PELAKITA.ID – Jerat kemiskinan kian membelenggu kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan. Jika dipetik 5 kabupaten yang punya penduduk miskin terbanyak maka masuklah beberapa kabupaten seperti Jeneponto, Luwu, Luwu Utara, Pangkep, hingga Enrekang.
Bagi akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas, Sudirman Nasir, Ph.D, kemiskinan yang parah akan berdampak pada kualitas kesehatan, pendidikan dan masa depan generasi.
Dia sependapat dengan pandangan anggota WAG Kolaborasi Alumni Unhas bahwa keluarga yang miskin bisa memunculkan varian baru persoalan seperti maraknya stunting, kematian ibu anak, merebaknya penyakit akut seperti tuberkulosa hingga infeksi saluran pernapasan lainnya.
Berdasarkan nama-nama kabupaten yang masuk kategori dengan jumlah penduduk miskin tertinggi di Sulsel, mulai dari angka 30 ribu hingga 80-an ribu, dapat dikatakan kemiskinan pada beberapa wilayah Sulsel tersebar dari wilayahpergunungan hingga kepulauan.
Kota-kota seperti Makassar, Parepare dan Palopo aman dari predikat banyak warga miskin. Meski demikian, secara umum kabupaten dengan sebaran penduduk jauh dari pusat pemerintahan umumnya berpotensi miskin.
Sebutlah Selayar, Luwu Utara, Pangkep, Toraja Utara hingga Bone yang memang banyak warganya tinggal jauh di pelosok desa.
Jeneponto disebut sebagai ‘anomali’ sebab meski sebagian besar warganya tinggal di desa-desa yang tak terlalu jauh dari pusat pemerintahan namun rentan karena kondisi lahan pertaniannya yang tak seperti daerah lain seperti Sidrap, Pinrang atau Gowa.
Aspek kesehatan
Sudirman Nasir, menilai kondisi santitasi yang masih minim termasuk di daerah pesisir banyak memicu penyakit infeksi yang juga menjadi salah satu akar masalah stunting.
Dia menilai, intervensi gizi penting tapi mesti dibarengi program perbaikan sanitasi.
“Selain itu perlu pula pencegahan dan perawatan infeksi, juga pendidikan. Pendidikan khususnya bagi kalangan anak remaja perempuan, pencegahan perkawinan bawah umur, pembatasan atau pengaturan kelahiran/keluarga berencana, penguatan ekonomi rumah tangga,” terang Sudirman.
Dia menyatakan, stunting yang meski turun tapi penurunannya tipis. Pendidikan sungguh amat penting bagi kaum muda agar tidak terperosok pada keputusan menikah dini, atau tidak punya masa depan.
“Ini memang puncak gunung es, masalah kompleks, bukan hanya kesehatan tapi juga masalah sosial-ekonomi,” imbuhnya.
Sekretaris Eksekutif COMMIT Foundation Makassar, Kamaruddin Azis menilai perlu pembcaan holistik tentang imbas satu kebijakan atau seberapa efektif program pembangunan yang ada sebab untuk menyelesaikan stunting uang APBD telah dianggarkan sedemikian besar.
“Perlu cek ke hulunya, elite kebijakan sepertinya tidak punya sense membenahi kebijakan dan regulasi, plus penganggaran,” sebutnya.
“Itu betul, tapi meskipun ada penganggaran kalau programnya tak dimonitoring teliti sulit juga,” balas Sudirman.
Menurut Sudirman, penguatan kelembagaan dan sumberdaya layanan kesehatan primer dan kolaborasi pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten atau lintas sektor juga penting sekali.
“Program-progran kesehatan yang ada perlu dimonitor progress-nya, untuk memastikan efektif tidaknya, dengan monitoring kitab isa lakukan upaya korektif jika ada yang tak berjalan baik,” ujarnya.
Dia setuju bahwa pengambil kebijakan harus memantau pula kontribusi bawahannya untuk pencapaian output dan outcomes program.
Tentang stunting, anggota WAG Kolaborasi, Busman Rahman menyebut gejala stunting ini atau pertumbuhan fisik tidak berkembang disebabkan juga oleh perkawinan dini dan kesadaran makanan.
“Perlu edukasi seks di kalangan para pemuda dan pemudi,” imbuhnya.
Dia berharap semua elemen masyarakat ikut serta dalam mengentaskan persoalan ini.
Tentang pandangan bahwa Pemda bersoal pada pemantauan atau monitoring program, Kamaruddin bertanya ke Sudirman apakah itu tak dilakukan karena ketidakkompetenan atau ketiadaan personil atau budget untuk itu.
