PELAKITA.ID – Sore itu, ruang tunggu Gate 5 Bandara Internasional Ngurah Rai nyaris sepi. Hanya dua bule duduk di pojok, tenggelam dalam bacaan buku tebal. Waktu masih menunjuk pukul tiga sore. Penerbangan masih dua jam lagi.
Di kursi dekat colokan listrik, saya duduk santai, hanya membawa satu backpack — perjalanan ringan ke Makassar kali ini serasa tanpa beban.
Tiba-tiba seorang pria berbatik khas Bali mendekat. Tubuhnya mungil, kulitnya legam, namun urat-urat di lengannya tampak menonjol, tanda kekuatan yang masih terjaga.
Ia membawa dua tas kecil. Tanpa canggung, ia melepas batik cerah yang dikenakannya, menampakkan dada bidang dan perut yang nyaris sixpack. Lalu, ia mengenakan kaos berkerah sederhana, sambil menatap sekeliling dengan tenang.
“Saya Nyoman Gatra, dari Bali,” ujarnya, sambil tersenyum ramah.
”Gatra?,” balas penulis.
”Bukan, Gatreee….”
Ia baru saja selesai menghadiri upacara ngaben di kampung halamannya. “Anak saya meninggal. Saya sudah satu bulan di Bali ini mau balik ke Buol,” katanya lirih.
Usianya sekitar tujuh puluh tahun, meski ia sendiri sudah lupa tahun lahirnya. Dalam suaranya tak terdengar getir, hanya keikhlasan yang matang oleh waktu.

Tiga Puluh Tahun di Tanah Baru
Nyoman adalah salah satu peserta program transmigrasi dari Bali ke Sulawesi Tengah pada awal 1990-an. Sejak itu, ia tinggal di Kokobuka, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol — sebuah daerah yang berjarak beberapa jam perjalanan darat dari Gorontalo.
“Saya berangkat tahun sembilan puluhan. Sudah tiga puluh tahun lebih di Buol,” ujarnya.
Di tanah itu, ia membangun hidup dari nol. Rumah kayu berukuran delapan kali enam meter menjadi tempat bernaungnya. Dua kamar, satu WC, halaman kecil yang ia sulap menjadi kebun. “Luas semua lima are,” katanya.
Ia menanam kakao — pohon kehidupan di banyak wilayah transmigran. Sekali panen, ia bisa mendapatkan sekitar 20 kilogram biji cokelat dari 40 pohon yang tersisa. “Dulu masih harga tiga puluh ribu per kilo, sekarang seratus saja,” katanya tertawa kecil, menyiratkan suasana hatinya.
Selain bertani, ia juga memelihara sapi. Delapan ekor pernah ia punya, sebagian dijual untuk ongkos perjalanan ke Bali mengikuti upacara ngaben anaknya. “Dijual empat juta satu. Dua ekor delapan juta. Buat biaya ke Bali,” tuturnya, menghitung tanpa nada menyesal.
Ketika saya bertanya apakah ia bahagia sebagai transmigran, wajahnya menegang sejenak sebelum tersenyum lagi.
“Bahagia ya, sedang-sedang saja. Cukup untuk makan. Nanam, pelihara sapi, itu saja. Anak dua, satu meninggal, istri kerja di terminal kecamatan. Hidup senang, sederhana,” katanya pelan.
Ia menyebut anaknya yang wafat dengan kalimat yang menenangkan. “Anak saya sekarang sudah bebas,” ucapnya, seperti seorang petani yang rela melepas buah terbaik dari pohon kehidupannya.
Kehidupan Nyoman adalah gambaran jujur tentang banyak transmigran di negeri ini: datang dari jauh, membangun rumah di tanah baru, dan menanam nasib dengan tangan sendiri. Tak ada keluhan, tak ada penyesalan — hanya kerja keras dan kesetiaan pada hidup.

