Inspirasi | Mengenang Kepemimpinan Brigjend (Pol) Muhammad Arief Wangsa

  • Whatsapp
Brigjend (Pol) Muhammad Arief Wangsa (dok: Istimewa)

Keluarga harus berjuang sendiri tanpa mengandalkan koneksi.

PELAKITA.ID – Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Iman Santoso adalah seorang tokoh kepolisian Indonesia yang dikenal karena integritas, kejujuran, dan ketegasannya dalam menegakkan hukum.

Ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) ke-5 dari tahun 1968 hingga 1971.

Hoegeng terkenal sebagai sosok polisi yang tidak bisa disuap dan berani menindak segala bentuk korupsi serta penyimpangan, termasuk di lingkungan kepolisian sendiri. Ia juga menolak segala fasilitas atau keuntungan yang tidak sah selama menjabat sebagai Kapolri.

Sebagai simbol kejujuran dan dedikasi terhadap hukum, Hoegeng sering dijadikan panutan dalam dunia kepolisian Indonesia. Bahkan, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebutnya sebagai “satu-satunya polisi jujur di Indonesia.”

Selain sebagai polisi, Hoegeng juga memiliki bakat seni dan musik. Ia pernah membentuk grup musik bernama “Hawaiian Seniors” yang sering tampil di berbagai acara. Hogeng, potret polisi idaman yang juga peduli kesenian.

Adakah sosok dari Barisan Cokelat yang bisa jadi role model atau inspirasi seperti Hoegeng?

Jika pertanyaan itu disematkan ke Ridho Altundungkury, bisa jadi nama Brigjen (Pol) Arief Wangsalah orangnya.

Nama ini mencuat saat obrolan penulis dengan Muhammad Ridwan ’Ridho’ Altundungkury itu di WAG Alumni Unhas. Ridho, salah satu pegiat UMKM asal Pangkep yang aktif berbisnis madu Trgona dan jual beli bibit pohon.

Pada jejak pekerjaan penulis di organisasi LSM, Arief Wangsa adalah sebagai salah satu yang mendukung pendirian Lembaga Pengkajian Pedesaan, Pantai dan Masyarakat, LP3M Ujung Pandang pada tahun 80-an. Penulis bergabung di LSM in tahun 96.

Nama Arief Wangsa di profil LP3M sejajar dengan Prof Burhamzah, Prof Kustiah, Dr Marwah Daud Ibrahim, sebagai – kita sebut saja pilar – LP3M Ujung Pandang, salah satu LSM terkemuka di Sulsel tahun 90-an.

Arief Wangsa, atau lengkapnya Brigadir Jenderal Polisi (Purn.) Drs. H. Muhammad Arief Wangsa, lahir pada 23 April 1941.

Arief Wangsa, bersama Marwah Daud Ibrahim disebut penyokong pendirian dan kerja-kerja pemberdayaan organisasi LSM, organisasi di mana aktif sejak tahun 1996 hingga 1999.

Tentang Marwah Daud, penulis pernah berkunjung ke kediamannya di Kompleks DPR Ri Kalibata tahun 98 bersama Direktur LP3M Ujung Pandang saat itu, Sufri Laude.

Saat itu, sempat pula bersua suami Marwah yang kami sapa, Kak Bora. Kesan saat itu mereka berdua adalah sosok dengan kesederhanaan dan kharismanya. Masih terkenang, saat menerima kami, Ibu Marwah, mengenakan kaos tua yang lusuh dan nyaris robek, namun tetap terlihat keren.

Produk olahan Ridho Al Tundungkury (dok: Istimewa)

Sosok Arief Wangsa

Kembali ke sosok Arief Wangsa. ”Beliau berasal dari Tondongkura. Ayahnya, memiliki prinsip idealis—tidak mau memanfaatkan jabatan untuk membantu keluarganya mendapatkan pekerjaan,” kata Ridho Al Tundungkury tentang keluarga Arief Wangsa.

Bahkan, saat ada sepupunya yang ingin masuk Akpol, beliau – Arief Wangsa – menolak mengurusnya.

”Menurutnya, keluarga harus berjuang sendiri tanpa mengandalkan koneksi,” jelas Ridho.

”Pada masa itu, anak-anak beliau tinggal di sekitar bangunan peninggalan Jepang di Tondongkura,” jelas Ridho tentang Keluarga Tondongkura.

Dengan bahasa halus, sikap keluarga dan sosok Arief Wangsa yang melarang ada campur tangan atau intervensi karena ketokohan seorang Arief adalah semata demia memberi kebebasan bagi keluarganya untuk menentukan sendiri jalan hidup mereka.

