Kolom Yarifai Mappeaty: Andi Rudiyanto Asapa dalam kenangan (bagian 1)

  • Whatsapp
Andi Rudiyanto Asapa dalam Kenangan Yarifai Mappeaty (dok: istimewa)

DPRD Makassar

Mulai dari pikirannya yang sulit ditebak, prinsip hidup dan pandangan politiknya, hingga kahidupan spiritualnya yang unik, menyimpan banyak cerita.

 

Read More

PELAKITA.ID – “Setiap orang memiliki banyak sisi dan tidak semua sisi kita dekat.” Itu pelajaran yang saya peroleh dari interaksiku, baik secara pribadi maupun secara organisasional dengan almarhum Andi Rudiyanto Asapa sepanjang 2010  hingga 2013.

Terutama saat kami sama-sama aktif  di Partai Gerindra Sulsel. Kala itu, beliau adalah Ketua DPD Gerindra Sulsel. Sedangkan saya adalah wakil ketua yang membidangi politik.

Salah satu tanggung jawab saya adalah rekruitmen dan seleksi calon legislator Partai Gerindra Sulsel.

Relatif singkat memang, hanya sekitar 3 atau 4 tahun. Namun dalam waktu sesingkat itu, begitu banyak hal tentangnya yang kusaksikan sendiri, hingga kini masih lekat dalam ingatan saya. Mulai dari pikirannya yang sulit ditebak, prinsip hidup dan pandangan politiknya, hingga kahidupan spiritualnya yang unik, menyimpan banyak cerita.

Bercerita tentang Kak Rudi, begitu saya menyapanya selain memanggilnya “ketua”, seperti tak ada habisnya. Mulai dari hal kocak hingga pada situasi yang mengharu-biru.

Tidak hanya itu,  bahkan pernah mengalami situasi di mana kami dipaksa untuk saling berhadap-hadapan, membuat kami  sama-sama “terluka”.

Sungguh suatu situasi yang menyakitkan dan amat kusesali. Kepribadiannya yang introver membuat tak semua orang dapat dekat dengannya. Bayangkan, air mukanya langsung berubah dan tampak tak nyaman, ketika ada yang mencoba “bermanis-manis” agar dapat dekat dengannya. Mungkin karena Ia lebih menyukai hubungan yang alami dan mengalir apa adanya.

Lalu,  saya yang kebetulan tak pandai bermanis-manis, termasuk lebih sering tak berada didekatnya di depan umum,  justeru menarik perhatiannya. Kalaupun pada akhirnya saya dekat dengan Kak Rudi, semua karena peran  Anwar Wahab,  Sekretaris DPD Gerindra Sulsel kala itu.

Bahkan Joni, panggilannya akrabnya, yang merekomendasikan saya bergabung dalam kepengurusan DPD Gerindra Sulsel di bawah pimpinan Kak Rudi. Wajar, karena saya memang sudah menjadi pengurus DPD Gerindra sejak terbentuknya di Sulsel untuk pertama kalinya, 2008. Namun intensi dan kualitas intraksi saya dengan Kak Rudi terjadi pada saat perhelatan Pilkada Sulsel 2013, di mana Kak Rudi menjadi salah satu kontestan berpasangan Andi Nawir Pasinringi (alm) dengan atribut “Garuda-Na.”

Hingga pasangan Garuda-Na berhasil mendaftar di KPUD Sulsel, saya, Joni, dan Nasrullah Mustamin, adalah pengendali tim dari kamar kerja pribadi Kak Rudi di rumahnya di Jalan Nikel Makassar. Malahan kunci kamar kerjanya itu ia serahkan padaku sehingga menjadi kamar kerjaku.

Pada momentum itulah saya banyak menyaksikan kalau Kak Rudi benar-benar sosok yang introver,  seperti saya sebut di atas. Seorang perenung yang baik dan tak banyak bicara. Saking introvernya, jika hendak memberikan sesuatu, pun ia lakukan dengan cara unik. Jangankan memberikan langsung dari tangannya, dengan sepotong kata pengantar pun tidak.

Misalnya, suatu ketika, entah dari mana Kak Rudi tahu kalau saya perlu uang.

Suatu malam saat saya berbincang denganya di lantai dua rumahnya, datang tiga pejabat dari Sinjai dan menyerahkan sebuah map.  Karena saya pikir mereka sedang ada urusan dinas, maka saya meninggalkannya dan melanjutkan kerjaku di kamar kerja pribadi Kak Rudi.

Berselang setengah jam, terdengar olehku langkah kaki, halus, nyaris tak terdengar mendekatiku. Meski  saya tak menoleh, namun dapat kupastikan kalau itu Kak Rudi. Bagaiaman tidak, langkah kakinya sudah saya hafal. Di dalam kamar itu terdapat tumpukan berkas, di atasnya tergeletak Majalah Tempo edisi terbaru. Di situ ia berhenti dan meraih majalah itu. Hanya sebentar, kemudian beranjak keluar tanpa sepatah kata pun setelah mengembalikan majalah itu ditempatnya semula.

Karena merasa terusik, saya pun mengikutinya ke luar dari kamar, bergabung dengan mereka dan  melibatkan diri dalam percakapan.  Tak lama, Joni dan Nas (Nasrullah Mustamin) datang. Sebelum keduanya duduk, Kak Rudi yang lebih banyak menyimak, tiba-tiba memotong.

“Fai, topik itu juga sudah dikupas oleh Tempo. Ambil majalah itu, baca di rumah,” lontarnya kurang lebih.

Mendengar itu, seketika saya membatin karena merasa sedikit aneh. Tahunya dari mana? Soalnya, ia sama sekali belum membacanya.  Bahkan menyentuhnya pun baru tadi di kamar. Sedangkan saya sendiri sudah melahapnya tanpa tersisa, dan tak  ada satupun berhubungan dengan apa yang kami percakapkan. Tetapi beruntung, Joni dan Nas belum mengerti situasi sehingga tak mendahuluiku mengambil majalah itu.

Di saat saya masih tertegun, ketiga pejabat dari Sinjai itu menggunakan kesempatan untuk pamit. Begitu mereka pergi, saya juga buru-buru masuk ke dalam kamar mengambil majalah itu dan memasukkannya ke dalam tas tanpa memeriksanya. Karena kupikir sudah ada Joni dan Nas menemani  Kak Rudi, sehingga saya merasa tak perlu lagi tinggal berlama-lama. Pulang.

Tiba di rumah sudah pukul 2 dini hari, saya tak langsung masuk kamar. Tetapi saya menyempatkan duduk di teras depan sambil mengeluarkan Tempo dari dalam tas. Saya kembali tertegun saat melihat ada amplop di dalamnya, tepat di halaman tengah.

Di amplop itu terdapat penanda yang ditulis dengan pensil. Meski tipis dan halus, namun masih dapat terbaca dengan jelas. “Honor Pak Bupati.”

Usai merobek amplop itu dengan pelan dan melihat isinya, merah, saya bukannya kembali tertegun, tetapi terbelalak.  Bukan apa. Kala itu isteriku tengah hamil tua, namun belum ada tanda-tanda melahirkan.

Saya pun dibayangi operasi cesar. Jika itu terjadi jelas persiapanku tidak cukup, membuat pikiranku kusut. Mungkin hal itu ditangkap dengan baik oleh Kak Rudi. “Masya Allah,” desisku. Jumlahnya seperti yang kupikirkan. Begitulah cara Kak Rudi memberi, bahkan mungkin malaikat pun tak tahu.

 

Yarifai Mappeaty

Bagian satu dari tiga tulisan

Related posts