- Laporan terbaru WWF (2023) memperkirakan jumlah alat tangkap yang hilang mencapai 500 ribu hingga 1 juta ton per tahun, dengan komposisi sekitar 5,7% jaring, 8,6% perangkap/bubu, dan 29% tali pancing.
- Negara pun tampak gagap. Regulasi perikanan lebih banyak berbicara soal kuota tangkapan, zona larangan, dan izin kapal, tetapi nyaris tak menyentuh persoalan alat tangkap yang menjadi sampah mematikan.
PELAKITA.ID – Ketika kita membayangkan laut, yang muncul biasanya adalah kebebasan, gelombang biru, dan sumber kehidupan yang seolah tiada habisnya. Namun, di balik romantisme itu, tersembunyi ancaman senyap: ghost fishing atau perikanan hantu.
Bukan hantu dalam arti makhluk gaib, melainkan jeratan alat tangkap yang hilang, tercecer, atau ditinggalkan nelayan—tetapi tetap bekerja, tetap membunuh, dan tetap merampas kehidupan. Inilah silent killers di laut, momok yang jarang dibicarakan, namun dampaknya nyata dan merusak.
Fakta yang Terabaikan
Organisasi PBB (FAO dan UNEP, 2009) mencatat sekitar 640 ribu ton alat tangkap hilang ke laut setiap tahun. Jaring insang, perangkap ikan, bubu, hingga longline yang tercecer berubah menjadi mesin kematian tak terkendali. Fenomena ini dikenal sebagai ALDFG (Abandoned, Lost, Discarded Fishing Gears) dan diperkirakan menyumbang sekitar 10% dari total sampah laut dunia.
Laporan terbaru WWF (2023) memperkirakan jumlah alat tangkap yang hilang mencapai 500 ribu hingga 1 juta ton per tahun, dengan komposisi sekitar 5,7% jaring, 8,6% perangkap/bubu, dan 29% tali pancing.
Dampak ekologisnya terus meningkat: sejak 1997 jumlah spesies laut yang terdampak ghost gear melonjak dari 267 menjadi 557, termasuk penyu, paus, hiu, dan burung laut.
Jaring menjadi kontributor terbesar, karena biota yang terjebak sulit melepaskan diri. Jika masih mengapung, jaring-jaring itu terus menjebak makhluk laut dan berpotensi mengganggu keselamatan kapal. Jika tenggelam, alat tangkap ini merusak terumbu karang dan habitat ribuan spesies.
Di Laut Baltik, sebuah studi (2018) menemukan bahwa 20% tangkapan cod justru berasal dari jaring hantu. Di Indonesia, WWF melaporkan ratusan penyu mati terjerat setiap tahun, terutama di Laut Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Lumba-lumba, hiu, bahkan dugong ikut menjadi korban. Ironisnya, nelayan kecil—yang jumlahnya mencapai 2,01 juta jiwa di Indonesia—ikut menderita karena stok ikan menyusut akibat perangkap hantu yang tak kasat mata.
Melalui proyek SeaNet Indonesia, komunitas lokal berhasil mengumpulkan 18 ton jaring terlantar hanya dalam 18 bulan di kawasan timur Indonesia, yang kemudian didaur ulang menjadi ubin karpet. Namun jumlah itu hanya setetes di lautan jika dibandingkan dengan skala persoalan sebenarnya.
Kekerasan Ekologis yang Tak Terlihat
Ghost fishing adalah bentuk kekerasan ekologis paling senyap. Tidak ada pelaku tunggal yang bisa dituduh, tetapi ada sistem yang membiarkannya terjadi: perikanan ekstraktif yang mengejar produksi, namun lupa mengatur siklus hidup alat tangkap. Kita terjebak dalam logika ekonomi “gunakan lalu buang,” tanpa menghitung bahwa yang kita buang akan kembali menghantui.
Negara pun tampak gagap. Regulasi perikanan lebih banyak berbicara soal kuota tangkapan, zona larangan, dan izin kapal, tetapi nyaris tak menyentuh persoalan alat tangkap yang menjadi sampah mematikan.
Padahal, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 sudah mengatur jalur, penempatan penangkapan, dan pembatasan jenis alat tangkap agar tidak merusak ekosistem.
Sayangnya, aturan ini masih berhenti pada kerangka normatif: ia mengatur penggunaan, tetapi tidak menjawab bagaimana jika alat itu hilang, tercecer, atau sengaja dibuang.
Negara-negara lain sudah lebih maju. Gear tagging dan sistem pelacakan alat tangkap mulai diterapkan, sebagaimana direkomendasikan FAO (2023). Di Asia Tenggara, UNEP-COBSEA baru saja meluncurkan Ghost Gear Toolbox (2023), panduan interaktif bagi pemerintah, nelayan, dan komunitas untuk menangani masalah ini secara sistematis.
Laut kita, sayangnya, masih bagaikan ruang publik tanpa pengawasan, di mana hantu-hantu plastik dan nilon terus mengintai tanpa pernah diadili.
Jalan Keluar: Dari Regulasi hingga Local Champion
Jika ghost fishing adalah silent killers, maka solusinya harus lantang:
-
Regulasi dan Penegakan. Pemerintah perlu memasukkan pengelolaan ghost gear ke dalam kebijakan perikanan nasional. Gear marking system wajib diterapkan: setiap jaring dan perangkap diberi identitas sehingga bisa ditelusuri bila hilang atau dibuang.
-
Ekonomi Sirkular. Nelayan tidak boleh menanggung beban sendirian. Dibutuhkan buy-back program agar jaring rusak bisa ditukar dengan insentif. Program daur ulang—misalnya mengubah jaring bekas menjadi tas, karpet, atau produk kreatif—sudah terbukti berhasil di Bali dan Sulawesi, dan tinggal diperluas secara nasional.
-
Pemberdayaan Local Champion. Nelayan harus dilibatkan dalam operasi pembersihan jaring hantu. Skema “nelayan penyelamat laut” dapat memberi pendapatan tambahan melalui aktivitas gear retrieval. Dengan begitu, nelayan tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga penjaga laut.
-
Inovasi Teknologi. Saatnya beralih ke jaring biodegradable yang cepat terurai jika hilang. Pada kapal skala besar, pemasangan tracking device pada alat tangkap bisa mencegah hilangnya gear dalam jumlah masif.
Pembaca sekalian, ghost fishing adalah pembunuh senyap yang tak mengenal batas negara, agama, atau kelas sosial. Ia menjerat paus di samudra dalam, penyu di pesisir tropis, hingga ikan-ikan kecil yang menjadi sumber pangan rakyat. Di Indonesia, ia menjerat nelayan kecil dalam lingkaran penderitaan struktural.
Pertanyaannya sederhana namun mendesak: sampai kapan kita membiarkan laut dihantui oleh jaring-jaring kematian ini?