PELAKITA.ID – Saya bagai kehilangan orientasi setelah memasuki kampung Lakkang. Tak ada papan petunjuk, yang menyambut kami begitu kita memasuki kampung yang sudah di-branding sebagai Desa Wisata ini.
Padahal, titik pertama yang ditemui, setelah rute panjang tadi merupakan simpul yang bisa memberi gambaran kepada pengunjung atau siapa pun yang datang ke Lakkang. Mungkin, ada baiknya, bila dipasang rambu dan papan informasi. Biar tidak bingung, saat mendapati jalan yang bercabang di mulut kampung, apakah akan ke kiri, kanan, atau terus saja.
Istri saya, dari arah belakang, di boncengan, sempat bertanya, kita akan lewat mana? Namun, saya memberi isyarat dengan tangan bahwa akan berbelok ke kanan. Saya sampaikan, biar kita nikmati saja perjalanan ini.
Jalan yang saya pilih memang indah, menghadirkan sawah yang tumbuh hijau. Hanya saja, setelah itu, ternyata jalan buntu. Saya kemudian berbalik arah, lalu belok ke kanan, kembali ke jalan pertama. Selanjutnya, saya terus saja lurus ke depan.
Saya mengendarai sepeda motor dengan pelan, mengingat jalan di kampung Lakkang ini tidak begitu lebar. Mungkin hanya selebar 3 meter. Rumah-rumah warga kebanyakan berupa bangunan permanen terbuat dari semen (rumah batu).
Hanya beberapa yang masih berupa rumah panggung, khas rumah tradisional Makassar. Jarak antar bangunan cukup rapat, tidak selalu ada pagar yang mengantarainya. Jumlah populasi warga Lakkang, berdasarkan data BPS Kota Makassar (2018), tercatat lebih dari 975 jiwa. Jumlah rumah tangganya sebanyak 238 KK (kepala keluarga), dengan kepadatan penduduk sebanyak 848/km².
Sambil terus berkendara, saya memuji suasana kampung yang rimbun dan sejuk. Vegetasi di sini cukup beragam, dari jalan saya melihat ada pohon jati, mangga, pisang, jeruk, nangka, dan tanaman lainnya. Pohon bambu di sini tumbuh subur, dengan daun-daun yang saling merangkul.
Di area tertentu, malah bisa kita jumpai rimbun rumpun bambu yang membentuk seperti terowongan. Oleh warga, bambu dijadikan pagar serta kerajinan anyaman.

Mata saya terus mencari, kalau-kalau ada tulisan sebagai informasi. Sempat saya membaca tulisan di rumah warga, tempat pengajian dalam bahasa Makassar. Di jalan memang saya melihat beberapa anak laki-laki mengenakan songkok, sambil mengapit Al-Qur’an yang dibungkus sarung, seperti hendak ke tempat mengaji. Juga seorang anak perempuan yang bermain sepeda dengan temannya.
Saya lantas memilih berhenti, setelah melihat papan nama cukup besar bertuliskan Guest House dan Rumah Industri Kerajinan Anyaman Bambu.
Di papan nama itu juga terdapat logo UNIFA (Universitas Fajar), yang saya tafsirkan bahwa kampus itu pernah mengadakan program pengabdian pada masyarakat di sini.
Saya juga memilih berhenti karena alasan, bahan bakar sepeda motor yang tinggal sedikit. Ini karena semula saya mengira hanya akan memarkir kendaraan di sebelah, nanti pulang baru mengisi bahan bakar (BBM) di pompa bensin di depan pintu satu Unhas. Alasan kedua, saya mau singgah di warung warga, yang berada tepat di sebelah guest house, sambil ngobrol, mengorek informasi.
Pemilik warung itu, Daeng Bonro, dan istrinya, Daeng Harnia, begitu ramah menyambut kami. Saya yang tidak lancar dan jarang menggunakan bahasa Makassar, siang itu berkomunikasi dalam bahasa ibu saya: Makassar. Biar terasa dekat dan akrab.
Saya memesan mie instan dan sebotol air mineral. Sementara istri memesan segelas cokelat panas. Pasangan suami istri ini, membuka warung makan dan punya kios (ga’de-ga’de) di depan rumahnya.
Mereka menjual barang keperluan sehari-hari, termasuk aneka rupa minuman kemasan.
