Mengapa kesetaraan gender dalam kurikulum pendidikan pariwisata Indonesia sangat penting

  • Whatsapp
Redempta Tete Bato (dok: istimewa/SHF)

DPRD Makassar

Pelakita.ID menjadi media partner pada gelaran WTIDtalk bagian 3 yang digelar oleh Women in Tourism Indonesia (WTID). Berikut laporannya.

 

Read More

PELAKITA.ID – Sebagai platform pertama di Indonesia yang turut mengkampanyekan kiprah dan pemberdayaan perempuan secara umum, dan terkhusus pada sektor pariwisata, Women in Tourism Indonesia (WTID) kembali hadir dalam Women in Tourism Indonesia Talk seri 3 (WTIDtalk #3).

Pada WTIDtalk #3 ini, Women in Tourism Indonesia berkolaborasi dengan Wirta Indonesia, mengangkat tema mengenai kesetaraan gender khususnya dalam kurikulum pendidikan pariwisata.

Menyadari kompleksitas persoalan yang dihadapi perempuan di dunia hingga saat ini, membuat isu kesetaraan gender masih menjadi hal yang terus diperjuangkan. Kehadiran women studies atau kajian perempuan—yang berawal dari gerakan feminis, seolah menjadi respon atas tantangan ini.

Lahir dari gagasan oleh ketidakpuasan atas perkembangan ilmu pengetahuan yang seringkali bersifat andro-sentris, kajian ini lambat laun menjadi gelombang akademik di ranah pendidikan.

Jalannya acara

WTIDtalk #3 “Penerapan Kesetaraan Gender dalam Kurikulum Pendidikan Pariwisata Indonesia” berlangsung pada Sabtu, 28 November 2020, pukul 08.45-11.30 melalui Zoom dan Youtube.

Terdapat 3 pembicara yang berasal dari latar belakang yang berbeda, dan membagikan pengalamannya berkecimpung di sektor pariwisata, baik dari segi pendidikan akademis, vokasional, dan industri pariwisata lainnya.

Pertama, Dr. Wiwik Sushartami, M.A, dosen S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Dr Wiwik sudah lama tertarik dan fokus pada isu-isu mengenai perempuan dan lingkup sosial.

Dia pernah mendapatkan penghargaan dari National University of Singapore untuk Research Scholarship di tahun 1998-2000 dan penghargaan dari Leiden University, Royal Netherlands Academy of the Arts and Sciences untuk gelar PhD Scholarship nya.

Perempuan ini telah banyak menghasilkan publikasi, baik tingkat nasional maupun internasional mengenai perempuan dan isu-isu sosial.

Selain itu, dia juga aktif dalam berbagai penelitian dengan tema menarik, seperti dark tourism dan partisipasi perempuan dalam ekowisata Rangkuman Materi Talkshow.

Dia menejelaskan bahwa terminologi kata “gender” seringkali masih belum tepat.

Gender diartikan sebagai jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, yang mana tidak benar. Gender merupakan sebuah gagasan, praktik kultural dan sosial yang ada di masyarakat berkaitan dengan pembedaan sex secara biologis.

Terdapat beberapa spektrum dari gender, di antaranya gender identity, gender expression, biological sex, dan sexual orientation {

“Perkembangan isu gender dalam ranah pendidikan pariwisata sudah dimulai sekitar tahun 1995, yang terstruktur secara sosial dalam pembagian kerja, waktu luang, seksualitas, dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki,” jelasnya.

Dia juga menjelaskan bahwa data pariwisata di Indonesia menunjukan bahwa masih terjadi kesenjangan gender dalam pekerjaan berkaitan dengan jenis pekerjaan yang mana kebanyakan perempuan bekerja di sektor domestik dan adanya kesejangan upah (wage gap) antara laki-laki dan perempuan. (sumber: “Kondisi Ketenagakerjaan”, Bappenas, 2018)

“Terdapat beberapa isu yang menjadi dasar perlunya pengajaran dan penelitian pariwisata berperspektif gender, yaitu: ideologi dan praktik gender, lapangan pekerjaan dan pemberdayaan, mobilitas, seksualisasi pariwisata, persimpangan vektor penindasan lainnya, dan penelitian tentang gender dalam pariwisata,” paparnya.