”Beliau – Arief Wangsa – adalah sosok yang paling berpengaruh di Tondongkura, sebuah desa terpencil yang hingga tahun 1996 belum memiliki aliran listrik,” terang Ridho.

Sayangnya, lanjut Ridho, banyak bangunan kokoh dari bata dan besi di desa tersebut dijarah dan dijual ke kota. ”Masa kecil kami pun diwarnai dengan mengumpulkan bata dan besi untuk dijual ke pengusaha kota,” tambahnya.

Dia menyebutkan, di Tondongkura, beberapa peninggalan masih tersisa, seperti bak mandi besar seukuran 2 meter yang beratnya hampir satu ton, kini berada di dekat rumah tetangga.

Selain Ridho, komentar tentang kepemimpinan Arief Wangsa juga datang dari Prof Amran Razak. Amaran menyebut karakter dan ketokohan Arief Wangsa yang tegas dan efektif dalam mengelola pemerintahan bisa jadi karena latar belakang polisi dan HMI.

“Dia psikolog yang polisi namun ber-HMI,” sebut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat yang berjuluk Demonstran Unhas dari Lorong Kambing itu.

“Pantas luwes,” puji Amran.

Info spesifik

Brigadir Jenderal Polisi (Purn.) Drs. H. Muhammad Arief Wangsa lahir pada 23 April 1941 di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Ia menempuh pendidikan dasar dan menengah di daerah kelahirannya, lalu melanjutkan pendidikan menengah atas di Makassar. Setelah itu, ia meneruskan studinya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Arief bergabung dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kariernya diawali di Kepolisian Daerah Metro Jaya sebelum akhirnya dipindahkan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Polda Sulselra). Pada tahun 1985, ia mengikuti pendidikan di Sekolah Staf Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia.

Dua tahun kemudian, ia diangkat sebagai Wakil Asisten Pembinaan Masyarakat di Polda Sulselra.

Pada tahun 1984, Arief ditunjuk sebagai Bupati Maros menggantikan Kamaruddin Baso yang akan memasuki masa pensiun. Selama menjabat, ia menggagas pembangunan sejumlah patung, di antaranya Patung Kuda Tubarania yang melambangkan semangat perlawanan terhadap penjajahan serta Patung Monyet.

Selain itu, ia juga melakukan revitalisasi Taman Wisata Alam Bantimurung, yang berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan asli daerah Kabupaten Maros.

Arief menginstruksikan perbaikan jalan taman yang sebelumnya berlubang dengan aspal hotmix sepanjang 1,8 kilometer, menambah variasi tanaman, serta mendirikan kios-kios untuk penjualan makanan dan suvenir.

Proyek perbaikan taman ini rampung pada tahun 1986 dan memberikan dampak signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Maros.

Jika sebelumnya taman ini hanya menyumbang 20 juta rupiah, pada tahun 1986 pendapatannya melonjak menjadi 100 juta rupiah, yang setara dengan sekitar 18% dari total PAD Kabupaten Maros di tahun tersebut.

Pada Februari 1993, Arief dipercaya untuk menjabat sebagai Kepala Dinas Psikologi Kepolisian Republik Indonesia. Seiring dengan itu, ia memperoleh kenaikan pangkat menjadi brigadir jenderal polisi pada 26 April 1993.

Setelah menyelesaikan masa jabatannya sebagai Bupati Maros pada tahun 1989, Arief mengajukan permohonan pensiun dari kepolisian. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh atasannya. Ia kemudian kembali bertugas di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan sebagai Kepala Direktorat Pembinaan Masyarakat.

Pada Februari 1993, terjadi mutasi di jajaran komando utama Kepolisian Republik Indonesia, dan Arief ditunjuk sebagai Kepala Dinas Psikologi. Dalam jabatan barunya ini, ia menerima kenaikan pangkat menjadi brigadir jenderal polisi pada 26 April 1993. Arief akhirnya resmi pensiun dari kepolisian pada tahun 1996.

Setelah pensiun, Arief tetap aktif di berbagai bidang. Ia mendirikan surat kabar mingguan bernama Semangat Baru dan terlibat dalam berbagai usaha.

Arief menikah dengan Sitti Hadawiyah, seorang aktivis yang dikenalnya selama berkuliah di UGM. Siti Hadawiyah bekerja sebagai anggota DPRD Sulawesi Selatan dan tenaga pengajar di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ujungpandang. Pasangan tersebut memiliki lima anak

Di luar aktivitas politik dan kewirausahaan, Arief juga aktif dalam berbagai organisasi, termasuk Ikatan Pencak Silat Indonesia Sulawesi Selatan serta Persatuan Drum Band Indonesia (PDBI) Sulawesi Selatan. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Ketua I di organisasi lainnya.