***
Rupanya, pedagang yang baik hati ini, tak hanya menyuguhkan makanan dan minuman yang kami pesan, tapi juga memberikan banyak bonus hehehe. Dua piring pisang ijo, pisang Thailand, dan rambutan, disuguhkan kepada kami. Keduanya merupakan warga asli Lakkang. Daeng Harnia mengatakan, dia membuat banyak makanan karena ada anaknya, yang pulang kampung ke Lakkang menjelang Ramadhan untuk berziarah kubur.
Saya lalu bercerita, pada bulan Maret 2011, pertama kali saya ke Lakkang. Saat itu, dilakukan penggalian bunker peninggalan tentara Jepang, oleh gabungan personel Lantamal VI, Koramil Tallo, dan warga Lakkang.
Gotong royong dan kerja bakti ini dilakukan atas inisiatif teman-teman jurnalis yang tergabung dalam Lingkar Penulis Pariwisata (LPP) Makassar bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar, dan beberapa korporasi.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar, saat itu, dipimpin oleh Rusmayani Madjid.
Saat itu, saya diajak oleh Hendra Nick Arthur (wartawan Kantor Berita Antara) dan Furqon Majid (wartawan Tribun Timur). Wali Kota Makassar (periode 2004-2009 & 2009-2014), Ilham Arief Sirajuddin, menyaksikan langsung penggalian 7 bunker yang dibangun antara tahun 1944-1945 itu. Bunker-bunker itu berada di bawah tanah, di antara rimbun hutan bambu.

Kepada Daeng Harnia, saya sampaikan, saat itu, kami disuguhkan menu khas Lakkang, berupa ikan masak mirip pallu mara, tapi ikan itu diikat dengan pisang.
Perempuan 60-an tahun itu, menyampaikan bahwa masakan yang saya maksud itu adalah pallu unti-unti. Ikannya bisa berupa ikan mujair atau nila. Bisa pula ikan bolu (bandeng). Cara membuatnya sederhana. Ikannya dibungkus pisang (unti) batu lalu diikat. Bumbunya hanya terdiri dari sarre (serai), laja (lengkuas), lasuna kebo (bawang putih) dan lasuna eja (bawang merah).
“Saya punya di dapur, tapi tidak enak mi kalau dimakan. Dingin mi. Saya kasi liatkan meki saja di,” kata Daeng Harnia, sambil buru-buru melangkahkan kakinya masuk ke rumahnya.
Istri saya yang hobi memasak, begitu antusias, setelah tuan rumah memperlihatkan pallu unti-unti sebagai contohnya. Ikannya agak kecil, kata Daeng Harnia, sehingga tidak terlalu bagus kalau disuguhkan buat tamu. Istri saya mengucapkan terima kasih kepada Daeng Harnia, lalu menatap saya sambil menganggukkan kepala.
Seolah berkata enteng, boleh dicoba nanti. Hmmm….
Saya juga bercerita, kalau pada bulan Juli 2015, saya kembali ke Lakkang untuk kegiatan Sekolah Media Literasi (Smile) bagi anak-anak Sekolah Dasar (SD) di sini.
Waktu itu, saya diajak teman-teman dari Yayasan Ruang Antara dan Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik) Unhas. Kegiatan ini diadakan dalam rangka memperingati Hari Melek Media.
Saya diundang sebagai pemerhati media dan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan.
Saya menjadi narasumber bersama Tenri A. Palallo, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Kota Makassar, dan Evi Aprialty, Kepala Badan Arsip, Perustakaan, dan Pengolahan Data Kota Makassar.
“Lama sekali mi itu, sepuluh tahun yang lalu. Banyak mi yang berubah,” ujar Daeng Harnia.
Dia lalu mengungkapkan berbagai perubahan yang terjadi. Dahulu, belum ada jalan paving block, yang tadi kami lalui. Rumah-rumah panggung (balla rate) warga, juga sudah berganti menjadi rumah batu. Sekarang, lanjutnya, dia tidak lagi harus setiap hari ke Pasar Panampu untuk berbelanja.
Hanya sekali atau dua kali dalam seminggu dia keluar Pulau Lakkang. Berkat kemajuann teknologi komunikasi, semuanya serba praktis. Cukup dengan menelepon atau memesan melalui aplikasi, barang yang dibutuhkan segera diantarkan.
