OBROLAN BILK SEBELAH OBS #23: Laode M Syarif berbagi inspirasi dari perbandingan polisi tiga negara

  • Whatsapp
Gambar polisi Jepang (dok: Kyodonews)

DPRD Makassar

Dari Jepang kita bisa belajar bahwa Polisi bisa kuat jika ada pengendalian perangkat informal, misalnya keluarga, tempat kerja, dan lingkungan. Demikian pula perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum dan kewenangan. Dan itu  tanggung jawab moral seluruh masyarakat.

PELAKITA.ID – Dua laporan menarik terkait tema Kepolisian dibagikan Laode Muhammad Syarif, anggota WAG Kolaborasi Alumni Unhas pagi ini, Rabu, 29/3/2023.

Dr Laode Muhammad Syarif adalah alumni Fakultas Hukum Unhas dan berkarir yang pernah menduduki posisi strategis dan penting sebagai Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Desember 2019.

Read More

Dua laporan dari Syarif  yang kini merupakan Direktur Kemitraan itu kemudian membawa arus obrolan menarik hingga terkuak Polda mana saja di Indonesia yang masuk kategori poor hingga  ‘very good’.

Perbandingan Polisi Jepang dan Amerika

Laporan yang dibagikan itu berjudul, Police And The People – Perbandingan Perilaku Polisi Jepang dan Amerika – Laporan Seminar Perilaku Polisi, 12 Mei 1977

Disebutkan. kajian dilakukan untuk melihat perbedaan mendasar antara sistem kepolisian Jepang dan Amerika sebab di Jepang, tingkat kejahatan jauh lebih rendah. ‘Budaya polisi’ Jepang dan nilai-nilai sosial yang berlaku dilihat sebagai faktor utama.

Dipaparkan, secara keseluruhan, tingkat kejahatan Jepang adalah seperempat  dari tingkat kejahatan di Amerika, ada 10 kali pembunuhan lebih banyak di Amerika dibanding di Jepang. Perkosaan 13 kali lebih banyak, dan perampokan 208 kali lebih banyak di Amerika.

Salah satu penyebab kriminalitas rendah di Pepang ini adalah kehadiran polisi yang lebih ramah dan bisa ditemui di mana saja.

Dicirikan oleh pendekatan dan keramahan polisi ke ‘koban’, atau siap berpos di depan toko warga, yang terletak dalam tujuh atau delapan blok dari setiap perumahan perkotaan.

Di Jepang polisi datang ke masyarakat secara rutin, setiap hari dan tak harus dalam konteks darurat.

Polisi Jepang juga melakukan pengecekan perumahan dua kali setahun, di mana data umum pada penduduk dan kegiatan kriminal yang ditunjukkan dikumpulkan dan kembali diajukan untuk referensi di masa mendatang.

Survei memberikan informasi yang berguna, bahwa diperlukan kecerdasan dasar, dan mempromosikan hubungan dekat antara polisi dan masyarakat.

Setiap kampung di Jepang memiliki asosiasi pencegahan kejahatan, beberapa di antaranya sangat aktif menyebarkan informasi keamanan dan pencegahan kejahatan serta anggotanya sekali-kali patroli jalan-jalan sebagai tambahan polisi saat darurat.

Masyarakat polisi jepang mencegah korupsi dan kebrutalitas melalui pengawasan internal dan tanggung jawab kepada angkatan secara keseluruhan, bukan melalui mekanisme dan tekanan eksternal.

Dijelaskan pula, polisi Jepang bersenjata, tetapi jarang menggunakan senjata mereka. Anggota kepolisian Jepang juga terlatih lebih baik dalam adu hand-to-hand (judo dan kendo) dibanding polisi Amerika.

Aspek masyarakat dan budaya Jepang yang berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kejahatan adalah pelajaran mekanisme pengendalian perangkat informal, misalnya keluarga, tempat kerja, dan lingkungan; kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum dan kewenangan; dan tanggung jawab moral keseluruhan dalam masyarakat.

Rekomendasi untuk Amerika

Pertama, penggabungan yurisdiksi polisi, yang akan mempertahankan komando terdesentralisasi, tetapi akan melakukan pendekatan standar di seluruh negara untuk gaji, pekerjaan, pelatihan, dan promosi pejabat.

