PELAKITA.ID – Tentang isu ketahanan pangan, pada sejumlah persoalan kerawanan pangan kita menyambut tahun-tahun ketidakpastian di depan mata.
Ada pertanyaan, pada ke mana kita menghamba ide perubahah tentang ketahanan pangan, tentang kemandirian pangan, tentang cara kita menyambut ‘krisis pangan’?
Pada orang kaya, nirdaya? Pada kelas menengah atau pada rumput-rumput yang menghijau di ceruk bukit gunung-gunung? Atau, barangkali kita melecut diri untuk merapat ke tiang-tiang infrastruktur, masuk ke terowongan harapan bernama labirin kepura-puraan pembangunan meski di baliknya banalisme beranak pinak? KKN merajalela?
Tidak, harus ada perubahan yang berdasar pada kebijakan yang berpihak, pada kedaulatan bertindak, pada semangat berubah dan sayang alam, menuju jalan sejahtera tanpa melupakan kolega atau alumni seperguruan.
Begitulah sosodara, admin membuka grup WA pagi ini.
Semalam berhamburan cerita gagal, juga sukses. Pertanyaannya, yang mana yang bisa menginspirasi kita?
Beberapa kekhawatiran
Ada yang menyebut sudah ada alumni dan pernah jadi pembesar di negeri ini sudah memetakan kembali isu krusial negeri pada pangan seperti beras.
Poinnya adalah perlu kolaborasi berkeadilan dengan parapihak. No one left behind (para oligarki). Ada juga yang menyebut perlu penguatan kelembagaan.
Desa-desa kita punya banyak Bumdes atau Bumdesma namun tak tangguh menghadapi dominasi pengusaha besar.
Dia ingin alumni mengawal Bumdes-Bumdes itu. Pastikan regulasi berjalan, sayangnya, kapasitas para pihak seperti Kepala Desa, Camat hingga Bupati sekalipun tak memadai untuk tumbuh dalam frame manajemen moderen dan berkeadilan.
Di sisi lain, kelembagaan para pengawal demokrasi seperti LSM dan pers sudah tertutupi oleh akun-akun medsos yang tanpa malu bermuka dua dan mengemis atensi sosial.
Medsos yang sungguh supercepat menggalang dana, menganalisa data, menyusun konstruk persoalan dan menghajar dengan solusi program namun terkesan karitis (charity), menyederhanakan persoalan.
Okelah! Kerja, kerja, kerja, ini penting tapi pastikan dulu regulasinya apa, kapasitas tersedia apa ndak?
Yang pasti, kata Begawan Tamalanrea itu, rantai distribusi pangan kita memang rawan dikerjai oleh oligarki banal. Juga oleh pemerintah yang lemah, yang kadang tanpa sadar larut dalam skenario liar, licin dan mencuri.
Sang Begawan mengambil contoh. Kepala kampung saya seorang teknokrat, beliau ngerti teknologi pengolahan.
“Sayang, bengkel manufaktur belum dilirik oleh Perumda atau Perseroda di kampung kami,” sungutnya.
Dia juga menunjuk kening intelektual pertanian kita enggan kolaborasi dengan praktisi teknologi
Hal lain yang juga bikin eneg, pekerja bereselon masih juga terjebak di tuntutan administrasi rutin yang tidak ada habisnya. Inovasi teknologi untuk layanan publik pada kedinasannya belakangan saja bila sempat. Yang non eselon fokus di perbaikan nasib, sosodara!
Pokok harapan
“Siapa peduli?” kata alena beliau. Tapi bagaimana caranya?
Pertama, pikiran, hati dan tangan harus satu padu dan dalam kobaran nasionalisme kuat, berdikari pangan!
Pada pikiran kita melihat realitas dan menggerakkan hati untuk berinisiatif, gerakkan tangan melalui perbaiikan kebijakan, pengembangan kapasitas anak bangsa (teristimewa alumni Unhas) untuk segera angkat cangkul dan lepas pancing, ketimbang ma’noko-noko’.
Kedua, daya gunakan potensi hutan, tanah, air maritim kita.
Sebagai contoh, kekayaan di laut itu sangat besar, ikan, garam, minyak dan banyak lagi.Kalau ini dikelola dengan kebijakan yang lurus, tegas, mandiri, kita bisa mendulang ribuan triliun saban tahun dari rongga laut kita.
Ketiga, beras adalah kunci. Jangan main-main di sini bung.
Faktanya, tanah kita subur, biji jagung ditanam di pekarangan tumbuh dan subur. Tapi kita impor jagung, kita impor ikan kaleng, kita impor BBM dari luar.
Ayolah, kita jaga sawah ladang kita, beri anak bangsa pupuk murah, lindungi dengan bibit sehat, kawal mereka saat membawa beras ke pasar tanpa tekanan. Kita adalah produsen dengan sejumlah kearifan agraris.
Keempat, mana itu perguruan tinggi?
Apa konsep mereka tentang transformasi produksi pangan, dari sekadar bajak kerbau menjadi mesin berenergi matahari, dari sekadar tanam pakai jari lalu menjadi beras dengan aroma harum mewangi dan dicintai anak negeri?
Kelima, Unhas punya catatan manis di konsepsi mengubah perilaku petani dari tradisional menjadi modern.
Petik, Olah, Jual. Kalau tri konsepsi ini direstorasi, Indonesia akan bangkit dari sektor pertanian. Produksi petani menjadi komoditas ekspor, kita akan menjadi negara pengekspor hasil pertanian. Kita akan menjadi negara maju. dan itu harus dimulai.
“Kalau Bukan Kita Yang Mulai Siapa Lagi, Kalau Bukan Sekarang Kapan Lagi!” kata orang Butta Salewangang.
Keenam, kolaborasi adalah keniscayaan.
Unhas berkolaborasi dengan LSM pendamping yang tepat. Banyak LSM yang masih bisa dan tahu caranya. Jangan jalan sendiri wahai para pembesar!
Ketujuh, saat krisis 1998, ada banyak pelaku UMKM yang survive.
Pada merekalah kita berharap menghadapi resesi kalau memang ini siap-siap bertamu. PHK massal bisa jadi momok, tapi bukankah para perencana yang baik harus pandai mengatur siasat dan antisipasi?
Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau tidak bisa mengatur siasat? Masih ada UMKM kita yang bisa diajak berkoalisi, minimal bersama mereka kita pasok garam dari dapur ke dapur RT. Untuk apa bikin Perusda, Perumda, Perseroda, kalau mengatur UMKM saja tidak bisa? Eh!
Bagaimana dengan industri? Jangan tanya saya, saat berinisiatif buat industri, emang saya pernah dillibatkan? He-he-he.
Maksudnya, ajak dong Pemerintah yang memberi izin. Kalau garam untuk industri, ya carikan untuk industri, jangan alasan impor garam untuk industri tapi di jual ke dapur-dapur kami. Gimana sih!
Kira-kira gitu, obrolan tadi malam, semoga bisa menghantar kita pada sintesa persoalan pangan di Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi yang artinya Manna Rumbang Butta Maraeng, Ana’ Unhas Siama’ Ama’ Tonji!
#eh! Ha-Ha-Ha! Fake terms!
Redaksi