Saat ini, lanjut Wiwik, sangat penting untuk memasukan perspektif gender ke setiap kurikulum pembelajaran pariwisata karena pariwisata menjadi sektor unggulan dan dalam pengembangan pariwisata di Indonesia berkaitan erat dengan perempuan sebagai bagian dari SDM pariwisata

Pembicara kedua adalah Redempta Tete Bato dari Yayasan Sumba Hospitality Foundation..

Redempta Tete Bato yang akrab disapa Dempta menyelesaikan studi S1 di Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Kemudian pada tahun 2018, Dempta melanjutkan ke pendidikan nonformal pada program Sustainable Tourism Development dengan beasiswa dari Australia Awards Scholarship.

Sejak tahun 2016 hingga saat ini, Dempta menjabat sebagai Ketua Yayasan Sumba Hospitality Foundation.

Tahun ini, beliau terpilih sebagai Wakil Ketua Asosiasi Desa Wisata di Nusa Tenggara Timur.

Selain itu beliau juga terpilih sebagai Ketua Forum Pariwisata Sumba Barat Daya dan Koordinator Asosiasi Pariwisata berkelanjutan Sumba.

Atas dedikasinya, dia pernah mendapatkan penghargaan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia sebagai pekerja sosial terbaik di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Menurutnya, pengetahuan tentang gender akan berpengaruh terhadap implementasi kerja di bidang pariwisata. Pendidikan dan pelatihan vokasi yang ada di Sumba Hospitality Foundation untuk membuka peluang lebih baik bagi perempuan. Gender Mainstream menjadi nilai utama dari Sumba Hospitality.

“Sekolah vokasi memiliki kebebasan lebih besar untuk memberikan kesempatan kepada anak perempuan untuk bekerjadi bidang profesionallebih tinggi dan menduduki jabatan yang strategis. Selain itu, memberikan kesempatan dan peluan kepada perempuan untuk dapat menjadi owner,” urainya.

“Menerapkan kurikulum yang responsif gender yang didalamnya ada pendidikan gender, alcohol, drugs, self defence, self control, sex harassment,” jelasnya.

Redempta mengatakan bahwa gender merupakan kontruksi sosial atas individu (laki-laki dan perempuan) atas peran dan posisi mereka dalam masyarakat yang menimbulkan pola relasi antara laki-laki dan perempuan.

“Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Sumba adalah perihal human trafficking dengan mayoritas korbannya adalah perempuan. Jumlah kasus human trafficking di Sumba sudah menjadi yang terbesar di NTT,” sebutnya.

Di mata Redempta, perempuan Sumba yang terlibat dalam kegiatan pariwisata mendapatkan beberapa kendala, diantaranya perempuan seringkali hanya dilibatkan dalam kegiatan domestik, akses dan kontrol perempuan di pariwistaa masih sangat kecil karena masih dibatasi budaya yang terjadi di masyarakat, adanya image negative yang diterima oleh perempuan yang bekerja di industri jasa pariwisata (hospitalitas, spa, bar, dll) h.

Dia juga menyebut bahwa masih ada diskriminasi untuk posisi pekerjaan tertentu.

“Perempuan juga terkadang masih menjadi objek pariwisata yang dinilai dari aspek fisik (cantik, kulit putih, tinggi badan, dll). Persentase perempuan yang menduduki jabatan managerial masih sedikit,” ucapnya.

Ulfa Kasim-Aktivis Perempuan

Ulfa ini merupakan seorang aktivis perempuan yang saat ini bekerja sebagai Koordinator Program di Institut KAPAL Perempuan.  Sebelumnya, Ulfa pun pernah menjadi Fasilitator Training dan Konsultan Isu-Isu Gender dan Pluralisme.

Saat ini, bersama tim KAPAL perempuan sedang terlibat sebagai konsultan untuk penyusunan modul Training Kepemimpinan Perempuan Pedesaan untuk Advokasi Perencanaan-Penganggaran Pembangunan Desa yang Responsif Gender dan Inklusif.