Kedua, menambah mobil operasi dan menempatkan polisi di lingkungan di sekitar kawasan ramai seperti pertokoan.

Ketigam peningkatan fungsi pelayanan sosial; dan empat peningkatan identitas kelompok profesional, legitimasi diskresi, dan peningkatan pelatihan kepolisian. grafik statistik dan tabel pada tingkat kejahatan jepang ditambahkan.

Pengalaman Indonesia

Laode M. Syarif pun membagikan laporan berjudul Ringkasan Eksekutif Indeks Tata Kelola Polisi Dalam Mendukung Reformasi Kepolisian Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Publikasi bertahun 2017 itu ditulis oleh Inda Loekman, Lenny  Hidayat, Arif Nuridansah, Gery Sulistio Sriwiyanto, sebagai hasil kajian Kemitraan atau Partnership for Governance Reform

Pada laporan itu disebutkan, di negara yang mengalami transisi demokrasi seperti Indonesia, supremasi hukum menjadi salah satu faktor terpenting bagi keberhasilan transisi.

Oleh karena itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (‘Polri’) sebagai salah satu lembaga penegak hukum di negara ini diharapkan mampu menegakkan hukum dan keadilan.

UU Polri juga mengamanatkan mereka untuk menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (Harkamtibmas), serta memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat (Linyomyan). Untuk mengoptimalkan fungsi tersebut, Polri menerjemahkannya ke dalam Program Reformasi Birokrasi (PBR) Polri.  Program ini memiliki tiga fokus utama, yaitu (1) aspek struktural; (2) aspek instrumental; dan (3) aspek budaya.

Selain untuk mengoptimalkan fungsi Polri sesuai UU, ketiga aspek tersebut bertujuan untuk membangun personil Polri yang humanis, bersih dan profesional. Program PBR telah melalui dua tahapan dan hasilnya menunjukkan serangkaian transformasi struktural dan instrumental Polri yang terlihat oleh publik.

Namun, perubahan budaya yang menitikberatkan pada culture set dan mind set sebagai upaya untuk mentransformasikan kebiasaan yang ada, presumption persepsi, perilaku, motif kerja atau kepercayaan yang salah masih belum dialami secara langsung oleh masyarakat.

Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan alat untuk mengukur kemajuan ketiga aspek tersebut, terutama transformasi budaya yang menimbulkan persepsi masyarakat bahwa transformasi tersebut tidak terjadi di Polri.

Indeks Tata Kelola Kepolisian Kepolisian Negara Republik Indonesia – ITK) berupaya mengukur sejauh mana kemajuan kultural di tubuh Polri, sehingga setiap perubahan dapat diketahui secara jelas berdasarkan data maupun persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa kepolisian.

Partisipasi publik dengan berbagai latar belakang menjadi aspek penting dalam indeks ini.

Laporan ini merupakan rangkuman indeks tata kelola di 31 Komando Kepolisian Daerah (Polda) di seluruh Indonesia.  Program ini dilaksanakan bersama oleh Polri dan Partnership for Governance Reform in Indonesia – Kemitraan, dengan dukungan dari Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Laporan ini menyajikan tren kinerja sembilan satuan kerja (Satker) di lingkungan Polri, antara lain Binmas, Lantas, Intelkam Polri (Intelkam), Polisi Perairan (Polair), Reserse Kriminal Umum (Reskrimum), Khusus Reserse Kriminal (Reskrimsus), Unit Reserse Kriminal Narkoba (Resnarkoba), Pencegahan Kejahatan (Sabhara), Sumber Daya Manusia (SDM) di seluruh Polda.

Selain itu, laporan ini juga menunjukkan kepangkatan masing-masing Polda secara keseluruhan, baik dalam pelayanan publik maupun kinerja 31 Polda terkait dengan tiga fungsi utamanya yaitu penegakan hukum, Harkamtibmas dan Linyomyan.

Beberapa rekomendasi

Rekomendasi pada kajian itu di antaranya, untuk pengembangan Sumber Daya Manusia, kombinasi dari tiga aspek yaitu Kompetensi, Daya Tanggap dan Perilaku memberikan kontribusi sebesar 50% terhadap indeks governance polisi.