“Bisa keduanya. Tapi banyak variasi faktor di lapangan. Ada yang lebih baik, sedang dan minim sekali. Jadi sulit kalau one fits all solution,” tanggap Sudirman terkait seberapa efektif program yang dijalankan. Di sinilah perlunya pemantauan atau evaluasi.
Busman berharap Pemerintah Daerah sungguh-sungguh untuk mengawal isu atau persolan stunting ini.
“Kelembagaan eksekutif perlu sungguh-sungguh mengawal kasus stunting ini,” harapnya.
WAG Kolaborasi Alumni Unhas juga mengingatkan perlunya mengendalikan trend perkawinan anak.
Jika melihat trend data, kita pantas geretan mengapa angka perkawinan anak semakin tinggi, masih sekitar 11,25 persen padahal target bersama pemerintaha 8-an persen.
“Political will dari pemerintah sangat dibutuhkan bukan himbauan dan bikin seminar,” balas Busman.
Dia menilai persoalan gizi rendah, stunting, hingga maraknya perkawinan anak dan telah ditangani dengan program di daerah tidak mudah sebab kadang menjadi bancakan permainan anggaran juga di daerah. “Lalu dikorupsi, ini sebuah konspirasi politik anggaran yang berulang,” tegasnya.
Sementara bagi Sudirman Nasir, untuk menyelesaikan persoalan stunting perlu membuka mata lebar pada banyak hal seperti kelebihan berat badan atau kegemukan yang juga menyerang anak usia muda.
“Beban ganda gizi terjadi. Kelebihan berat badan dan kegemukan termasuk di kalangan anak dan remaja meningkat tajam satu dasawarsa terakhir. Ini salah satu faktor terpenting meningkatnya diabetes mellitus khususnya tipe 2 yang bisa berujung fatal dan biaya perawatannya mahal sekali,” papar Sudi.
“Juga memicu peningkatan penyakit jantung pembuluh darah. Penyakit-penyakit tak menular yang kejadiannya makin tinggi,” sebutnya.
Sementara itu Ema Husain, aktivis Perempuan Anti Korupsi Sulsel mengakui tidak mudah untuk mengentaskan isu stunting dan perkawinan anak.
“Cara pandang pengambil kebijakan daerah juga tak sama, ada yang progressif, namun ada juga yang biasa-biasa saja, padahal kita ini perlu terobosan, kebijakan hingga kesungguhan dalam penganggaran program,” kata Ema saat dikonfirmasi dalam perjalanan ke Tana Toraja.
“Perkawinan anak misalnya, tidak bisa memang hanya bermodalkan regulasi sebab kembali juga ke orang tua atau kepala rumah tangga. Mereka punya pandangan personal, tapi ini bisa berubah jika pemimpin ikut mengkampanyekan anti perkawinan anak itu,” ujar Ema.
Kesimpulan dan rekomendasi
Pertama, kemiskinan tanpa solusi akan mengintai dan mengancam kondisi genarasi harapan bangsa. Keluarga yang miskin berpotensi menghasilkan generasi stunting dan terbelit dalam sejumlah persoalan. Derajat kesehatan dan pendidikan menurut, berpotensi terjadi perkawinan anak.
Kedua, tak hanya stunting yang mengancam, di sisi lain ada pula gelaja obesitas dan merebaknya penyakit non menular seperti penyakit diabetes dan obsesitas.
Apa yang perlu dilakukan? Apa yang perlu direkomendasikan?
Pertama, perbaiki tata kelola perencanaan pembangunan daerah, efektifkan perencanaan agar sesuai dengan isu atau persoalan di lapangan. Pastikan anggaran tidak dikorupsi.
Perlu keberpihakan para pengambil kebijakan pada tiga fokus utama seperti daya saing keekonomian daerah, perbaikan derajat kesehatan dan pendidikan.
Pembangunan infrastruktur tidak akan berkorelasi kepada perbaikan indeks pembanguann manusia jika jika suprastrukturnya tak dibenahi, tak diperkuat.
Mari bersama lawan korupsi, mari pantau program-program kesehatan yang ada seperti saran Sudirman Nasir serta libatkan masyarakat luas untuk urunan mencari solusi bidang kesehatan seperti pengentasan stunting dan penghindaran perkawinan anak.
Setuju! Monitoring adalah piranti perencanaan pembangunan yang perlu dimasifkan, dan ini tak bisa hanya pemerintah yang laksanakan.
Penulis: K. Azis