PELAKITA.ID – Sore itu, sepulang dari rapat terkait RTRW Sulawesi Selatan di Gedung DPRD Sulsel lantai 2, saya dijemput istri. Waktu sekira pukul 5 sore. “Ndak ke mana-mana lagi toh?” katanya.
Saya menggeleng sembari mengikuti Zoom bersama beberapa kawan dari salah satu unit kerja PBB. Di depan saya, ada bapak kepala perwakilan untuk Indonesia.
Dari DPRD Sulsel, kami berbelok ke kanan, ke Jalan Pettarani. Pikiran saya, kami hendak pulang ke rumah di Tamarunang Gowa. Istri tancap gas, membelah Kota Makassar ke selatan, di tengah terjangan bunyi klakson dan deru mesin yang membahana di poros paling sibuk di Kota Makassar itu.
“Mau ke manaki?” tanyaku ke istri saat dia belokkan mobil di Jalan Hertasning, Biasanya dia lurus tembus Paopao.
“Ada kirimanku dari Pinrang,” balasnya.
Saya tidak terlalu perhatikan jalur yang saya lewati sebelum kami tiba di salah satu kompleks perumahan adem dan gerbangnya dijaga Satpam. Beberapa anak-anak sedang bermain di satu sudut jalan. Mobil berhenti, istri turun. Saya masih nge-Zoom dan duduk manis di depan.
“Turunki, ada Pak Bupati,” kata istri. Saya melihatnya seakan tak percaya.
Saya tetap duduk. “Ada tawwa pak Bupati, turunki,” desak istri. Tentu saja saya enggan, karena tidak ada janji, apalagi ini rumah ‘biasa’. Saya tidak sedang dalam tugas atau resmi.
“Seriuski?” saya balas. “Ada tawwa.,”
Saya turun tapi tidak berani ke pintu utama yang pengaman besinya terbuka setengah. Saya melihat dari samping, dari sudut sempit, celinguk ke dalam.
“Ih bagaimana tawwa bisa nalihatki kalau di situjaki,” istri saya mulai deras kalimatnya.
Saya tentu sungkan, riskan, enggan, tidak yakin kalau pak Bupati Pinrang, Andi Irwan Hamid mau bertemu saya. Tidak ada rencana, tidak ada janji, seorang warga biasa menemui Bupati, di rumah prbadi pula.
Saya masih berjarak 5meter dari pintu sebelum seorang pria berkumis keluar pintu. Ketua DPD Partai Demokrat Pinrang ini mengenakan celana pendek, kaos berwarna agak keunguan. Dia rupanya baru bangun, sesuai informasi perempuan yang menerima kami pertama.
Andi Irwan melepas senyum. Senyum yang tak biasa, tanda persahabatan. Dia seperti menerka-nerka siapa saya.
“Pak Bupati, saya yang pernah jadi moderator saat acara Pinrang Investment Forum di Jakarta tahun 2019,” kataku. Andi Irawan tersenyum lebar.
“Oh iye…” balasnya seraya melepaskan senyum terbaik yang saya lihat sore itu.
Dia nampak kikuk tetapi terus tersenyum. Senyum yang tulus saya kira. Tangan kanannya memegang tangan kirinya dan maju selangkah hal yang saya maknai respek dan penerimaan yang hangat untuk pertemuan tak terduga itu.
Saya melaporkan kalau saat ini sedang bersama-sama salah satu Kadisnya untuk menyiapkan semacam buku investasi di Pinrang.
“Oh iye, nanti saya kasih tahu ibu Kadis,” katanya saat itu.
Saya yang merasa tersanjung karena diterima sebagai tamu tak terduga tidak ingin berlama-lama meski saya sempat bilang, “Pak Bupati seandainya bisaki foto, saya ingin sekali berfoto dan kirim ke Pinrang,” kataku, meski saya tahu tidak elok berfoto dengan Bupati dengan kaos dan celana pendek.
Untuk saya, diterima oleh beliau sungguh suatu kejutan. Saya beruntung sore itu dapat senyum kejutan. Tidak ada janji, di situasi pandemi, beliau masih mau terima tamu ‘asing’.
Saya memang tidak ada niat untuk masuk ke rumahnya karena pertimbangan itu, tetapi saya senang, masih ada Bupati di Sulsel yang bisa sehangat dia, tak birokratis dan mau menerima tamunya apa adanya.
Setelah menerima kiriman telur dari Pinrang, dari kawan SMA istri saya di Rappang, kami putar haluan. Saya lanjutkan Zoom, istrri menebar senyum sepanjang jalan.
Tamarunang, 15 September 2021
K. Azis