Mengusir Hantu-hantu Kota

  • Whatsapp
Burung Hantu (dok: Jagad.ID)

PELAKITA.ID – Selama lima tahun bekerja di Bappeda Sulsel, saya mendapat banyak pengalaman, termasuk kisah eks kuburan Tionghoa yang disulap menjadi kantor.

Tulang-belulang manusia dipindahkan demi pembangunan yang entah berdampak baik atau buruk.

Saya teringat pembangunan Sulsel era Prof. Ahmad Amiruddin, yang membangun kantor Gubernur termegah di Indonesia Timur. Ia juga memindahkan Unhas ke Tamalanrea dan menjadikan Pettarani sebagai kawasan perkantoran pemerintah.

Kisah kuburan itu sering mengusik, terutama saat pulang larut. Ada cerita suara-suara aneh di kantor. Namun, saya menyadari bahwa ada “hantu” lain yang lebih mengusik ketenangan warga.

Lima tahun di Makassar memberi saya banyak kesan. Sebelumnya, saya tinggal di Selayar, Luwu, dan Aceh-Nias.

Dinamika kota ini terus berubah, membawa kegelisahan dan ketidaknyamanan bagi warganya.

Kota ini semakin padat dan ekstrem. Kemacetan dan ketidaknyamanan di jalan meningkat. Saya sendiri mengalami dua kecelakaan, di Jalan Mallengkeri dan Jalan Kakatua, membuat saya lebih waspada di jalan.

Hantu Sesungguhnya

Saya tinggal di Tamarunang, Gowa, sekitar 11-13 kilometer dari kantor. Jalur tercepat adalah melalui Pao-Pao, Aroeppala, dan Toddoppuli. Meski sempit, jalur ini lebih nyaman dibanding Pettarani.

Dulu, saya sering melewati Pettarani meski lebih jauh. Namun, kemacetan parah membuat waktu tempuh membengkak dari 30 menit menjadi satu jam, terutama saat sore hari.

Sebagai pengguna jalan, saya merasa gerah dengan kondisi ini. Demonstrasi mahasiswa di depan UMI dan Universitas 45 sering menghambat lalu lintas, membuat akses semakin sulit.

Kemacetan makin parah akibat pertumbuhan pusat komersial yang tak terkendali. Jalan menyempit, kendaraan bertumpuk, dan warga semakin terjebak dalam ketidaknyamanan yang dibiarkan begitu saja.

Macet dan pembangunan tak terkendali beriringan. Kota berkembang pesat, tetapi tanpa aturan jelas. Saya mulai merenung, apakah semua ini memang bagian dari visi pembangunan yang telah dicanangkan?

Pettarani dulu dirancang sebagai pusat pemerintahan. Namun, kini berubah menjadi kawasan bisnis yang padat dan semrawut. Apakah pemerintah telah menyimpang dari rencana awal?

Demonstrasi dan kemacetan di Urip Sumoharjo mungkin terjadi karena kurangnya jalur alternatif. Apakah perlu ruang khusus bagi demonstran agar aktivitas warga tidak terganggu?

Pusat pemerintahan di Urip Sumoharjo dan perpindahan Unhas ke Tamalanrea memicu pertumbuhan pesat. Jika tidak diantisipasi, Perintis Kemerdekaan akan kehilangan arti, dan warga semakin tidak bebas bergerak.

Kemacetan terjadi di berbagai titik. Jalanan semakin sempit, ruang publik tergusur, dan kebijakan kota seolah mengutamakan investor dibanding kepentingan warga.

Hantu Pembangunan Kota

Setiap hari, kita dihantui kemacetan, klakson bersahutan, dan pengendara yang tergesa-gesa. Kota ini seperti dikejar waktu tanpa solusi yang nyata.

Pemkot membangun median jalan di Pettarani dan Alauddin. Namun, desainnya aneh dan sering rusak akibat kendaraan. Ruas jalan berlubang dibiarkan, menciptakan bahaya baru bagi pengguna jalan.

Di balik klaim kemajuan kota, warga justru semakin dihantui berbagai masalah: macet, pengemis, tukang parkir liar, hingga pembalap jalanan. Apakah ini yang disebut pembangunan?

Apakah kita bisa bangga dengan banyaknya pusat bisnis dan hiburan, sementara kenyamanan warga semakin terabaikan? Jika ini terus terjadi, siapa yang harus disalahkan?

Apakah perencana kota, pemimpin, atau politisi yang gagal melindungi warganya? Apakah mereka hanya sibuk membangun mercusuar kekuasaan tanpa memikirkan kehidupan rakyatnya?

Hantu pembangunan kota ada di balik kebijakan yang tak berpihak pada rakyat. Mereka menyulap ruang publik demi keuntungan pribadi dan mengabaikan kesejahteraan warga.

Hantu itu berlindung di balik janji manis dan kebijakan yang tak berpihak. Mereka lebih peduli pada investor daripada kebutuhan masyarakat yang semakin sulit.

Sebagai warga, kita harus melawan hantu-hantu ini. Kita harus mengusir mereka sebelum kota ini kehilangan jati dirinya dan hanya menjadi tempat bagi kepentingan segelintir orang.

Di kompleks kantor Gubernur, saya pernah melihat burung hantu besar yang tak berdaya.

Entah mengapa, pemandangan itu terasa seperti pertanda dari kota yang terus berubah tanpa arah yang jelas.