Corak Kampung Halamanku, Mengapa Warnamu Pudar?

  • Whatsapp
Suasana pagi di daerah Nuha, Luwu Timur (dok: Dini)

PELAKITA,ID – Ibarat jati diri manusia, kampung-kampung halaman kita semakin hari semakin tergerus karakter dan semangat kolektifnya.

Modernitas, urbanisasi, hingga masuknya pola hidup Barat menjadi tontonan dan keseharian kita jika berkaca pada dinamika kampung-kampung atau desa itu.

Sumber daya alam terkuras dan berkurang dari waktu ke waktu.

Tak hanya itu, tata kelola dan organisasi informal yang ada secara perlahan menjelma organisasi bentukan pihak luar, ormas-ormas tumbuh hingga persekutuan bisnis jual beli.

Yang sungguh makin mencemaskan, karena nilai-nilai kultural, sosial dan bahkan keagamaan secara perlahan terganti prosesi moderen seperti tafakur di depan gadget dan medsos.

Anda pasti pernah lihat di medsos warga desa yang tanpa sungkan ngonten dan beradegan porno di depan layar gadget bukan? Itu salah satu contoh saja. Mereka menggunakan simbol jari tengah tanpa malu.

Kita kembali ke kampung halaman di desa-desa  itu. Apa sesungguhnya yang terjadi?

Mengapa tidak bisa bertahan

Para pemikir perubahan sosial dan agraria telah mengingatkan beberapa alasan mengapa desa-desa kita semakin sulit bertahan di tengah modernitas.

Mengapa corak kehidupan yang ‘sosialis’, gotong royong, sipatuo sipatokkong, abbulo sibatang, mesa’ kada, assirondo-rondoang semakin hari semakin kehilangan coraknya?  Apa saja penyebabnya?

Teori Push-Pull dalam Migrasi (Everett Lee, 1966) menyatakan, pola migrasi berdasarkan faktor pendorong (alasan orang meninggalkan daerah pedesaan) dan faktor penarik (alasan orang tertarik ke daerah perkotaan).

Ada sejumlah faktor pemicunya. Yang pertama adalah kurangnya peluang kerja. Yang kedua, kondisi infrastruktur dan layanan yang buruk seperti pendidikan, kesehatan, transportasi.

Selain itu, ada kesulitan yang sulit ditebas dalam sektor pertanian secara turun temurun seperti pendapatan rendah, perubahan iklim, degradasi lahan. Pada saat yang sama terjadi stagnasi sosial dan budaya yang dicirikan oleh semakin melemahnya ’resource sharing’.

Lalu apa sesungguhnya yang membuat orang-orang desa berbondong ke kota? Apa saja faktor penariknya?

Pertama, upah yang lebih tinggi dan pilihan pekerjaan yang lebih baik. Lalu akses ke fasilitas modern dan kondisi hidup yang lebih baik.

Di kota, peningkatan dalam pendidikan dan layanan kesehatan berlangsung terus menerus. Dan ada ungkitan oleh mobilitas sosial dan pilihan gaya hidup

Teori di atas menunjukkan bahwa jika desa tidak dapat mengatasi faktor-faktor ini (misalnya dengan meningkatkan ekonomi lokal dan infrastruktur), urbanisasi akan terus menarik penduduk desa ke kota.

Yang kedua adalah Teori Modernisasi. Para pendukung teori modernisasi berpendapat bahwa seiring berkembangnya masyarakat, kehidupan pedesaan tradisional menjadi kurang menarik dibandingkan kehidupan perkotaan yang modern.

Teknologi dan industrialisasi yang memusatkan aktivitas ekonomi di kota-kota menjadi biangnya. Kota menjadi pusat pendidikan, inovasi, dan peluang, sehingga kehidupan desa tampak ketinggalan zaman.

Sehingga, terjadi pergeseran budaya terjadi, di mana generasi muda menolak cara hidup tradisional dan lebih memilih gaya hidup modern. Hal ini menunjukkan bahwa desa-desa kesulitan menahan laju urbanisasi karena mereka tidak dapat melakukan modernisasi secepat kota.

Yang juga terkenal adalah Teori Ketergantungan (Dependency Theory). Teori ini, yang sering digunakan dalam studi pembangunan, menyatakan bahwa daerah pedesaan tetap terbelakang karena mereka secara ekonomi dan politik bergantung pada pusat-pusat perkotaan.

Kota-kota mengekstraksi sumber daya (bahan mentah, hasil pertanian) dari desa, tetapi tidak cukup berinvestasi dalam pengembangannya. Daerah pedesaan sering kali terabaikan dalam rencana ekonomi nasional, yang memperkuat kemiskinan.

