PELAKITA.ID – Bagi banyak orang, status sebagai mahasiswa kerap diasosiasikan dengan keberhasilan dan kemajuan.
Mereka dipandang sebagai generasi penerus bangsa yang tengah mempersiapkan diri untuk terjun ke dunia profesional. Namun di balik citra yang membanggakan ini, terdapat kenyataan pahit yang tak selalu terlihat, yakni tekanan mental yang kerap hadir dalam bentuk stres akademik.
Stres akademik merupakan kondisi psikologis yang timbul akibat beban dalam lingkungan perkuliahan. Tekanan untuk memperoleh nilai tinggi, menyelesaikan tugas tepat waktu, mengerjakan skripsi, serta menyeimbangkan peran dalam organisasi dan kehidupan sosial dapat membuat mahasiswa kewalahan.
Tanpa disadari, tekanan ini menjadi “ancaman tersembunyi” yang perlahan menggerogoti kesehatan mental mereka.
Pemicu yang Beragam dan Kompleks
Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI (2023), lebih dari 30% mahasiswa di Indonesia mengalami gangguan psikologis tingkat ringan hingga sedang, dengan stres akademik sebagai salah satu faktor utama.
Di era digital saat ini, tekanan tersebut semakin berat karena tuntutan untuk selalu tampil bahagia di media sosial, yang justru memperbesar beban mental yang harus dipikul.
Graciatri (22), mahasiswi tingkat akhir dari salah satu universitas negeri di Makassar, membagikan kisahnya tentang tekanan yang ia alami selama kuliah.
“Awalnya saya kira wajar merasa lelah karena tugas. Tapi lama-lama saya sulit tidur, jadi mudah marah, bahkan kehilangan semangat untuk kuliah. Rasanya seperti terus dikejar waktu dan tuntutan,” ceritanya.
Pengalaman Graciatri bukanlah hal yang langka. Banyak mahasiswa mengalami hal serupa, namun bingung harus bercerita kepada siapa. Beberapa merasa takut dianggap lemah, sementara yang lain menganggap stres adalah bagian dari kehidupan kampus.
Padahal, jika tidak ditangani, stres ini dapat berdampak serius, mulai dari menurunnya konsentrasi, terganggunya hubungan sosial, hingga berkembang menjadi depresi.
Langkah Awal yang Berarti
Menangani stres akademik bukan hanya tanggung jawab pihak kampus, tetapi juga harus dimulai dari diri mahasiswa sendiri.
Kemampuan mengelola stres perlu diajarkan sejak dini, seperti keterampilan mengatur waktu, mindfulness, teknik relaksasi, dan keberanian untuk menolak beban yang melebihi kapasitas diri.
Rina (20), mahasiswa Kesehatan Masyarakat, memilih untuk aktif dalam komunitas kampus yang peduli terhadap isu kesehatan mental.
“Sejak bergabung, saya merasa nggak sendirian. Saya jadi lebih terbuka dan mulai belajar mengatur prioritas. Nggak semua tugas harus sempurna, yang penting kesehatan tetap terjaga,” katanya.
Langkah sederhana seperti bercerita kepada teman, mengambil waktu istirahat, atau mencari bantuan profesional bisa menjadi awal dari pemulihan.
Mewujudkan Budaya Peduli Kesehatan Mental
Penting bagi lingkungan kampus untuk membuka ruang diskusi tentang kesehatan mental tanpa stigma. Mahasiswa perlu merasa aman untuk membagikan perasaannya.
Semakin kita terbuka terhadap isu ini, semakin besar peluang untuk menemukan solusi yang tepat.
Karena pada hakikatnya, kehidupan mahasiswa bukan sekadar mengejar IPK tinggi atau menyelesaikan studi dengan cepat. Ini adalah masa penting dalam proses pendewasaan untuk mengenal diri sendiri, mengasah kemampuan menghadapi tekanan, dan tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara intelektual maupun emosional.
Penutup
Stres akademik adalah persoalan serius yang kerap tersembunyi di balik senyum mahasiswa. Masalah ini perlu ditangani dengan perhatian, empati, dan kerja sama semua pihak. Jangan biarkan mahasiswa berjuang sendiri menghadapi tekanan yang tak terlihat ini.
Mari ciptakan lingkungan yang lebih peduli, lebih terbuka, dan lebih sehat bagi generasi penerus bangsa.