PELAKITA.ID – Kehidupan petani dan nelayan selalu menjadi bahan perbincangan publik. Saat gabah melimpah, mereka justru merugi karena harga jual anjlok sementara biaya produksi sangat besar.
Begitu pula dengan nelayan tambak, ketika panen ikan berlimpah, harga di pasar turun drastis sehingga kerugian tak terhindarkan. Beban biaya pakan dan perawatan malah semakin menekan.
Situasi tersebut menjadi refleksi bagi H. Rustan Rewa, S.P. M.P, alumni Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Ujung Pandang yang kini menjabat sebagai Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemda Tolitoli, Sulawesi Tengah.
Pria asal Jeneponto ini pernah lama berkarier sebagai Kepala Dinas Tanaman Pangan Tolitoli. Pada wawancara jarak jauh bersama Pelakita.ID, Sabtu, 17 Agustus 2025, Rustan menegaskan bahwa tidak semua orang bisa benar-benar memahami petani—baik perasaan, kebutuhan, maupun harapannya.
“Kenapa banyak kebijakan pertanian belum berjalan efektif? Salah satunya karena adanya jarak sosial dan kultural,” ucapnya.
Menurutnya, semakin banyak pengambil kebijakan lahir dan besar di perkotaan atau terbiasa dengan dunia birokrasi, sehingga pengalaman mereka jauh dari realitas hidup petani.
Padahal, kata Rustan, bertani bukan sekadar soal teknik bercocok tanam, melainkan pergulatan harian dengan alam, ketidakpastian cuaca, fluktuasi harga, dan akses pasar. “Semua itu sulit dipahami hanya lewat angka-angka statistik atau laporan resmi,” tambahnya.
Rustan menilai, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia masih terjebak pada aspek teknis dan ekonomi semata. Banyak pihak menekankan target produksi, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi, sementara dimensi kemanusiaan petani kerap diabaikan.
“Bertani bukan hanya soal panen, tapi juga harga yang adil, rasa aman, martabat, dan keberlangsungan hidup keluarga,” jelasnya.
Ia menegaskan, martabat petani sering terabaikan karena dianggap seolah urusan pangan bisa ditangani pihak lain. “Akibatnya, kemandirian lokal melemah, dan kita selalu cemas dengan impor beras maupun ikan,” sebutnya.
Dalam konteks Tolitoli, Rustan menekankan bahwa isu pertanian tak bisa lagi dianggap persoalan lokal semata. Ada kompleksitas yang saling terkait—akses lahan, pupuk, modal, teknologi, regenerasi petani, hingga dampak perubahan iklim.
“Sayangnya, kebijakan sering tersandera kepentingan politik jangka pendek, proyek sesaat, atau tekanan pasar. Akibatnya, petani hanya dipandang sebagai angka pendukung, bukan aktor utama,” ujarnya.
Baginya, memahami petani membutuhkan empati: turun ke sawah, berdialog, dan merasakan denyut kehidupan mereka. “Tanpa itu, kebijakan hanya akan kering dan jauh dari realitas,” tegas Rustan.

