Sertifikasi halal bukan sekadar stempel. Ia adalah ikrar integritas. Ia menjamin bahwa setiap tetes darah yang tertumpah telah melalui proses yang sah, sesuai syariat, dan memenuhi standar kebersihan dan etika.
___
Ayam Widuran, Lidah yang Tertipu dan Nurani yang Tersentak, ditulis oleh Muliadi Saleh. Tentang Sepiring Renungan tentang Halal, Kesadaran, dan Tanggung Jawab
PELAKITA.ID – Di sebuah sudut meja makan kota, tersaji ayam goreng yang tampak gurih dan menggoda. Namun siapa sangka, di balik kerenyahan itu tersembunyi kegelisahan—bahkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang diyakini: kehalalan.
Ayam Widuran
Ia bukan sekadar nama dagang, tapi kini menjelma metafora tentang bagaimana lidah bisa tertipu dan iman bisa diuji lewat sepiring lauk.
Ketika berita tentang rumah potong ayam tanpa sertifikat halal menyeruak ke publik, jutaan hati tersentak—bukan hanya karena kelezatan yang sempat dinikmati, tetapi karena rasa percaya yang dilukai.
Apakah kita benar-benar tahu apa yang kita makan?
Apakah negara cukup hadir untuk menjamin makanan kita bersih, halal, dan thayyib?
Kasus Ayam Widuran berawal dari investigasi aparat dan media yang mengungkap praktik distribusi ayam potong dari rumah pemotongan yang tak bersertifikat halal.
Ayam-ayam itu menyebar ke berbagai gerai kuliner di wilayah Jabodetabek, bahkan masuk ke jaringan ritel modern.
Tidak ada pelabelan. Tidak ada peringatan. Tak ada transparansi. Seolah publik tak perlu tahu dari mana darah ayam itu mengalir.
Kita teringat sabda Nabi, bahwa kehalalan bukan sekadar urusan dapur, tapi menyangkut kebersihan hati dan keberkahan hidup:
“Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin menyebut bahwa sertifikasi halal adalah bentuk perlindungan terhadap umat. “Jaminan halal bukan hanya kebutuhan spiritual, tapi juga kebutuhan konstitusional. Negara wajib hadir,” tegasnya dalam sebuah seminar nasional.
Sertifikasi halal bukan sekadar stempel. Ia adalah ikrar integritas. Ia menjamin bahwa setiap tetes darah yang tertumpah telah melalui proses yang sah, sesuai syariat, dan memenuhi standar kebersihan dan etika.
Namun, mengapa masih banyak pelaku usaha yang mengabaikannya? Apakah karena biaya? Prosedur? Atau karena absennya kontrol dan hukuman yang tegas?
Tantangan besar industri halal di Indonesia bukan hanya pada pelaku usaha, tetapi juga pada kesadaran konsumen. Kita jarang bertanya, jarang memeriksa. Maka pelaku bisnis pun merasa aman bermain di area abu-abu ini.
Konsumen adalah benteng pertama kehalalan makanan.
Namun benarkah kita peduli pada apa yang masuk ke tubuh kita?
Atau kita lebih memilih rasa dan harga ketimbang kehalalan dan keberkahan?
Ayam Widuran bukan hanya soal ayam. Ia soal kita—yang terlena oleh promo diskon, yang abai menanyakan asal makanan.
Sudahkah kita menengok label halal di restoran, di kemasan, di rumah potong?
Masyarakat seringkali reaktif: geger saat kasus meledak, namun cepat pula melupakan. Padahal, pengawasan sosial sama pentingnya dengan pengawasan negara.
Kita perlu gerakan kesadaran: komunitas halal, relawan konsumen, edukasi ke sekolah dan pesantren, hingga kampanye di media sosial.
Buya Yahya, ulama kharismatik dari Cirebon, menyatakan bahwa makanan yang tidak jelas kehalalannya adalah bentuk kelalaian iman. “Kalau kita tak tahu apa yang kita makan, bagaimana mungkin kita bisa memastikan keberkahan hidup?” ujarnya dalam satu ceramah.
