Di Persimpangan Samudera: Daya Tarik Tuna Sirip Biru, CCSBT dan Medan Pertarungan Indonesia

  • Whatsapp
Penulis di arena pertemuan tahunan CCSBT Bali. Selamat kepada para anggota CCSBT dan KKP serta mitra pendukung yang akan menggelar pertemuan tahunan CCSBT besok di Bali, dari tanggal 6 hingga 9 Oktober 2025 (dok: Pelakita.ID)

Southern Bluefin Tuna adalah lebih dari sekadar ikan. Ia adalah simbol pertarungan kepentingan global, sekaligus cermin dari dilema pembangunan kita. Indonesia, dengan semua kelebihan dan kekurangannya, sedang berada di persimpangan.

PELAKITA.ID – Perbincangan nan berkualitas tentang pertunaan penulis peroleh setelah berbincang dua sosok yang penulis kenal sejak lama.

Keduanya adalah Nilanto Perbowo – pejabat KKP ‘multi-lintas Direktorat Jenderal’ dan Prof Indra Jaya. Nilanto penulis kenal pertama kali saat sama-sama menjadi bagian dalam COREMAP fase 1 tahun 1999 dan pernah menjadi pemuncak di beberapa Direktorat Jenderal KKP dua dekade terakhir.

Prof Indra Jaya, siapa yang tak kenal Guru Besar IPB University bidang akustik kelautan dan juga sosok di balik Komnas Kajiskan ini?

Berikut catatan terkait realitas, isu dan apa yang bisa dilakukan ke depan di tengah momentum pelaksanaan pertemuan tahunan Comission of Conservation of Southern Bluefin Tuna yang akan digelar besok tanggal 6 hingga 9 September 2025 di Bali.

Sebagai catatan, jika ada yang belum jelas atau berpotensi ‘misleading’ itu murni tanggung jawab penulis.

___

Di kedalaman samudra selatan, berkelana seekor ikan yang menjadi rebutan bangsa-bangsa: Southern Bluefin Tuna (SBT). Tubuhnya ramping, dagingnya bernilai tinggi, dan perjalanannya melintasi lautan menjadikannya salah satu komoditas paling berharga di pasar dunia.

Dari restoran sushi di Tokyo hingga pasar ikan di Sydney, SBT selalu menjadi primadona. Namun di balik gemerlap harga yang melangit, ada kisah panjang tentang diplomasi, kuota, dan pertarungan kepentingan global.

Kisah itu menemukan panggungnya dalam sebuah organisasi internasional bernama Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).

Didirikan pada awal 1990-an, CCSBT lahir dari kegelisahan tiga negara besar—Australia, Jepang, dan Selandia Baru—yang khawatir populasi SBT akan runtuh akibat penangkapan berlebih.

Ketiganya, yang sejak 1950-an sudah menguasai perikanan SBT, duduk bersama, merumuskan aturan, dan membangun sistem kuota. Dari sinilah lahir sebuah rezim tata kelola internasional yang hingga kini menjadi arena tarik-menarik kepentingan.

Tuna disusun sebelum pelelangan pertama di awal tahun di Pasar Ikan Tsukiji, Tokyo, pada bulan Januari (dok: https://www.npr.org/).

Menggeledah Cerita Tuna Sirip Biru di Jepang

Tuna sirip biru memiliki makna budaya yang sangat kuat di Jepang. Bagian perut berlemak yang disebut otoro menjadi simbol prestise dalam kuliner Jepang, terutama sejak budaya sushi berkembang pesat setelah Perang Dunia II.

Ikan ini segera menempati posisi paling bergengsi di restoran sushi kelas atas (sushi-ya).

Bahkan, lelang tuna pertama di Pasar Toyosu Tokyo setiap awal tahun diperlakukan sebagai peristiwa simbolik.

Para pembeli kaya, biasanya pemilik jaringan sushi ternama, rela membayar harga selangit untuk mendapatkan tuna terbesar, bukan hanya demi rasa, melainkan juga untuk menunjukkan status dan menarik perhatian pelanggan.

Kelangkaan biologis turut memperkuat nilai ikan ini. Tuna sirip biru, khususnya spesies Atlantik dan Selatan, tumbuh lambat dan baru matang secara reproduktif setelah waktu yang panjang, menjadikannya rentan terhadap penangkapan berlebih.