Makna Kemerdekaan bagi Petani
Memasuki perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-80, Rustan mengajak semua pihak untuk menjadikannya sebagai momentum refleksi.
“Bagi kami di Tolitoli, Hari Kemerdekaan adalah saat mengenang jasa para pahlawan. Kini, pahlawan itu adalah petani dan nelayan. Mereka yang memastikan bangsa ini tetap hidup,” ucapnya.
Ia menambahkan, tanggal 17 Agustus mestinya menjadi kesempatan bagi rakyat dan pemerintah untuk merenungkan sejauh mana cita-cita kemerdekaan terwujud, terutama dalam hal keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemandirian bangsa.
Menurut Rustan, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga bebas dari kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan ketidakadilan.
“Hari Kemerdekaan harus jadi pengingat bahwa perjuangan bangsa belum selesai, terutama bagi masyarakat petani kita,” katanya. Karena itu, kemerdekaan Indonesia adalah simbol kedaulatan, pengikat persatuan, serta momentum membangun tekad mewujudkan kemandirian pangan nasional.
Rustan mengutip pesan kebaikan Bupati Tolitoli, Amran Hi. Yahya, yang disebutnya sosok pemimpin yang tumbuh dari akar masyarakat.
Berawal dari pengabdian sebagai Kepala Desa, kemudian terpilih sebagai anggota DPRD, lalu dipercaya menjadi Wakil Bupati, hingga kini menjabat sebagai Bupati Tolitoli untuk periode keduanya menurut Rustan membuat Bupati Amran sangat memahami denyut nadi kehidupan rakyat, khususnya petani dan nelayan yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
“Dalam setiap kebijakan, Pak Haji Amran selalu menegaskan prinsipnya: keberpihakan pada masyarakat kecil tidak boleh ditawar. Sikap tegas itu membuatnya konsisten berada di garis depan memperjuangkan kepentingan petani dan nelayan, mulai dari persoalan harga gabah, ketersediaan pupuk, hingga akses pasar hasil tangkapan ikan,” ucap Rustan.
Ia menyadari bahwa kesejahteraan Tolitoli tidak bisa dilepaskan dari kekuatan pangan dan maritim yang dikelola oleh warganya sendiri.
Kepedulian Amran tidak hanya tampak dalam program-program pembangunan yang pro-rakyat, tetapi juga dalam kedekatannya dengan warga di lapangan. Ia kerap turun langsung menyapa petani di sawah atau berdialog dengan nelayan di pesisir. Bagi Amran, pemimpin sejati bukan hanya membuat kebijakan dari balik meja, melainkan hadir bersama rakyat, mendengar keluh kesah mereka, dan mencari solusi nyata.
“Apa yang dilakukan Pak Bupati itu menginspirasi kami di bawahnya. Dengan cara inilah kami memastikan bahwa petani dan nelayan Tolitoli tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga bangkit sebagai pilar utama kemandirian dan kebanggaan daerah,” ucapnya.
Pesan untuk Petani, Pahlawan Masa Kini
Rustan menegaskan, petani yang merdeka adalah petani yang kreatif dan mampu berkreasi tanpa dibebani persoalan klasik—pupuk yang sulit, harga gabah yang jatuh, irigasi yang langka, atau tata kelola perberasan yang tidak sehat.
“Bagi petani, kemerdekaan sejati adalah kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Petani berada di garda terdepan menjaga kedaulatan pangan,” tegasnya.

Ia menambahkan, jika dulu pahlawan berjuang dengan bambu runcing, maka kini petani berjuang dengan cangkul, benih, dan teknologi untuk memastikan rakyat tidak kelaparan.
Karena itu, Hari Kemerdekaan ke-80 harus menjadi momentum memperkuat semangat berinovasi: menggunakan teknologi ramah lingkungan, mengelola lahan produktif, serta membangun koperasi dan usaha tani modern. “Keberhasilan pertanian hanya bisa lahir dari gotong royong: petani, penyuluh, pemerintah, akademisi, dan pelaku pasar,” ujarnya.
Rustan mengingatkan, tantangan petani hari ini bukan lagi kolonialisme, tetapi ketergantungan impor, harga yang tidak adil, dan tekanan pasar global. Ia menyerukan pentingnya regenerasi petani.
“Anak muda harus didorong melihat pertanian sebagai sektor strategis dan masa depan bangsa. Jangan malah menjauhkan mereka dari lahan,” pesannya.

“Makna Hari Kemerdekaan RI ke-80 bagi petani adalah meneguhkan kembali peran mereka sebagai penopang kedaulatan bangsa, sekaligus menguatkan tekad bertransformasi menuju pertanian yang modern, mandiri, dan berkeadilan,” pungkas Rustan Rewa, yang juga dikenal sebagai salah satu pilar Kerukunan Keluarga (KKSS) Sulawesi Selatan di Tolitoli.
Redaksi
