PELAKITA.ID – Redaksi menerima untaian kata yang mewujud dalam satu diksi ‘surat’. Menarik membacanya. Yang mengirim aktivis lingkungan dan juga pemerhati literasi publik, Sakkir di Bulukumba. Kita sebut saja Surat dari Bulukumba untuk disiarkan Pelakita.ID
Sahabat sekalian, waktu bergerak cepat, meninggalkan jejak perjumpaan dan tawa dalam upaya menyemai gerakan membaca.
Kami membawa literasi ke tengah riuhnya kata dan tanda baca, menitipkan secuil harapan yang lebih baik bagi desa yang nyaris tenggelam dalam pusara ketidakpedulian.
Kami mencoba membuka kembali kompas waktu yang lama terkubur, mencari jalan keluar dari anggapan keliru bahwa sekolah tidak penting.
Bulan Mei menjadi simbol keberadaan kami. Sementara itu, Juni hadir sebagai penanda kepergian kami—dengan cara paling sederhana: pamit untuk rehat.
Kami percaya bahwa desa telah memberi warna dan rupa yang kaya, mempertemukan kami dengan beragam fenomena dalam bingkai nemonologi sosial dan kemanusiaan.
Dari satu perjumpaan ke perjumpaan lain, kami menemukan makna dan semangat yang menjadi dasar lahirnya program Selasaruang.
Melalui gerakan literasi untuk revolusi, kami menggelar lapak baca gratis setiap pekan. Namun, dengan berbagai pertimbangan yang telah kami kaji, kami memutuskan untuk bergeser dari Desa Bontonyeleng, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba.
Ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kami percaya, jejak yang kami tinggalkan melalui program Malam Bercerita akan menjadi saksi bahwa kami pernah hidup dan hadir di sana. Dan program Duduk Demokrasi kami titipkan sebagai pesan untuk terus mewarnai desa.
Jika suatu hari nanti kami kembali, itu artinya kami telah menemukan makna baru yang tetap berpijak pada prinsip dasar kami: setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru. Saya hanya sopir di Rumah Buku, yang sedang menanti penumpang selanjutnya.
Kami juga meyakini bahwa berbagai argumentasi absurd telah banyak berkorban demi bertahannya gerakan literasi di desa.
Kini, saatnya kami membiarkan argumentasi itu memainkan perannya sendiri.
Kami berharap keberuntungan tidak pernah melahirkan pengetahuan tentang kekecewaan. Kepindahan kami bukan karena menjadi “intelektual baperan”, melainkan untuk memperluas cakrawala agar tidak terjebak dalam kotak-kotak yang sama.
Kini, kami melangkah menyongsong mimpi-mimpi baru—bersama Gelar Zine, Book Merchs, Seremoni Indonesia Ambil Langkah, dan Rumah Buku Publisher.
Perlu kami tegaskan: kami hanya bergeser dari Desa Bontonyeleng, tanpa tahu kapan akan kembali.
Kegiatan luring yang dapat disentuh, diraba, dan dialami bersama tak lagi berlangsung di desa. Namun program daring Rumah Buku tetap berjalan, kami akan terus berupaya untuk memberi keberartian dari jarak jauh.
Sampai jumpa. Mari kita rayakan perpisahan kecil ini sebagai pesta bagi keabadian.
Mari kencangkan sabuk pengaman, agar tak jatuh dan terluka.
Salam,
Sakkir