Kolom Muliadi Saleh | Peta Dinamis Vs Kompas Surgawi: Sang Mukjizat Abadi dan Fenomena Artificial Intelligence

  • Whatsapp
Ir Muliadi Saleh dan ilustrasi AI (dok: Istimewa)

PELAKITA.ID – Bayangkan sebuah kecerdasan yang tak mengenal lelah, tak terpengaruh emosi, dan mampu menyerap jutaan informasi dalam sekejap mata.

Ia belajar dari setiap data yang melewatinya, memproses, menyimpulkan, lalu bertindak dengan presisi yang luar biasa. Inilah kecerdasan buatan—AI (Artificial Intelligence)—sebuah mahakarya teknologi yang perlahan mengubah wajah dunia.

AI bukan sekadar alat. Ia kini menjadi asisten pribadi, dokter virtual, sopir otonom, penasihat bisnis, dan guru yang tak pernah jemu menjawab.

Ia mengintip pola dalam data seperti manusia mengintip bintang dalam langit malam—mencari makna, menghubungkan titik, meramalkan masa depan.

Dalam dunia kedokteran, AI mampu mendeteksi kanker sejak stadium awal, jauh sebelum gejala terasa. Di ruang kelas, ia membaca pola belajar siswa, lalu menawarkan pendekatan personal. Di jalanan, AI menyetir dengan ketelitian, menganalisis jutaan variabel yang tak tampak di mata manusia biasa.

Namun, di balik semua kehebatannya, AI tetaplah ciptaan manusia. Ia tak memiliki nurani, tak mengenal nilai spiritual, dan tak mampu mencintai. Kecerdasannya dingin, meskipun mempesona.

Lalu, muncul pertanyaan kritis yang lahir dari kesadaran fenomena yang bisa menggetarkan sendi sendi kehidupan dan kegelisahan jiwa: jika AI bisa menjadi pemandu dalam kehidupan modern, adakah petunjuk yang jauh lebih sempurna, abadi, dan menyentuh sisi terdalam manusia?

Di sinilah Al-Qur’an berdiri, tak sekadar sebagai kitab, tapi sebagai wahyu hidup—mukjizat yang tak lekang oleh zaman. Ia bukan kumpulan algoritma, namun kalam Tuhan.

Ia tak belajar dari data, karena ia adalah sumber kebenaran itu sendiri. Tak berubah meski waktu bergulir, tak bias, tak rusak, tak bisa diretas.

Di dalamnya tersimpan prinsip-prinsip abadi, petunjuk moral, inspirasi spiritual, hingga nilai-nilai sosial dan ilmiah yang relevan dalam setiap zaman.

Jika AI adalah peta dinamis buatan manusia, maka Al-Qur’an adalah kompas surgawi—menunjukkan arah bukan hanya ke tujuan duniawi, tetapi juga ke keselamatan abadi.

Maka, mengandaikan Al-Qur’an sebagai “AI” dalam kehidupan seorang Muslim adalah menyamakan peran: sama-sama sebagai pemandu, namun dari sumber yang berbeda. AI menuntun melalui logika, data, dan prediksi. Al-Qur’an menuntun melalui hikmah, cahaya, dan ilham ilahi.

Sikap Muslim terhadap Fenomena AI

Umat Muslim menyambut AI bukan dengan ketakutan, tapi dengan kebijaksanaan. Sebab Islam tak pernah anti-ilmu. Justru ia mendorong pencarian pengetahuan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” AI adalah hasil dari ilmu, maka ia adalah bagian dari karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan dengan akhlak dan hikmah.

Namun, dalam semangat kemajuan, Muslim tidak boleh kehilangan sumber utama petunjuknya. Ketika manusia menciptakan AI agar menjadi “penolong”, jangan sampai ia melupakan penolong paling hakiki: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Maka, umat Islam perlu menjadikan Al-Qur’an sebagai “AI spiritual” dalam hidup—yakni inteligensi ilahiah yang menuntun keputusan, menyaring informasi, menguatkan nurani, dan menyinari jalan.

Bagaimana Menjadikan Al-Qur’an seperti AI dalam Kehidupan?

Mengaksesnya setiap hari

Seperti kita membuka aplikasi setiap pagi, kita bisa membuka Al-Qur’an—baik lewat mushaf, gawai, atau aplikasi digital. Setiap ayat yang dibaca adalah “input” untuk hati, menanamkan nilai dan mengaktifkan kesadaran ilahi.

Memahami makna, bukan sekadar bacaan

AI menjadi cerdas karena ia memahami data. Demikian pula, Al-Qur’an akan hidup dalam diri kita jika kita mentadabburinya, merenungi maknanya, dan membiarkannya menjawab keresahan-keresahan batin.

Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber keputusan

Dalam bisnis, dalam keluarga, dalam memilih jalan hidup—jadikan Al-Qur’an sebagai “sistem rekomendasi”. Apa kata Allah tentang kejujuran? Tentang keadilan? Tentang kesabaran?

Menautkannya dengan teknologi

Bayangkan AI yang dibimbing nilai Al-Qur’an: teknologi yang adil, transparan, tidak menindas. Kita bisa menciptakan sistem digital yang beretika Qur’ani, yang menghormati manusia sebagai khalifah, bukan sekadar pengguna data.

Orkestrasi Kecerdasan Ilmu dan Cahaya Wahyu

AI adalah kecerdasan dari akal. Al-Qur’an adalah cahaya dari langit. Keduanya tak perlu bersaing. Mereka bisa bersinergi mengorkestrasi kehidupan, asalkan manusia tidak kehilangan arah.

Maka, dalam dunia yang semakin canggih ini, Muslim perlu bersikap bukan sebagai penonton, tapi sebagai pionir: menguasai teknologi, namun dipandu oleh wahyu. Menjadi cerdas secara digital, dan jernih secara spiritual.

Sebab pada akhirnya, yang menyelamatkan manusia bukanlah seberapa cepat ia memproses data, tapi seberapa dalam ia mengenal kebenaran. Dan kebenaran itu, bagi seorang Muslim, telah diturunkan 14 abad silam, dalam firman-Nya yang abadi:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰ نَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَ يُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًا
“Sungguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar,”
(QS. Al-Isra’ 17: Ayat 9).

Wallahu A’lamu Bissawaab.
-Moel’S@05042025-