Negara tak boleh hanya muncul saat krisis.
Ia harus jadi arsitek sistem jaminan halal yang aktif, progresif, dan partisipatif. Mulai dari pendataan rumah potong, fasilitasi sertifikasi, hingga regulasi distribusi.
BPJPH perlu diperkuat. Sinergi dengan MUI dan ormas Islam harus diperluas. Edukasi publik harus digencarkan.
Sistem jaminan halal hanya akan kuat jika dibangun oleh kolaborasi negara, masyarakat, dan pelaku usaha. Halal bukan urusan minoritas, tapi bagian dari daya saing bangsa.
Karena setiap makanan yang masuk ke tubuh, akan menjadi darah, daging, dan akhirnya perilaku. Setiap suapan adalah doa—dan setiap doa mesti berasal dari yang halal.
Ayam Widuran menyadarkan kita bahwa dunia kuliner bukan sekadar urusan lidah. Ia tentang kejujuran, integritas, dan iman.
Mari kita bangun negeri dengan dapur yang bersih, lidah yang jujur, dan iman yang tumbuh dalam setiap suapan.
Karena dari apa yang kita makan, akan lahir generasi. Dan dari generasi, akan lahir masa depan.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul tanggung jawab moral, spiritual, dan hukum untuk menjaga kehalalan rantai pasok makanan. Namun menurut laporan BPJPH, hingga 2024 baru sekitar 12% pelaku usaha pangan yang tersertifikasi halal.
Angka ini adalah alarm keras: lebih dari 80% produk yang beredar masih berada di zona tak pasti.
Sementara survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, 76% responden Muslim menyatakan bahwa label halal sangat memengaruhi keputusan pembelian mereka.
Sayangnya, kesadaran itu belum selalu sejalan dengan tindakan. Label halal kerap diasumsikan ada, tanpa diverifikasi. Ini memberi ruang bagi pelaku usaha nakal untuk mengambil celah.
Literasi halal kita masih dangkal.
Banyak yang mengira halal hanya soal sembelihannya. Padahal halal mencakup seluruh proses: pakan, kebersihan kandang, penyembelihan, distribusi, hingga penyimpanan.
Inilah pentingnya edukasi massal: melalui televisi, radio, media sosial, hingga khutbah Jumat. Dakwah halal harus menjadi gerakan sistematis dan berkelanjutan.
Peran pesantren dan madrasah tak boleh absen. Santri harus dilatih menjadi duta halal. Bukan hanya menghafal ayat, tapi juga turun mengawasi dan mengedukasi masyarakat.
Program seperti Halal Goes to School atau Halal Watch Citizen Patrol dapat menjadi model keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan konsumsi halal.
Halal adalah hak konsumen. Namun lebih dari itu, ia adalah jalan menuju keberkahan kolektif. Makanan yang halal dan thayyib akan melahirkan masyarakat yang kuat, sehat, dan jujur.
Sebaliknya, makanan yang tidak jelas asal-usulnya dapat menumbuhkan ketidakjujuran, kecurangan, dan kerakusan yang sistemik.
Mari kita mulai dari dapur rumah sendiri.
Tanyakan asal ayam yang kita beli.
Pastikan label halal produk yang kita konsumsi.
Dorong tukang bakso langganan untuk mengurus sertifikasi.
Sebab perubahan besar selalu bermula dari langkah kecil.
Ayam Widuran adalah pelajaran pahit.
Namun seperti kata pepatah, racun bisa jadi obat bila kita mampu menarik hikmah.
Kini saatnya, bukan sekadar membenci produk tercemar, tetapi membangun sistem yang bersih dari hulu ke hilir.
Karena sepiring ayam bisa menguji iman, menyentuh nurani, dan menyalakan bara perubahan di tengah bangsa.