Beberapa rekomendasi di bidang ini adalah memperbaiki perencanaan DSP dengan menentukan benchmark sumber daya manusia, sesuai dengan kebutuhan kelembagaan.

Penilaian PGI menemukan DSP belum mengacu pada kondisi riil. Jumlah petugas yang cukup harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum perbaikan sumber daya manusia dapat dilakukan. Kompetensi mendapat nilai terendah di antara semua prinsip tata kelola lainnya. Tiga Satgas dengan skor kompetensi terendah adalah: Polisi Perairan, Bareskrim Narkoba, dan Satreskrim.

Poin kedua adalah meningkatkan fungsi kepolisian dalam menjaga ketertiban dan keamanan, khususnya peran Satgas yang bekerja di darat dan di laut.

Yang ketiga, meningkatkan kualitas dan administrasi Program Diklat Bersertifikat, khususnya pada satuan-satuan yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, seperti: Bimbingan Masyarakat, Satuan Intel Polri dan Polisi Perairan

Keempat, kebijakan mutasi tugas harus mempertimbangkan kompetensi yang dibutuhkan atau kesiapan kompetensi personel di unit barunya.

Hindari merotasi perwira tanpa kesiapan dalam kompetensi yang dipersyaratkan. Bahkan dalam kondisi darurat, perwira harus menyelesaikan pelatihan dan pendidikan yang relevan sebelum bekerja di posisi baru.

Kelima, meningkatkan kesejahteraan perwira/staf Polri berdasarkan kinerja. Menghubungkan hasil evaluasi kinerja dengan insentif.

Peningkatan Sarana dan Prasarana.

Perencanaan sarana dan prasarana belum mengacu pada kebutuhan riil. Sebaliknya, ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, perencanaan sarana dan prasarana dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau lembaga.

Idealnya Polri harus memetakan jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masing-masing bidang, terutama yang memiliki fungsi pencegahan seperti Patroli. mendukung tugas kepolisian

Untuk anggaran, perlu menyusun anggaran sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Kedua, memberlakukan persyaratan wajib bagi seluruh bagian di lingkungan Polri untuk mengumumkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing-masing Bagian.

Ketiga, memudahan akses informasi mengenai Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing-masing Bagian. Lalu, meningkatkan perencanaan keuangan lembaga untuk menghindari penggunaan anggaran yang kurang atau berlebihan.

Pemantauan, memperkuat sistem pemantauan penanganan perkara melalui pemanfaatan TI (Teknologi Informasi). Kedua, meningkatkan fungsi pengawasan internal, baik terhadap pengawasan sikap dan perilaku maupun pengawasan anggaran.

Ketiga, penyeragaman prosedur standar terhadap audit dan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAKIP

Pandangan anggota grup

Saat memberikan sejumlah informasi itu, Laode Syarief menyampaikan uneg-unegrnya juga agar Unhas mesti lebih intens juga membahas ‘perpolisian’  baik di Fak Hukum maupun FISIP.

Dia pun menyebut proses penelitian oleh Kemitraan itu tidak mudah sebab selalu saja ada tantangan pada proses dan hasil akhirnya.

“Alhamdulillah mereka (para peneliti itu) tidak tergoda,” kata Syarief.

Sementara menurut Ostaf Al Mustada, akan lebih baik jika meriset pula lembaga superbody seperti Satgassus, Densus 88, Satgas Tambang, Satgas Narkoba dan penamaan lain yang tidak kita ketahui

Menurut Laode, pada penilitian itu salah satu yang tidak masuk peniaian adalah Reskrim. Beberapa tahun lalu, sudah ada ide untuk menilai Mabes dan Reskrim namun karena perubahan konstalasi dan struktur Polri jadi tidak berlanjut.

“Jadi yang dinilai adalah Polda dan beberapa Polres,” sebut Laode.  Yang menarik dari hasil penelitian itu, dari 31 Polda yang ada masing-masing punya punya skor, dari poor hingga very good.

 

Editor: K. Azis

 

Related posts