PELAKITA.ID – Berpikir kritis dicirikan oleh proses menganalisis atas fakta, bukti, observasi, dan argumen yang tersedia untuk membuat kesimpulan yang tepat.
Bukan hanya tepat tetap bisa menjadi pilihan pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi dan menjadikan organisasi seperti Ikatan Alumni atau paguyuban almamater menjadi bagian dalam perubahan sosial yang substansial.
Daya kritis, sejatinya, mengadopsi konstruk asumsi yang mendasar, memberikan justifikasi untuk ide dan tindakan.
Kemudian mengevaluasi justifikasi tersebut melalui perbandingan dengan berbagai perspektif, serta menilai rasionalitas dan potensi konsekuensinya.Dia layaknya kerja-kerja teknokratik, akademis dan prosedural.
Tujuan berpikir kritis adalah membentuk suatu penilaian melalui penerapan analisis dan evaluasi yang rasional dan tidak bias.
Daya kritis alumni organisasi perguruan tinggi bahkan tingkat sekolah dasar sekalipun merupakan elemen penting dalam demokrasi dan mengangkat harkat martabat almamater tetapi sering kali daya kritis itu tidak berdampak signifikan pada perubahan kualitas semestinya, karena beberapa alasan.
Pertama, keterbatasan akses terhadap pengambilan keputusan.
Meskipun alumni memiliki daya kritis, keputusan strategis pengalokasian sumber daya pun kebijakan umumnya berada di tangan elite organsiasi IKA dan kelompok berpengaruh, inner circle.
Jika mekanisme demokrasi di tubuh organisasi tidak berjalan dengan transparan dan akuntabel, kritik dari warga alumni yang sering disuarakan du mimbar WAG atau di medsos, sering kali tidak menghasilkan perubahan nyata.
Kedua karena rendahnya partisipasi alumni dalam mewakafkan ide dan sumber daya.
Banyak alumni kritis tetapi tidak terlibat (atau enggan datang saat diundang) dalam tindakan nyata seperti pembentukan organisasi alumni, pada advokasi kebijakan perlindungan dan pemberdayaan alumni, atau gerakan sosial yang dicetuskan oleh organisasi IKA.
Sikap alumni yang apatis terhadap ’politik pengambilan keputusan’ menyebabkan kritik hanya berhenti sebagai opini tanpa tindak lanjut yang konkret.
Ketiga, merebaknya dominasi kepentingan elite dan oligarki. Fenomen pendengung di banyak negara hingga ke ceruk desa-desa kita tidak dihindari keberadaannya.
Sistem politik dan ekonomi yang selama ini dikendalikan oleh kelompok elite yang memiliki kepentingan tertentu juga melihat posisi staregis alumni, maupun pada organisasi kealumnian mereka. Alumni harus diredam, begitu benak mereka.
Para elite dan oligarki ini mereka memiliki sumber daya untuk mempertahankan status quo pada inistitusi yang menjadi sasaran daya kritis alumni, sehingga kritik alumni sulit mengubah kebijakan yang menguntungkan mereka.
Keempat, ada indikasi represi dan pembatasan kebebasan berpendapat menjadi fakta baru dalam diskursus perubahan sosial yang dimotori oleh oleh alumni atau organisasi IKA-nya.
Di beberapa negara atau perguruan tinggi, daya kritis mahasiswa atau alumni dibatasi oleh aturan atau tekanan dari pemerintah, baik melalui sensor media, kriminalisasi aktivisme, maupun ancaman terhadap kebebasan berbicara. Hal ini membuat warga takut untuk menyuarakan kritik lebih jauh.
Di sejumlah grup-grup media sosial, orang-orang yang mengaku intelektual, atau aktivis, atau penganjur gerakan sosial hanya nampak seperti humoris sesaat, penyampai broadcast dan berbagi video-video lucu hasil Tiktok, dia tidak mau peduli bahwa video itu fake atau hasil kerja pihak-pihak yang mungkin tidak pernah sekolah.
Ada kenyataan memiriskan, tentang semakin kurangnya kesadaran kolektif dan soliditas gerakan untuk mengkreasi pengetahuan sendiri. Mungkin mereka lelah atau sudah lama berproses tapi tiada hasil.
Kenyataannya, semua terbahak, semua tertawa, meski mungkin nanti saat pulang dari warkop, tiba di rumah, istri atau anak-anaknya minta jajan dan dia kelimpungan.
Mestinya mereka tahu bahwa kritik yang terfragmentasi atau hanya bersifat individual atau lebih banyak ha-ha-ha, sulit menciptakan perubahan di lingkungan kealumnian mereka.
Ke depan, dibutuhkan gerakan yang kuat dan terorganisir agar daya kritis dapat diubah menjadi tekanan ’politik’ yang efektif. Jika alumni tidak bersatu, dampaknya akan minim.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah pengaruh media dan disinformasi. Media yang berpihak pada kekuasaan atau menyebarkan disinformasi dapat mengalihkan perhatian alumni dari isu-isu penting di sekitar mereka, atau kelak di hadapan mereka.
Akibatnya, daya kritis alumni bahkan masyarakat luas menjadi tumpul karena kurangnya informasi yang akurat dan objektif. Semua menyanjung, semua followers.
Pembaca sekalian, daya kritis alumni memang penting, tetapi tanpa pengkondisian mekanisme demokrasi yang sehat, partisipasi aktif, dan solidaritas sosial yang kuat, kritik sering kali tidak cukup untuk mengubah kualitas hidup kita.
Oleh sebab itu, siapapun pemilik daya kritis itu, doronglah agar ada wahana untuk semua bisa berkontribusi, berbagi pengalaman dan berpikir kritis tentang apa yang bisa diubah dengan itu semuua.
Jadi, untuk menciptakan perubahan nyata, daya kritis harus diikuti dengan tindakan nyata seperti partisipasi alumni dalam pengambilan keputusan seperti Mubes, Raker atau rapat program, lalu terus membakar semangat advokasi kebijakan dari sudut pandang alumni yang memang punya pengalaman, atensi dan pemihakan.
But who cares?
Tamarunang, 10/2/2025