Refleksi Kritis atas Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu dan Berkeadilan, merupakan hasil karya tulisan Prof. Andi Adri Arief, S.Pi., M.Si — Sosiolog Perikanan Universitas Hasanuddin
PELAKITA.ID – Wilayah pesisir Indonesia menyimpan potensi ekonomi dan ekologis yang luar biasa. Dari sumber daya hayati seperti ikan, rumput laut, dan mangrove, hingga peluang wisata bahari dan industri maritim, kawasan pesisir menjadi tumpuan hidup jutaan orang.
Di sisi lain, di tengah harapan akan kesejahteraan, wilayah ini juga menjadi titik rawan kerusakan lingkungan, konflik kepentingan, dan ketimpangan pengelolaan.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) sebagai konsep lama yang perlu direvitalisasi untuk kembali menjadi pendekatan yang kian mendesak untuk diterapkan.
Bukan hanya untuk menyelaraskan berbagai kepentingan, tetapi juga untuk mencegah kerusakan ekologis dan mendorong kolaborasi antarpemangku kepentingan—mulai dari pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, akademisi, hingga masyarakat lokal.
Mengapa Perlu Pengelolaan Terpadu?
Persoalan di wilayah pesisir tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral. Tekanan terhadap ekosistem pesisir kian meningkat: penurunan daya dukung lingkungan, abrasi, pencemaran laut, dan konversi lahan pesisir menjadi kawasan industri atau pariwisata menjadi tantangan nyata.
Di sisi lain, muncul pula berbagai peluang ekonomi baru seperti ekowisata, energi laut, dan industri berbasis sumber daya kelautan.Namun demikian, siapa yang memulai dan mengendalikan proses pengelolaan menjadi faktor kunci.
Biasanya pemerintah—melalui kementerian teknis—memegang peran inisiasi karena memiliki akses terhadap pendanaan dan struktur birokrasi. Namun, inisiasi ini tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan pemetaan kondisi eksisting, keterlibatan masyarakat, dan penyusunan perencanaan berbasis data yang transparan.

Krisis Pesisir dan Ancaman Ekologis yang Kian Nyata
Tekanan pembangunan terhadap kawasan pesisir tidak hanya mengganggu fungsi ekologisnya, tetapi juga memunculkan ketimpangan sosial baru. Data dan kajian menunjukkan berbagai kerusakan serius:
Hutan mangrove, yang berfungsi sebagai pelindung alami pantai dan habitat ikan, telah berkurang lebih dari 40% dalam tiga dekade terakhir akibat konversi tambak, reklamasi, dan pembangunan infrastruktur pesisir. Di Teluk Jakarta, mangrove hanya tersisa kurang dari 5% dari luasan historisnya.
Terumbu karang, sebagai tempat hidup biota laut, mengalami degradasi tajam. LIPI mencatat hanya 7% dalam kondisi sangat baik, sementara lebih dari 30% dalam kondisi rusak berat, akibat penangkapan ikan destruktif dan sedimentasi dari darat.
Abrasi pantai mengancam ratusan desa pesisir. Di pesisir utara Jawa, abrasi mencapai 80–100 meter per tahun, bahkan telah menenggelamkan sejumlah kampung nelayan di Demak dan Subang.
Pencemaran laut akibat limbah domestik, industri, dan sampah plastik mencapai titik krisis. Indonesia menjadi penyumbang 8 juta ton sampah plastik ke laut per tahun, kedua terbesar di dunia. Mikroplastik telah ditemukan dalam tubuh ikan konsumsi dan bahkan garam dapur.
Daya rusak hilirisasi nikel di Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, semakin mengkhawatirkan.
Selain memicu konflik sosial, deforestasi, mencemari laut dan sungai, aktivitas industri ekstraktif itu juga terbukti meninggalkan jejak racun logam berat dalam tubuh manusia dan ikan.

Terkait kadar merkuri dan arsenik yang telah ditemukan dalam tubuh manusia, artinya akumulasi pencemaran logam berat ke rantai makanan laut sudah terjadi
Kemudian, konflik ruang dan pemiskinan nelayan makin tajam. Nelayan kecil dan perempuan pesisir makin terdesak oleh proyek-proyek reklamasi, kawasan industri, dan privatisasi pesisir.