“Sekarang sudah banyak sales, tinggal pesan saja. Apalagi bisa menelepon, pesan online. Nanti barangnya dititip di warung dekat dermaga, lalu kami ke sana mengambilnya,” terang Daeng Harnia bersemangat.
Dia juga menyampaikan kalau beberapa warga Lakkang telah sukses menapaki karier di luar sebagai pejabat publik.
Rudianto Lallo, yang kini naik pangkat menjadi anggota DPR RI, periode 2024-2029, sebelumnya selama 10 tahun (2014-2019 & 2019-2024), merupakan anggota DPRD Kota Makassar.
Malah di periode keduanya, politisi Partai NasDem itu menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Makassar. Saudaranya yang lain, H. Ruslan Lallo, dalam pemilu legislatif 2024, berhasil terpilih menjadi anggota DPRD Kota Makassar untuk lima tahun mendatang. Sementara Ramli Lallo, yang berlatar belakang guru, sejak Januari 2024, mengemban amanah sebagai Camat Tallo—wilayah di mana Lakkang berada.
Pariwisata Berkelanjutan
Lakkang ini sangat potensial dikembangkan sebagai destinasi wisata. Daya tarik wisata sejarahnya tak cuma terkait dengan bunker Jepang di masa Perang Dunia II dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada sejarah lain, yang melekat dengan nama pulau itu. Secara historis, nama pulau ini, semula adalah Bonto Mallangngere’ (artinya, pendengaran yang tajam dan jeli). Namun, kemudian berubah menggunakan nama Daeng ri Lakkang.
Berdasarkan Buku Nama Rupabumi Unsur Buatan yang disusun Bagian Tata Pemerintahan Setda Kota Makassar, disebutkan bahwa Daeng ri Lakkang ini merupakan nama dari salah seorang saudara Raja Tallo, yang memilih meninggalkan singgasana kekuasaannya dan menetap di pulau.

Daeng ri Lakkang terpikat dan kemudian mempersunting seorang wanita yang dipanggil dengan sebutan Tau Sanna Kallumannyang ri Marusu (orang terkaya di Maros).
Bangsawan Tallo itu berjasa melindungi warga dan mengarahkan mereka bermigrasi ke pulau saat terjadi pergolakan, yang dilakukan oleh pasukan Abdul Kahar Muzakkar.
Pergolakan oleh pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) ini dapat dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Warga mengingat peran dan sumbangsih yang diberikan Daeng ri Lakkang. Belakangan, mereka bersepakat menggunakan namanya, sebagai nama pulau ini.
Jejak Daeng ri Lakkang dan Tau Sanna Kallumannyang ri Marusu ini masih bisa dijumpai di area pekuburan di Lakkang. Makam dua sejoli ini dicat dengan warna hijau dan diberi atap. Di dalam makam itu, terlihat dua kuburan yang dianggap sebagai tempat dimakamkannya Daeng ri Lakkang dan istri tercintanya, Tau Sanna Kallumannyang ri Marusu.
Boleh dikata, Lakkang ini bila terkelola dengan baik, dapat menyuguhkan paket pariwisata lengkap. Wisata sejarah, wisata budaya, wisata kuliner, juga wisata alam. Sejak pertama kali saya menginjakkan kaki di sini, sudah digagas konsep eco tourism dan community based tourism. Diskusinya, kala itu, bahkan melibatkan Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi Sulawesi Selatan.
Dengan jalur jalan yang ada—bila dibenahi lebih baik—bisa digunakan untuk olahraga trekking dengan berkeliling pulau atau ke objek-objek menarik di sana. Bisa pula dengan menggunakan sepeda dari kampus Unhas. Kendaraan ramah lingkungan, seperti skuter listrik dan boogie car, bisa juga diberlakukan di kawasan ini.
Pilihan lainnya, pengunjung dan turis bisa mengitari pulau dengan perahu yang sudah dimodifikasi agar lebih menarik dan nyaman.
“Kalau ada rombongan passapeda singgah di warung, saya tidak bisa ladeni,” kata Daeng Harnia, terdengar seperti mengeluh.
Passapeda yang dia maksud, adalah komunitas sepeda, yang sesekali berombongan masuk Lakkang, Di satu sisi, dia senang ada pembeli singgah, tapi di saat yang sama dia kelabakan melayani mereka dalam jumlah relatif banyak.
