PELAKITA.ID – Di kampung kami, jamur liar yang tumbuh di hutan saat musim hujan disebut kalakala. Setiap kali melihatnya, saya teringat masa kecil—saat warga desa mencari jamur sepulang dari sawah.
Jika panen melimpah, rasanya seperti pesta kecil di rumah-rumah penduduk.
Suatu liburan semester saat SMA di Makassar, saya pulang kampung. Bersama Kak Aji Intang dan Tante Caya, kami pergi ke Salu-salu, perbukitan di timur Desa Tondongkura, untuk mencari mangga. Perjalanan hampir satu jam dengan berjalan kaki melewati hutan dan persawahan.
Desa kami dikelilingi hutan lebat, kebun, dan sawah yang subur. Saat menembus rimbunnya pepohonan, Tante Caya mengajak kami berburu kalakala—musim hujan memang waktu terbaik menemukan jamur liar ini.
Kami pun berpencar, menyusuri tanah lembap dan dedaunan basah.
Tiba-tiba, Kak Aji berteriak, “Tante Cayaaa, ini kapang kalakala?” Raut wajahnya penuh ragu saat menunjukkan hamparan jamur. Tante Caya menjawab santai, “Tiada kamaanne”—bukan yang begini. Namun, secepat kilat, beliau merayap ke tanah dan mulai mencabut kalakala.
Kak Aji yang baru menyadari dirinya dikelabui langsung ikut berebut. Saya hanya tertawa melihat keduanya berlomba mengumpulkan jamur. Setelah puas, kami membagi rata hasil buruan, meski sebagian sudah hancur akibat aksi rebutan tadi.
Hari itu, bukan hanya kalakala yang kami dapatkan, tetapi juga kenangan indah yang melekat erat—tentang desa, keluarga, dan kebersamaan yang selalu kurindukan. Hutan yang sunyi menjadi saksi tawa kami yang pecah begitu saja.
Pagi ini, dering HP membuyarkan lamunan. Langit masih mendung sisa hujan semalam, udara sejuk, dan suara kokok ayam terdengar bersahutan. Telepon dari Kak Hery Ummu Dzaky:
“Mauko kalakala?” Saya langsung mengiyakan, tak sabar menyantap sayur andalan ini.
Kami janjian bertemu di jalan poros. Kak Hery hendak ke Gowa menjemput Dzaky di pesantren—mungkin libur Ramadhan atau dipanggil menjadi imam Tarawih, seperti tahun lalu. Saat mampir di rumah Tante Caya, saya berseru, “Sambang kalakala ma juga!”—ungkapan khas desa kami saat mendapat rezeki tak terduga.
Benar saja, menemukan kalakala dalam jumlah banyak memang seperti durian runtuh. Apalagi kali ini, saya tak perlu bersusah payah masuk hutan mencarinya. Alhamdulillah, pagi ini rezeki datang sendiri.
Penulis: Ridho Al Tundungkury