Stok liar telah dieksploitasi selama puluhan tahun, sehingga pasokan terus menurun dan harga terdorong naik karena kelangkaan. Kondisi ini semakin terasa karena Jepang mengonsumsi sekitar 80 persen dari total tuna sirip biru dunia, sehingga permintaan menjadi sangat terkonsentrasi dan intens.

Dengan standar penilaian mutu yang ketat, Jepang hanya menerima ikan dengan warna, tekstur, lemak, dan kesegaran terbaik

Seekor tuna besar bisa menghasilkan potongan premium seperti otoro, chutoro, dan akami yang masing-masing memiliki nilai kuliner tinggi, terutama untuk sushi dan sashimi.

Di luar faktor biologis dan kuliner, dinamika pasar juga memberi kontribusi besar pada harga yang fantastis. Hanya sedikit lokasi penangkapan yang mampu menghasilkan tuna berkualitas terbaik, misalnya Oma di Prefektur Aomori, Jepang, di mana seekor ikan bisa dijual hingga ratusan ribu dolar.

Inilah contoh daging tuna sirip biru nan khas (dok: Pelakita.ID)

Lelang di Toyosu bahkan sering berubah menjadi ajang pertunjukan, dengan harga yang melambung bukan demi keuntungan dagang, melainkan untuk pencitraan dan publisitas.

Fenomena ini makin diperkuat dengan simbolisme dan prestise, seperti pada 2019 ketika seekor tuna seberat 278 kilogram terjual 3,1 juta dolar kepada pemilik Sushi Zanmai. Walau secara bisnis sering merugi, pembelian semacam itu menjadi magnet pemberitaan nasional dan strategi promosi efektif.

Di sisi lain, regulasi internasional yang ketat melalui CCSBT, ICCAT, maupun WCPFC membatasi tangkapan demi pemulihan stok.

Upaya pembesaran tuna di penangkaran memang menunjukkan kemajuan di Jepang dan Spanyol, tetapi hingga kini ikan hasil budidaya belum mampu menggantikan sepenuhnya nilai simbolik dan prestise tuna sirip biru yang ditangkap langsung dari laut.

Trio Penjaga Awal dan Indonesia kemudian

Permintaan konsumen Jepang terhadap sashimi kelas premium membuat negeri sakura ini menaruh kepentingan besar pada SBT. Lebih dari sekadar penangkap, Jepang adalah “jantung pasar” yang menentukan nilai ekonomi ikan ini.

Australia tampil dengan wajah konservasi. Sebagai negara pesisir yang menyaksikan populasi SBT kian menipis, Australia mendorong aturan ketat dan kuota pemulihan.

Sementara itu, Selandia Baru hadir sebagai mitra strategis, mendukung upaya konservasi sambil mengamankan kepentingannya sebagai penangkap aktif.

Tiga negara ini menjadi fondasi awal CCSBT. Mereka mengatur kuota, mengawal kepatuhan, sekaligus menegaskan dominasi dalam panggung SBT. Namun dominasi itu pula yang kelak dipertanyakan, ketika negara-negara lain mulai menuntut keadilan dalam alokasi.

Di antara garis migrasi SBT, ada satu titik penting: perairan selatan Jawa, tempat satu-satunya lokasi pemijahan SBT. Artinya, Indonesia bukan sekadar “tetangga” dalam peta ekologi, tetapi rumah bagi kelangsungan spesies ini.

Tuna sirip biru di Jepang (dok: istimewa)

Indonesia baru bergabung ke CCSBT pada awal 2000-an, menjadi anggota penuh pada 2008. Masuknya Indonesia memberi dimensi baru: suara negara berkembang yang ingin menegaskan haknya. Namun, posisi ini tidak selalu mudah.

Di satu sisi, Indonesia terikat aturan internasional yang sudah lama dirancang oleh trio pendiri. Sampai di sini, penulis ingat sejarah Kapitalisme, relasi pekerja dan juragan atau komprador, atau Borjuis dan proletaar, hingga post-strukturalis.

Pesan yang ingin disampaikan beranikah membongkar sistem lama di tengah dahaga kebaruan sistemik atas nama keadilan sosial, pembanguann Bangsa Maritim Indonesia dan keadilan ekologis terhadap tuna sirip biru ini?

Di sisi lain, nelayan tradisional kita terus menggantungkan hidup dari laut yang sama.