Perlu dibuatkan glamping agar wisatawan bisa nginap menikmati sunrise dan sunset di pulau, melengkapi homestay dan gues house yang dikelola secara profesional. Saya yakin, ada banyak spot-spot indah yang dapat disuguhkan. Pemandangan pulau ini yang indah masih perlu dieksplor lagi.
Buktinya, ketika kami pulang menjelang sore hari, kami melihat serombongan bangau putih yang terbang rendah dan turun di tambak warga. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan. Dengan kamera smarphone, saya mengabadikan burung-burung berleher panjang dan berkaki jangkung itu.
Restoran apung dengan kuliner tradisional, yang dikelola pelaku UMKM setempat, juga bisa jadi daya tarik tersendiri.
Supaya wisatawan merasakan pengalaman berbeda, ada paket workshop pembuatan kerajinan dari bambu dan daun nipah, yang memang banyak tumbuh di sini. Semua paket wisata ini dirancang berbasis masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal, dan tentu saja mesti berkelanjutan. Pasokan listrik sebagai sumber energi warga, sudah mesti beralih ke pemanfaatan panel-panel surya.
Singkatnya, Lakkang dan sekitarnya bisa digunakan sebagai laboratorium wisata berkelanjutan, yang menjadi bagian integral dari program inovasi mobilitas berkelanjutan.
Wisata berkelanjutan merupakan konsep wisata yang memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Posisi Lakkang yang berada di belakang Unhas, mesti menjadi nilai plus. Sebab, sudah terbangun tradisi ilmiah yang dilakukan para peneliti, termasuk mahasiswa Unhas, yang mengadakan kajian dengan memenfaatkan alam lingkungan dan warga Lakkang sebagai objek.
“Saya ke Lakkang untuk penelitian tentang pengelolaan sampah oleh warga. Mereka punya Bank Sampah, tapi tidak ada pengelolanya. Juga tidak ada pengangkutan sampahnya, dan TPS 3R, yakni tempat pengolahan sampah berbasis prinsip reduce, reuse, dan recycle,” papar Nur Khumaerah Aulia, Mahasiswa Fakultas Teknik Unhas, yang saya jumpai di atas perahu.
Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan, angkatan 2018, itu tengah menyusun skripsi untuk merampungkan studi sarjananya (S1). Sepanjang yang saya ketahui, telah banyak kegiatan dan kajian yang dilakukan di Lakkang ini.
Makanya, ada banyak rencana yang sudah dilontarkan, salah satunya pengembangan techno park atau taman teknologi, yang idenya dicetuskan Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kota Makassar. Apa pun itu, aspek ekologis di kawasan rekreasi ini sangat penting untuk mengutamakan pelestarian alam dan lingkungannya.
Mumpung pasangan Munafri Arifuddin dan Aliyah Mustika Ilham, baru saja dilantik sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar, periode 2025-2030.
Momen ini perlu digunakan untuk mewujudkan rencana-rencana tersebut. Apalagi visi MULIA, demikian tagline pasangan ini, hendak menjadikan Makassar Unggul, Inklusi, Aman, dan Berkelanjutan. Lewat pengembangan wisata berkelanjutan dan inklusif di Lakkang, niscaya dapat menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat tanpa terkecuali.
“Saya lama tidak melihat turis bule atau luar negeri masuk Lakkang,” ungkap De’sisi, yang perahunya kembali kami tumpangi pulang sore itu.
Jarum jam di arloji saya menunjuk angka 15.40 wita. Saya dan istri saling berbincang sepanjang perjalanan, semacam me-review pengalaman yang barusan kami jalani.
Pikiran saya berimajinasi, apakah yang akan dihadirkan di Lakkang berupa techno park atau eco park, yang pasti dibutuhkan sinergitas dan kolaborasi antara para pihak.
Pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha atau industri, media massa, serta sektor-sektor terkait lain mesti punya visi yang sama, seperti apa itu pariwisata berkelanjutan yang akan diwujudkan di Lakkang.
Partisipasi dan literasi warga juga perlu dilakukan, mengingat mereka bukan sekadar sebagai penerima manfaat tapi stakeholder utama yang bisa menjamin sustainability kepariwisataan di kawasan Lakkang dan sekitarnya. (Selesai)
____
Seandainya Lakkang Jadi Laboratorium Wisata Berkelanjutan (2), oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)