiswa dulu banyak berasal dari keluarga sederhana: anak petani yang terbiasa ikut ke sawah, anak nelayan yang tahu asin garam laut, atau anak buruh yang menyaksikan ayah ibunya diperas keringat pabrik serta anak PNS rendahan.

Mereka merasakan kepedihan itu sejak kecil. Maka ketika mereka turun ke jalan, mengibarkan spanduk, dan berteriak menolak ketidakadilan, suara itu lahir dari luka yang nyata, bukan sekadar retorika.

Berbeda dengan mahasiswa kini, terutama yang lahir dari kelas menengah-atas. Mereka datang ke kampus dengan mobil pribadi, laptop mahal, dan gaya hidup hedonistik. Hidup mereka lebih dekat pada kafe, gadget, dan lomba invoice berlabel internasional daripada pada penderitaan petani atau nelayan.

Inilah paradoks yang merobek wajah rumah pencerahan : ketika mahasiswa dulu merasa bersenyawa dengan rakyat, mahasiswa kini cenderung asing dari derita rakyat. Solidaritas berganti menjadi prestise, perlawanan berganti menjadi kompetisi akademik, dan kepedulian sosial diganti dengan memburu start-up sejak semeter III.

***

Sejarah Indonesia mencatat, organisasi ekstra universiter kerap menjadi garda depan dalam menjaga api pencerahan.

Pada masa Orde Baru, ketika ruang demokrasi di kampus dikekang, organisasi ekstra menjadi benteng terakhir mahasiswa untuk tetap bersuara.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) misalnya, melahirkan banyak intelektual muslim kritis yang berhadapan langsung dengan kekuasaan otoriter. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tetap konsisten membawa suara nasionalisme kerakyatan di tengah tekanan politik. Sementara Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), hingga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengasah kadernya dengan keberanian moral untuk tidak tunduk.

Ketika reformasi 1998 meletus, simpul organisasi ekstra inilah yang menjadi salah satu motor pengerahan massa mahasiswa.

Mereka menyatukan suara lintas ideologi, menurunkan sekat politik, dan bersama-sama mendesak tumbangnya rezim otoriter. Tenda-tenda mahasiswa di depan gedung DPR bukan hanya simbol perlawanan, melainkan rumah pencerahan yang hidup—di mana diskusi, solidaritas, dan strategi perlawanan lahir setiap hari.

 

***

 

Soe Hok Gie menulis dalam catatan hariannya : “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”³ Kalimat ini kini terasa menggema lebih keras, ketika banyak mahasiswa memilih diam, ketika keberanian dianggap sebagai kesia-siaan, dan ketika organisasi ekstra dianggap sekadar romantisme masa lalu.

Sejarah menuliskan, rumah pencerahan hanya akan hidup bila berpihak. Pertanyaannya kini sederhana namun menentukan: kepada siapa rumah pencerahan ini dipersembahkan?

Apakah untuk segelintir elit yang sibuk menumpuk prestise, gelar, dan citra? Ataukah untuk mereka yang sejak awal menjadi denyut kampus dan organisasi ekstra—anak-anak lorong kota, anank-anak pelosok desa yang datang dengan hati jernih dan tekad lurus demi sebuah kehidupan yang lebih adil?

Jika rumah pencerahan gagal menjawab pertanyaan itu, ia hanya akan menjadi monumen bisu dalam sejarah—tinggal nama, tinggal kenangan, tinggal cerita.

Manakala keberanian lahir kembali, bila api itu dibiarkan tumbuh, maka kampus dan organisasi ekstra akan kembali bersinar. Ia akan menjadi cahaya, bukan etalase; rumah keberanian, bukan menara dingin; rahim sejarah, bukan sekadar ruang kuliah.

 

***

 

Meski paradoks itu nyata, bukan berarti mahasiswa kini tak punya peluang untuk menghidupkan kembali rumah pencerahan. Hanya style dan jalannya yang berbeda.

Di era digital, keberanian bisa lahir lewat aktivisme daring (digital activism). Media sosial yang sering dipakai untuk narsisme dapat diubah menjadi alat advokasi, ruang penyebaran kesadaran kritis, dan wadah solidaritas lintas kampus serta lintas daerah.

Gerakan mahasiswa kini dapat menjangkau lebih luas, menyuarakan isu lingkungan, kesehatan, pendidikan, atau hak-hak buruh dengan kekuatan viralitas yang tak terbayangkan pada era sebelumnya.

Lebih dari itu, mahasiswa kini bisa menjembatani paradoks dengan turun kembali ke rakyat—bukan sekadar dalam bentuk proyek singkat, tetapi dengan membangun kolaborasi jangka panjang bersama komunitas: mendampingi petani, mengajar anak-anak nelayan, membantu advokasi buruh, atau mengorganisir warga miskin kota.

Dengan cara ini, mahasiswa tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pembawa empati. Mereka tidak lagi hanya elit akademik, tetapi kembali menyatu dengan denyut rakyat.

Jika jalan ini ditempuh, maka rumah pencerahan akan menemukan wajah barunya: bukan hanya ruang diskusi atau sekretariat organisasi, tetapi juga jejaring digital, komunitas rakyat, dan solidaritas lintas batas.

Rumah pencerahan tak sekadar sekadar berdiri di antara gedung-gedung kuliah menjulang congkak, gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) atau sekret organisasi ekstra. Ia sejatinya hidup dalam hati dan keberanian setiap mahasiswa yang berani berkata: “Aku Peduli; Aku berpihak.”

Kini, pilihan ada di tangan mahasiswa. Apakah mereka akan terus berdiam diri dalam kenyamanan kelas menengah, sibuk mengejar indeks prestasi, lomba internasional, dan magang di perusahaan multinasional? Ataukah mereka akan berani menembus sekat, menyapa kembali penderitaan rakyat yang membesarkan negeri ini?

 

***

 

Manifestasi moral dari rumah pencerahan sederhana namun keras: “ jangan pernah netral di hadapan ketidakadilan.” Netralitas di hadapan penindasan hanya akan menjadikan mahasiswa ‘boneka’ sistem yang menindas.

Sejarah selalu berpihak kepada mereka yang berani melawan arus, meski dicemooh sebagai norak, meski diabaikan oleh elit kampus, meski ditindas oleh kekuasaan.

Rumah pencerahan tidak menuntut semua mahasiswa menjadi pahlawan, tetapi ia menuntut satu hal: keberanian untuk peduli. Dari kepedulian itulah lahir solidaritas, dari solidaritas lahir keberanian, dan dari keberanian lahir perubahan. Banyak aktivis kampus menyebutnya sebagai “ibadah”.

Maka biarlah suara yang hampir tak terdengar itu kembali menggema. Biarlah anak-anak dari lorong-lorong kota, dari desa-desa miskin, dari keluarga nelayan dan buruh, tak lagi merasa asing di kampusnya sendiri. Dan biarlah mahasiswa kini, meski hidup di era digital, tetap memilih bersama mereka.

Kalo tidak, rumah pencerahan akan tergulung di lembar sejarah. Kalo ya, maka rumah itu akan terus hidup—bukan sebagai bangunan, melainkan sebagai cahaya, sebagai keberanian, sebagai api yang tak pernah padam, sebagai “ibadah”.

Semua akan indah pada waktunya.

Tulisan dapat juga dibaca di sini.