Menanam untuk Bertahan
Nyoman tak pernah berhenti bergerak dari rumah ke ladang, dari rumah ke padang gembala sapi. Ia mengaku pernah ke Palu, Tolitoli, dan kini untuk pertama kalinya ke Gorontalo.
“Dulu ke Bali sudah enam kali, tapi lewat Palu. Ini pertama lewat Gorontalo,” katanya terkait perjalanan pulangnya dari Bali via Lion Air.
Ia masih ingat masa awal ikut progra, transmigrasi.
“Waktu itu pemerintah bilang, siapa mau ke Sulawesi Tengah, daftar. Dikasih beras, minyak, semua lengkap, kecuali rokok,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Ia menyebut, dalam rombongan itu ada orang Jawa, Lombok, dan Lombok, bukan hanya untuk Sulawesi Tengah tetapi untuk Sulawesi Selatan juga.
Bersama mereka, Nyoman Gatra membangun kampung baru bersama — menebas hutan, membuka kebun, dan membagi masa depan. Di tanah yang mungkin mereka tidak pernah bayangkan sebelumnya. Harus jauh dari tanah kelahiran dan menatap masa depan di pulau jauh seberang.
Kini, tiga dekade kemudian, Nyoman tetap di Buol. Rumah kayunya masih berdiri, pohon kakaonya tetap berbuah, dan tubuhnya yang legam masih kokoh menantang usia. Ia bekerja, tertawa, dan hidup seperti biasa — sederhana, tapi penuh makna.
Ketika pengumuman boarding terdengar, ia bangkit, menenteng dua tas kecilnya, dan berjalan perlahan menuju pintu keberangkatan.
“Saya kerja, senang-senang saja. Sehat, semangat, itu cukup,” katanya sebelum berlalu.
Saya memandangi punggungnya yang menjauh, kecil tapi teguh — seperti batang kakao yang tumbuh di kebunnya di Buol. Ia menanam bukan untuk kaya, melainkan untuk bertahan. Ia hidup bukan untuk dikenang, melainkan untuk bersyukur.
Dalam sosok Nyoman Gatra, saya melihat wajah Indonesia yang sabar: mereka yang jauh dari sorotan, tapi setiap hari menanam harapan di tanah transmigrasi — tempat di mana kerja keras, kehilangan, dan cinta keluarga berpadu menjadi satu: ikhlas.

Tentang Buol dan Transmigrasi
Kabupaten Buol terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Tengah dan berbatasan langsung dengan Provinsi Gorontalo di sebelah timur. Wilayah ini merupakan salah satu daerah transmigrasi tertua di Sulawesi, tempat bertemunya berbagai suku seperti Bali, Jawa, dan Bugis yang hidup berdampingan dengan masyarakat Buol asli.
Secara geografis, Buol memiliki lanskap yang beragam—dari dataran pesisir hingga perbukitan subur di kaki Pegunungan Pohugul yang masih menyimpan hutan-hutan alami. Kehidupan masyarakatnya banyak bergantung pada sektor pertanian, perkebunan kakao, serta peternakan sapi yang menjadi ciri khas ekonomi pedesaan di kawasan ini.
Secara administratif, Kabupaten Buol terdiri atas 11 kecamatan dan lebih dari 100 desa dan kelurahan. Kecamatan tersebut adalah: Biau, Bokat, Bukal, Bunobogu, Gadung, Karamat, Lakea, Momunu, Paleleh, Paleleh Barat, dan Tiloan. Nyoman Gatra ada di Kecamatan Tiloan.
Kecamatan Tiloan terdiri atas sembilan desa, masing-masing yaitu Air Terang, Balau, Boilan, Jati Mulya, Kokobuka desa di mana Nyoman Gatra tinggal. Lalu ada Lomuli, Maniala, Monggonit, dan Panilan Jaya.
Kesembilan desa ini tersebar di wilayah dengan bentang alam yang beragam, mulai dari pesisir hingga dataran tinggi yang subur, menjadikan Tiloan sebagai salah satu kecamatan dengan potensi pertanian dan perkebunan yang menonjol di Kabupaten Buol.
Kecamatan Biau menjadi pusat pemerintahan kabupaten, sementara wilayah seperti Momunu dan Bokat dikenal sebagai sentra pertanian. Setiap kecamatan memiliki karakter sosial dan geografis yang khas, dengan desa-desa yang tersebar di lembah, pesisir, dan dataran tinggi—mewarnai dinamika kehidupan agraris yang sederhana namun tangguh di ujung utara Sulawesi Tengah.
Denpasar, 9 Oktober 2025