Selain itu, Ulfa juga sedang terlibat sebagai konsultan untuk penyusunan alat audit gender dan penguatan perspektif gender organisasiorganisasi mitra program konservasi lingkungan.

“Selain itu, perempuan juga menghadapi persoalan stereotip dan subordinasi. Dalam pendekatan ekowisata, perempuan menghadapi beban kerja dan kerja tak berbayar,” katanya.

Menurut Ulfa, negara melibatkan masyarakat dalam sistem pariwisata. Namun, dalam pendekatan ini, perempuan yang juga punya tanggung jawab domestik, akan tidak dihargai secara ekonomis atas pekerjaan yang ia lakukan.

“Ketidakadilan yang dialami perempuan terjadi karna “keperempuanannya”, sehingga melahirkan ketidakadilan gender. Bentuk ketidakadilan gender secara umum terbagi menjadi enam; beban ganda, kekerasan, subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan stereotip,” sebutnya.

Dari ketidakadilan gender tersebut, timbul problem lain yang dihadapi perempuan, seperti perkawinan anak, kematian ibu hamil, dll.

‘Konsep gender adalah jenis kelamin sosial, yaitu pembedaan peran yang dikonstruksi masyarakat, dan dipengaruhi budaya patriarki, adat istiadat, agama, ekonomi, pendidikan, dll. Jika kita tidak melihat suatu persoalan dari kacamata gender tersebut, kita tidak akan melihat perempuan berada di posisi yang salah. Apabila pembeda tersebut dihapus, maka akan tercipta kesetaraan dan keadilan,” tandasnya.

Poin-poin penting Sesi Tanya Jawab

Faktor penting terkait kesetaraan gender adalah mindset yang kita miliki. Pemahaman akan kesetaraan harus ada di dalam pikiran,setara itu tidak tentang jenis kelamin. Akan tetapi, setiap orang memiliki hak atas diri dia untuk melakukan apa saja karena berdaulat penuh atas tubuhnya.

Selain itu, keyakinan bahwa dia memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki posisi tertentu dengan mengesampingkan jenis kelamin dan peran-peran sosial yang diberikan kepada diri kita.

Kedua, perlu adanya upaya untuk mengubah norma gender yang dipahami oleh masyarakat saat ini. Upaya tersebut tentu tidak hanya menyangkut pariwisata, tetapi perubahan yang lebih luas.

Adanya perubahan yang lebih luas tersebut yang akan memberikan dampak pada pariwisata baik pendidikan akademis maupun vokasional.

Ketiga, pendidikan gender untuk masyarakat harus dilakukan dengan tepat. Mengingat isu gender sangat sensitif dan berkaitan dengan budaya yang ada di lokasi tersebut perlu adanya pola pomunikasi yang tepat sehingga masyarakat juga dapat menerima informasi dengan baik. Komunikasi harus dilakukan secara dua arah dan tercipta diskusi bersama masyarakat.

Keempat, sebelum berbicara gender, dapat dimulai dengan upaya mengidentifikasi permasalahan perempuan sebagai masalah.

Kelima, setiap daerah memiliki budaya gender yang berbeda-beda dan membutuhkan pendekatan terkait pendidikan gender yang berbeda juga.Oleh karena itu, pendidikan gender akan sangat kontekstual dan tidak dapat disamakan satu daerah dengan daerah lainnya.

Kesimpulan

Melalui tema yang diangkat pada talkshow kali ini yang membahas mengenai Penerapan Kesetaraan Gender dalam Kurikulum Pendidikan Pariwisata Indonesia, dapat dipahami dorongan advokasi perlu dilakukan dan penting untuk memulai pemahaman mengenai gender.

Ini dapat disesuaikan dengan konteks budaya di setiap daerah kemudian dapat bermanfaat untuk pengembangan kurikulum pendidikan pariwisata yang ada di Indonesia, baik akademis, vokasional, dan sektor industri pariwisata secara langsung.

 

Editor: K. Azis

Related posts