Standar Akuntansi Syariah: Pilar Transparansi atau Sekadar Formalitas?

  • Whatsapp

Standar Akuntansi Syariah: Pilar Transparansi atau Sekadar Formalitas? Ditulis oleh Syafika Rahma, mahasiswa Akuntansi D, NIM 90400122100.

PELAKITA.ID – Dalam beberapa tahun terakhir, industri keuangan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pembiayaan perbankan syariah tumbuh 9,77% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari Rp582,20 triliun pada Januari 2024 menjadi Rp639,07 triliun pada Januari 2025.

Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah juga meningkat 9,85% yoy dari Rp671,26 triliun pada Januari 2024 menjadi Rp737,39 triliun pada Januari 2025.

Pertumbuhan ini mencerminkan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah yang dianggap lebih adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Namun, di balik pertumbuhan tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah standar akuntansi syariah yang ada saat ini benar-benar menjadi pilar transparansi, atau justru hanya formalitas administratif semata?

Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAK Syariah) yang diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) bertujuan untuk memberikan panduan dalam penyusunan laporan keuangan syariah.

SAK Syariah meliputi aturan pencatatan dan pelaporan untuk transaksi syariah seperti mudharabah, musyarakah, dan murabahah.

Penerapan SAK Syariah diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah dalam praktik keuangan syariah di Indonesia. Namun, dalam praktiknya, masih banyak institusi keuangan syariah yang belum sepenuhnya menerapkan standar-standar ini secara konsisten dan menyeluruh.

Bahkan dalam laporan audit, sering kali ditemukan adanya kesenjangan antara prinsip akuntansi syariah dan pelaksanaan operasional. Beberapa laporan keuangan hanya menyisipkan label “syariah” tanpa memberikan penjelasan mendalam tentang penerapan prinsip-prinsip akuntansi syariah, seperti keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.

Transparansi dalam akuntansi syariah bukan sekadar penyajian angka, tetapi bagaimana angka-angka tersebut mencerminkan prinsip syariah secara menyeluruh. Dalam ekonomi Islam, akuntabilitas kepada Allah (hisbah) dan keadilan sosial menjadi fondasi utama.

Oleh karena itu, laporan keuangan syariah seharusnya tidak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga menjadi alat untuk menunjukkan bagaimana entitas syariah menjaga amanah, menjalankan prinsip keadilan, serta menghindari gharar dan riba dalam transaksi.

Sayangnya, saat ini belum semua entitas syariah mampu menjabarkan secara detail praktik akuntansi syariah dalam laporan keuangan mereka. Minimnya pemahaman akuntan terhadap standar syariah dan kurangnya pengawasan mendalam menjadi hambatan besar dalam mewujudkan transparansi sejati.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah keterbatasan sumber daya, kesulitan dalam mengukur kinerja transparansi dan kejujuran, serta kesulitan dalam mengubah budaya perusahaan.

Untuk menjadikan standar akuntansi syariah sebagai pilar transparansi, diperlukan langkah-langkah konkret seperti peningkatan literasi dan pelatihan bagi akuntan dan auditor syariah, penerapan sistem audit syariah yang ketat dan menyeluruh terhadap laporan keuangan syariah, serta penyempurnaan standar akuntansi syariah agar lebih kontekstual dan aplikatif sesuai kondisi Indonesia.

Selain itu, harmonisasi antara SAK Syariah dengan standar internasional seperti IFRS juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan syariah di Indonesia.

Dengan membahas topik ini, opini ini bertujuan untuk memberikan kontribusi penting dalam mendorong peningkatan akuntabilitas dan transparansi dalam sektor keuangan syariah Indonesia.

Standar akuntansi syariah di Indonesia memiliki potensi besar sebagai alat transparansi dan akuntabilitas dalam lembaga keuangan syariah. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Jika penerapannya masih bersifat simbolis dan formalitas belaka, maka cita-cita mewujudkan sistem keuangan Islam yang adil dan amanah akan sulit tercapai.

Saatnya para pemangku kepentingan—regulator, akuntan, auditor, dan akademisi—bersinergi untuk memastikan bahwa akuntansi syariah benar-benar menjadi pilar integritas dan bukan sekadar label.