Merangkai Kembali Disharmoni Relasi Tuhan, Alam, dan Manusia

  • Whatsapp
Penulis, Muliadi Saleh (dok: Istimewa)

Merangkai Kembali Disharmoni Relasi Tuhan, Alam, dan Manusia
Oleh Muliadi Saleh — Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Slogan: “Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”

PELAKITA.ID – Mungkin kita telah terlalu lama melupakan harmoni suci ini: Tuhan, Alam, dan Manusia—tiga poros kehidupan yang semestinya saling bersinergi dalam cinta dan kesadaran.

Zaman yang serba cepat dan kerakusan yang merajalela membuat kita kehilangan simpul utama dari kehidupan ini: keseimbangan.

Sedari awal penciptaan, Tuhan tidak hanya menciptakan manusia untuk hidup, tetapi untuk menjaga kehidupan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…”
(QS. Al-A’raf: 56)

Ayat ini adalah suara langit yang mengingatkan kita bahwa merawat alam adalah bentuk ibadah; sedangkan merusaknya adalah pengkhianatan terhadap amanah suci.

Tuhan yang Tak Pernah Jauh

Banyak yang merasa Tuhan begitu jauh, padahal Ia dekat. Teramat dekat.
Dalam hembus angin pagi, dalam tarikan napas pertama saat kita terbangun,
dalam bulir nasi yang kita kunyah—di sanalah Tuhan hadir dan berbicara dalam diam.

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
(QS. Qaf: 16)

Manusia menyembah-Nya dalam masjid, tetapi lupa menyapa-Nya di rimba yang merintih.
Membaca ayat-ayat-Nya yang tertulis, namun mengabaikan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta.
Manusia sibuk mengejar dunia penuh peluh, hingga tak sempat mendengar semesta yang mengeluh.

Alam yang Terluka, Tak Pernah Membenci

Alam adalah wujud kasih Tuhan yang paling nyata. Ia memberi tanpa pamrih:
matahari yang setia menerangi,
bumi yang sabar menumbuhkan,
udara yang lembut kita hirup,
dan laut yang tak pernah berhenti mengalirkan keberkahan.

Namun hari ini, laut keruh oleh sampah keserakahan.
Gunung kehilangan rindangnya. Langit penuh jelaga.
Sungai menangis dalam diam, karena manusia tak lagi tahu cara bersyukur.

Manusia terlalu sering menjadi tamu yang tak tahu diri di rumah bumi ini.

Dulu, para leluhur kita hidup dalam dialog abadi dengan alam.
Di banyak budaya lokal, kita menemukan filosofi bahwa tanah, hutan, dan laut bukanlah benda mati,
melainkan saudara yang harus dihormati.

Dalam tradisi pesantren pun diajarkan:
“Al-bi’ah minhā al-īmān” — menjaga lingkungan adalah bagian dari iman.

Manusia: Mahkota Ciptaan yang Kehilangan Makna

Manusia dihadirkan sebagai khalifah—pemimpin, pengelola sumber daya di muka bumi.
Namun dalam praktiknya, justru manusialah yang menjadi penyebab luka paling dalam.

Merambah hutan demi tambang, mencemari laut demi untung,
merusak udara demi kenyamanan sesaat.

Ketika manusia kehilangan hubungan dengan Tuhan dan alam,
ia juga kehilangan jati dirinya. Ia menjadi mesin, bukan insan.

“Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit…”
(QS. Thaha: 124)

Lihatlah: stres meningkat, penyakit jiwa merajalela, iklim tak menentu,
dan bencana datang tak diundang.
Mungkin bukan karena murka Tuhan,
tetapi karena alam tak lagi kuat menanggung beban dosa kita.

Re-Orkestrasi Simfoni Kehidupan

Belum terlambat. Kita masih bisa kembali.
Masih bisa memeluk alam yang dengan sabar menunggu.
Masih bisa menunduk di hadapan Tuhan yang Maha Penyayang.

Mulailah dari hal-hal sederhana:
menanam pohon, memilah sampah, menggunakan energi secara bijak,
mengurangi rakus dan tamak.
Dan yang paling utama: menyadari bahwa hidup ini bukan soal memiliki,
tetapi soal menjaga.
Memaknai rasa syukur lebih dalam.

Mari jadikan dzikir bukan hanya di bibir, tapi dalam tindakan.
Mari tempatkan syukur sebagai perilaku, bukan hanya doa dan ucapan.
Karena sesungguhnya, keharmonisan antara Tuhan, alam, dan manusia adalah syarat dasar keberlangsungan hidup.

Ketika langit memerah dan burung-burung pulang ke sarangnya di ujung senja,
semesta selalu berbisik:

“Kembalilah… sebelum semuanya benar-benar terlambat.”