Akibatnya, penduduk bermigrasi ke kota untuk mencari peluang yang lebih baik, yang semakin melemahkan desa-desa.

Yang keempat adalah Teori Bias Perkotaan (Urban Bias Theory) oleh Michael Lipton, 1977. Lipton berpendapat bahwa pemerintah dan pembuat kebijakan lebih memprioritaskan daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan, yang mengakibatkan:

Investasi yang lebih baik dalam infrastruktur, layanan, dan industri di kota. Sehingga terjadi apa yang disebut pengabaian terhadap desa, sehingga mereka menjadi kurang kompetitif. Migrasi menjadi strategi bertahan hidup bagi penduduk desa, yang mempercepat urbanisasi.

Kelima, Teori Kontinuum Desa-Kota (Rural-Urban Continuum Theory).

Teori ini menyatakan bahwa desa dan kota tidak sepenuhnya terpisah, tetapi merupakan bagian dari suatu kontinuum. Namun, karena adanya perubahan ekonomi dan sosial, desa perlahan-lahan terserap ke dalam ekonomi perkotaan.

Seiring waktu, daerah pedesaan kehilangan identitasnya yang khas dan mengalami urbanisasi atau kemunduran.

Jadi secara umum dapat disebut, desa-desa esa tidak mampu menahan laju urbanisasi karena ketergantungan ekonomi pada pusat perkotaan, kurangnya investasi dalam infrastruktur, dan pergeseran sosial-budaya yang lebih mendukung gaya hidup modern di kota.

Jelang malam di pesisir Galesong (dok: Pelakita.ID)

Realitas Kampung Halaman

Inilah yang terjadi saat ini. Banyak penduduk desa, terutama generasi muda, memilih pindah ke kota untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Ini menyebabkan desa kehilangan tenaga kerja produktif dan mengalami kemunduran ekonomi.

Banyak desa masih tertinggal dalam hal infrastruktur seperti jalan, listrik, internet, dan layanan kesehatan. Ketika fasilitas dasar ini tidak tersedia atau terbatas, masyarakat cenderung meninggalkan desa demi kehidupan yang lebih nyaman di kota.

Sektor pertanian masih menjadi tulang punggung ekonomi desa. Namun, banyak desa tidak memiliki akses terhadap teknologi pertanian modern, modal, dan pasar yang baik. Akibatnya, hasil pertanian kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dari daerah yang lebih maju.

Di sisi lain, ekonomi desa sering kali bergantung pada sektor pertanian dan sumber daya alam.

Ketika sektor ini tidak berkembang atau mengalami tekanan (seperti perubahan iklim dan fluktuasi harga komoditas), desa sulit bertahan. Kurangnya industri atau sektor lain membuat banyak warga memilih pindah ke kota.

Pada saat yang sama terjadi perubahan sosial dan budaya.

Sebelum diganti fast food, salah satub ciri perubahan di kampung halaman (dok: Istimewa)

Modernitas membawa perubahan dalam gaya hidup dan pola pikir masyarakat desa, terutama generasi muda. Mereka cenderung lebih tertarik pada gaya hidup perkotaan yang lebih dinamis dibandingkan dengan kehidupan desa yang dianggap monoton.

Meskipun ada berbagai program pembangunan desa, banyak yang tidak berjalan optimal akibat birokrasi yang rumit, korupsi, atau kurangnya pendampingan yang efektif.

Banyak desa yang memiliki kekayaan alam justru mengalami eksploitasi oleh pihak luar tanpa memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat setempat. Ini bisa berupa penambangan, perkebunan skala besar, atau proyek infrastruktur yang tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat desa.

Apa yang bisa dilakukan ke depan agar warna desa kembali cerah?

Tentu saja yang pertama adalah tetap meningkatkan jumlah dan kualitas infrastruktur desa (jalan, listrik, internet) tetapi tak merusak tatanan ekosistem sosial.

Yang kedua terus mendorong inovasi dan modernisasi pertanian dengan menciptakan lapangan kerja berbasis potensi lokal, seperti industri kreatif atau pariwisata desa.

Ketiga, dan ini sangat fundamental adalah terus memberikan akses pendidikan dan pelatihan keterampilan bagi masyarakat desa.

Pada saat yang sama – ini juga sangat menentukan – adalah terus meningkatkan keterlibatan masyarakat, pemerintah dan sektor swasta dalam pembangunan desa secara berkelanjutan.

Jika itu bisa dilakukan dengan komprehensif, kita yakin, desa tetap bisa bertahan dan bahkan berkembang di tengah modernitas tanpa kehilangan identitasnya. Terus tumbuh dengan corak yang mereka buat dan rawat sendiri.

Penulis: Kamaruddin Azis