Ketegangan itulah yang membuat posisi Indonesia kerap dilematis. Harus menjaga hubungan baik dengan negara besar, tetapi juga wajib membela nelayan kecil. Harus patuh pada aturan kuota, tetapi juga menolak jika aturan itu mengabaikan realitas lokal.

Di lapangan, masalah tak pernah sederhana. Identifikasi spesies sering keliru: cakalang dicatat sebagai yellowfin, yellowfin dikira SBT. Akibatnya, data tidak selalu akurat.

Ada pula praktik switching—ikan jenis lain dicampur dan dilaporkan seolah-olah SBT. Semua ini mengurangi kredibilitas Indonesia di forum internasional.

Masalah lain adalah IUU fishing—penangkapan ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur. Indonesia sudah berusaha keras menegakkan aturan, tetapi bayang-bayang praktik curang selalu ada.

Kuota menjadi persoalan paling politis. Jepang dan Australia, yang sejak awal menjadi “pemilik panggung,” masih memegang porsi besar. Indonesia, meski menjadi negara berkembang dengan kapasitas tangkap meningkat dan nelayan kecil yang masih bergantung pada SBT, sering merasa hanya diberi jatah sisa.

Potensi dan Kekuatan Indonesia

Meski demikian, Indonesia tidak datang dengan tangan kosong. Sistem dokumentasi tangkapan berbasis elektronik (Catch Documentation Scheme) sudah diterapkan. Data kapal, lokasi tangkap, hingga nilai rupiah setiap kilogram ikan kini bisa ditelusuri. Analis muda kita juga semakin mumpuni, berani bicara di forum internasional, bahkan melahirkan proposal yang kuat dan rasional.

Dengan posisi geografis strategis, rumah bagi pemijahan SBT, serta populasi nelayan kecil yang bergantung pada laut, Indonesia sesungguhnya punya legitimasi yang kuat.

Di persimpangan samudera pengembangan kelautan dan perikanan Indonesia, tantangannya adalah perlunya segera menunjukkan keberanian politik tak biasa —political will—untuk bersuara lantang, menantang dominasi lama, dan menegaskan kepentingan nasional.

Jika demikian harapannya, lalu apa yang harus dilakukan Indonesia?

Pertama, terus menerus memperkuat data dan membuatnya lebih komprehensif dan mudah dikonsolidasikan. Tanpa data yang kredibel, suara kita akan dianggap angin lalu.

Kedua, memperkuat kelembagaan negosiasi. Unit yang menangani isu internasional di KKP harus naik kelas, dari sekadar teknis menjadi strategis dan punya daya gedor yang dahsyat pada sisi agenda setting, transformasi kapasitas di tingkat pelaku di garis depan hingga memengaruhi negara-negara mitra untuk konsisten pada komitmen bersama.

Ketiga, membangun kelembagaan koalisi negara berkembang. Dengan demikian, perjuangan alokasi yang lebih adil tidak hanya menjadi suara Indonesia, tetapi gerakan kolektif.

Di atas semuanya, sekali lagi, Indonesia membutuhkan keberanian. Mungkin tak harus seperti China yang ogah diatur oleh asosisasi tetapi menjadi faktor penting dalam menyusun agenda perubahan substansial namun produktif dan berimplikasi pada ekonomi maritim.

Keberanian untuk menyatakan bahwa nelayan kecil harus menjadi prioritas. Keberanian untuk menantang kuota yang timpang. Dan keberanian untuk membalik narasi: dari sekadar penerima aturan menjadi pelopor perubahan tata kelola perikanan dunia.

Pembaca sekalian, Southern Bluefin Tuna adalah lebih dari sekadar ikan. Ia adalah simbol pertarungan kepentingan global, sekaligus cermin dari dilema pembangunan kita. Indonesia, dengan semua kelebihan dan kekurangannya, sedang berada di persimpangan.

Apakah kita akan terus menjadi pengikut yang puas dengan jatah kecil? Atau berani menjadi pelopor yang menulis ulang aturan permainan? Jawabannya ada pada keberanian kita untuk bersuara, pada data yang kita bawa, dan pada komitmen kita menjaga nelayan kecil.

Karena pada akhirnya, kisah SBT bukan hanya tentang pasar dan kuota, tetapi tentang bangsa yang sedang belajar menjadi pemimpin di samudra.

___
Penulis Kamaruddin Azis,
founder Pelakita.ID