Rizkan Fauzie, alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin yang aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban menuliskan Syuhudil Kasrah fil Wahdah: Memandang Seisi Alam dalam Kesatuan Ilahiah, Sebuah Teologi dalam Bunga Rampai Islam.
Mari simak.
PELAKITA.ID – Di tengah kompleksitas dunia modern yang dipenuhi perpecahan—identitas, agama, politik, bahkan ekologi—Islam menawarkan sebuah pandangan yang menyatukan sekaligus menyadarkan: Syuhudil Kasrah fil Wahdah, atau “Menyaksikan Keragaman dalam Kesatuan.”
Ini bukan sekadar istilah sufistik yang melangit, tetapi sebuah lensa teologis dan ontologis untuk memandang semesta sebagai manifestasi dari satu realitas ilahiah yang tunggal: Allah SWT.
Berangkat dari prinsip tauhid, bahwa “Lā ilāha illā Allāh”—tidak ada Tuhan selain Allah—maka seluruh realitas sejatinya adalah penampakan (tajalli) dari satu Wujud, bukan entitas yang berdiri sendiri-sendiri.
Dalam bunga rampai pemikiran Islam, terutama dalam filsafat dan tasawuf, prinsip ini berkembang menjadi dasar dari teologi kosmik yang mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, oleh Allah, dan akan kembali kepada Allah.
Namun mengapa penting menekankan “kasrah” (keragaman) dalam “wahdah” (kesatuan)—dan bukan sebaliknya?
Karena tantangan kita hari ini bukanlah semata-mata meyakini Tuhan yang Esa, tetapi membaca keesaan-Nya dalam keragaman ciptaan-Nya.
Kita sering kali terjebak dalam dikotomi yang membelah dunia: antara manusia dan alam, antara Islam dan yang lain, antara akal dan wahyu. Padahal, semua adalah cermin dari kehendak Ilahi. Jika dilihat dengan mata batin, tidak ada satu pun yang keluar dari orbit keesaan-Nya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu ‘Arabi: “Al-wujūd wāḥid”—wujud itu satu. Keragaman hanyalah bentuk luar, bukan esensi. Daun, batu, cahaya, manusia, binatang—semua adalah ayat-ayat (tanda-tanda) kebesaran Allah yang hadir dalam wujud yang beragam.
Maka menyakiti alam, merendahkan sesama, atau merusak harmoni kosmos, pada hakikatnya adalah bentuk kezaliman terhadap ciptaan sekaligus terhadap Sang Pencipta.
Teologi Syuhudil Kasrah fil Wahdah bukanlah pelarian dari dunia, melainkan keterlibatan yang utuh dan spiritual di dalamnya.
Ia mengajarkan etika ketuhanan: bahwa setiap tindakan terhadap makhluk—dari yang paling kecil hingga yang paling agung—adalah cerminan dari bagaimana kita memandang Tuhan. Jika kita melihat yang lain sebagai bagian dari pancaran-Nya, maka mustahil kita berlaku aniaya.
Dalam dunia modern yang terfragmentasi oleh sekat-sekat sosial, ideologis, dan ekologis, teologi ini menghadirkan jalan tengah. Ia tidak mengingkari perbedaan, melainkan memaknai perbedaan itu sebagai harmoni dalam orkestra penciptaan.
Seperti simfoni yang indah karena keragaman nadanya, semesta ini menjadi utuh karena setiap unsur menyuarakan satu lagu: pujian kepada Allah.
Teologi ini juga menjadi basis etik lingkungan hidup. Kerusakan ekologis lahir dari paradigma dualistik: manusia vs alam. Padahal, dalam teologi tauhid, manusia adalah khalifah, bukan penguasa absolut.
Ia dipanggil untuk merawat, bukan menghabisi. Di balik setiap pohon, setiap ombak, dan setiap hembusan angin, terdapat ayat-ayat Allah yang wajib dihormati.
Syuhudil kasrah fil wahdah mengajak kita untuk tidak hanya beriman secara vertikal, tetapi juga horizontal—melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan memperlakukan segala sesuatu dengan cinta serta tanggung jawab spiritual.
Di zaman ketika perbedaan sering kali menjadi bahan bakar konflik, dan alam menjadi korban kerakusan, teologi ini hadir sebagai pengingat yang lembut namun kuat:
Bahwa semua yang kita lihat, dengar, sentuh, dan alami, adalah pancaran dari satu Wujud Yang Maha Esa. Kita tidak hidup dalam dunia yang terpisah dari Tuhan, melainkan justru berada dalam kesatuan yang penuh rahmat, dalam naungan kasih-Nya sebagai Rahmatan lil ‘Ālamīn—yang menunggu untuk disadari dan dihidupi.
Tentang Penulis:
Rizkan Fauzie adalah alumni Program Studi Mekanisasi Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kajian keislaman, etika sosial, dan budaya religius di masyarakat rural maupun urban.