Tanpa perlindungan dan partisipasi yang memadai, kelompok ini semakin terpinggirkan dalam struktur ekonomi maritim.
Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Salah satu prasyarat utama pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah koordinasi antarlembaga. Kementerian, pemerintah daerah, dan institusi riset mesti duduk bersama untuk menyusun satu visi.
Koordinasi ini tidak cukup hanya dalam bentuk formalitas, tetapi harus menyentuh substansi: pembagian peran yang adil, integrasi data spasial, sinergi program, dan pencegahan ego sektoral yang kerap menjadi penghambat utama.
Langkah-langkah seperti pembentukan komisi koordinasi lintas sektor, promosi kolaborasi antarinstansi, dan pelaksanaan monitoring berkelanjutan menjadi bagian dari sistem tata kelola yang dibutuhkan.
Di sinilah pentingnya memiliki basis data yang akurat dan terbuka—mengenai status ekosistem, karakter sosial-ekonomi masyarakat, hingga potensi dan risiko wilayah pesisir.Pemerintah Daerah dan Komunitas Lokal:
Kunci Keberhasilan
Pemerintah daerah memegang posisi vital. Mereka adalah aktor yang paling dekat dengan masyarakat pesisir dan paling paham terhadap realitas lokal.
Sayangnya, banyak pemerintah daerah belum memiliki kapasitas teknis maupun kelembagaan untuk mengelola wilayah pesisir secara menyeluruh dan adaptif.Namun, kunci lainnya adalah partisipasi masyarakat.
Mereka bukan sekadar penerima manfaat, melainkan subjek yang memiliki pengalaman, pengetahuan lokal (local wisdom), dan motivasi untuk menjaga wilayahnya.
Inisiatif akar rumput seperti restorasi mangrove oleh masyarakat, pengelolaan kawasan konservasi berbasis komunitas, dan koperasi nelayan bisa menjadi tulang punggung model co-management yang adil dan berkelanjutan.
Dari Perencanaan Menuju Implementasi Nyata
Secara umum, pengelolaan wilayah pesisir terpadu memerlukan tahapan sebagai berikut:1. 2. 3. 4. Inisiasi – Penggalangan komitmen dari para pihak, pembentukan tim koordinasi, dan penyusunan konsep dasar.
Perencanaan – Pemetaan kondisi biofisik dan sosial, analisis masalah dan potensi, serta formulasi strategi bersama.
Adopsi Program – Legalitas kebijakan, alokasi anggaran, dan penetapan indikator keberhasilan.Implementasi dan Evaluasi – Pelaksanaan kegiatan, pemantauan, pelibatan masyarakat, dan revisi berkelanjutan.Semua tahap ini harus didukung dengan penguatan kapasitas lokal, transparansi informasi, dukungan politik, dan skema pendanaan jangka panjang—termasuk memanfaatkan peluang pendanaan konservasi,
CSR perusahaan, dan program adaptasi perubahan iklim.
Merawat Harapan dari Garis Depan Republik
Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu bukan sekadar pendekatan teknis, tetapi strategi politik-ekologis untuk menjembatani kepentingan negara, pasar, dan masyarakat.
Jika dilaksanakan dengan konsisten dan partisipatif, ia bukan hanya akan melindungi ekosistem pesisir yang rapuh, tetapi juga menciptakan model pembangunan maritim yang adil, lestari, dan bermartabat. Namun, perlu diingat: kerusakan pesisir bukan hanya kegagalan teknis, melainkan krisis tata kelola.
Dan perbaikannya bukan semata soal regulasi, tapi tentang keberanian untuk mengubah cara pandang—dari eksploitatif menuju regeneratif, dari eksklusif menuju inklusif.
Sudah saatnya kita tidak hanya mengelola wilayah pesisir, tapi juga merawatnya dengan keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Karena dari sanalah kehidupan dimulai—dan kepada laut pula, masa depan kita.